Strategi Pembiayaan Jadi Kunci Mencapai Pertumbuhan Ekonomi Tinggi
Indonesia harus menumbuhkan ekonominya minimal 5,7 per tahun agar bisa menjadi negara maju di usianya yang keseratus tahun pada 2045. Strategi apa saja yang harus dilakukan untuk wewujudkan hal tersebut?
Pengantar Redaksi
Menyambut Hari Ulang Tahun Ke-100 RI pada 2045, harian Kompas yang akan berulang tahun ke-55 pada 28 Juni 2020 menyelenggarakan diskusi menuju Indonesia Emas. Laporan berikut adalah hasil diskusi ketiga pada pertengahan Maret lalu dengan topik ekonomi. Para panelis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia serta Ketua Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014 Emil Salim; Menteri Keuangan 2013-2014 M Chatib Basri; Menteri Komunikasi dan Informatika 2014-2019 Rudiantara; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2016-2019 Ignasius Jonan; ekonom senior CORE Indonesia Hendri Saparini; serta Rektor IPB University Arif Satria. Laporan diskusi dirangkum Ninuk M Pambudy, M Fajar Marta, Mukhamad Kurniawan, Albertus Hendriyo Widi Ismanto, dan Aris Prasetyo, serta disajikan pada halaman 13 dan Kompas.id.
Berdasarkan Visi 2045, Indonesia menargetkan menjadi negara dengan pendapatan tinggi mencapai Rp 320 juta per kapita per tahun pada 2045. Untuk mencapai target tersebut, perekonomian Indonesia harus tumbuh rata-rata minimal 5,7 persen per tahun dalam 25 tahun ke depan.
Jika gagal mencapai target tersebut, Indonesia mungkin akan kehilangan kesempatan untuk menjadi negara maju saat berusia 100 tahun. Sebab setelah itu, populasi Indonesia mulai menua sehingga semakin sulit mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika gagal menjadi negara maju pada 2045, bisa diibaratkan bangsa Indonesia menjadi tua sebelum kaya.
Indonesia tentu saja memiliki modal besar untuk mencapai target sebagai negara maju pada 2045. Salah satunya, Indonesia mendapatkan bonus demografi yang besar selama kurun 2010-2045, dengan jumlah penduduk Indonesia usia produktif lebih besar daripada usia nonproduktif. Rasio ketergantungan (dependency ratio) akan mencapai tingkat terendah pada tahun 2022-2030.
Namun, Indonesia juga memiliki banyak hambatan, salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi yang rata-rata hanya 5 persen dalam kurun 2015 - 2019.
Lalu, bagaimana strategi menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 5,7 persen per tahun? Ada sejumlah hal mendasar yang perlu dilakukan untuk memacu produktivitas sekaligus meningkatkan efisiensi, yakni mentransformasi struktur ekonomi, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan memperbesar pembiayaan investasi.
Transformasi ekonomi
Struktur ekonomi Indonesia saat ini kurang kuat dan tak bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih dari 6 persen. Perekonomian Indonesia lebih banyak didorong konsumsi, bukan investasi. Struktur yang rapuh juga terlihat dari rendahnya kontribusi industri manufaktur dan ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB). Padahal, ciri negara maju adalah memiliki industri dan ekspor yang kuat.
Selama ini, perekonomian Indonesia lebih banyak ditopang kekayaan sumber daya alam. Rendahnya kapasitas industri di dalam negeri membuat sumber daya alam tidak bisa diolah secara optimal menjadi produk dengan nilai tambah tinggi. Hal ini membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung tidak stabil karena sangat dipengaruhi harga komoditas SDA
Pada tahun 1981, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 9,9 persen karena harga minyak melonjak tinggi. Namun, ketika harga minyak turun, pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok menjadi 1,2 persen pada 1984. Pada periode 2010–2012, Indonesia menikmati kenaikan harga komoditas, seperti batubara, karet, dan CPO, sehingga ekonomi tumbuh rata-rata 6,1 persen. Namun, saat harga komoditas turun sejak 2015, pertumbuhan ekonomi ikut lesu, rata-rata hanya 5 persen hingga kini.
Baca juga: Ekonomi Jelang 2045
Untuk bisa tumbuh lebih tinggi, ketergantungan Indonesia atas komoditas SDA harus dikurangi. Berdasarkan data BPS, dalam kurun 2002-2016, ekspor produk manufaktur Indonesia tumbuh rata-rata hanya 9,7 persen per tahun. Angka ini lebih rendah daripada India dan Thailand, apalagi dibandingkan dengan Vietnam yang rata-rata tumbuh 116,5 persen per tahun.
Sebisa mungkin komoditas mentah tidak diekspor langsung, tapi diolah dulu di dalam negeri sehingga keuntungan yang diperoleh bangsa ini menjadi lebih besar. Selain meningkatkan nilai tambah, cara ini juga akan mendorong industrialisasi di dalam negeri.
Kinerja industrialisasi akan makin optimal apabila dibarengi dengan efisiensi dan inovasi. Artinya, kualitas sumber daya manusia Indonesia harus ditingkatkan agar bisa memanfaatkan teknologi untuk mendorong produksi dan efisiensi. Berdasarkan laporan Bank Dunia, kualitas SDM Indonesia masih tertinggal dari Malaysia dan Thailand, terutama untuk pelajaran matematika serta sains.
Pembiayaan
Hal penting lainnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi adalah pembiayaan investasi. Selama ini, pembiayaan investasi Indonesia tak pernah cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke level yang lebih tinggi. Pembiayaan investasi yang diperlukan akan semakin besar apabila incremental capital output ratio (ICOR) juga besar. ICOR merupakan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan atau menambah satu output PDB.
Berdasarkan data BPS, ICOR Indonesia saat ini sebesar 6,4 persen. Artinya, 1 persen pertumbuhan ekonomi membutuhkan 6,4 persen investasi per PDB.
Kapasitas investasi Indonesia terlihat dari besarnya tabungan masyarakat karena investasi dibiayai tabungan masyarakat. Berdasarkan data Bank Dunia, simpanan per PDB atau investasi per PDB Indonesia sebesar 34,8 persen.
Dengan rasio investasi terhadap PDB sebesar 34,8 persen dan ICOR 6,4 persen, pertumbuhan ekonomi akan berkisar 5,4 persen. Angka ini masih di bawah laju ekonomi yang ditargetkan dalam Visi Indonesia 2045, yakni 5,7 persen. Maka, Indonesia masih membutuhkan tambahan investasi.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, misalnya 6 persen, investasi per PDB yang dibutuhkan adalah 38,4 persen. Artinya, harus ada tambahan 3,6 persen poin dari kondisi saat ini. Adapun untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 5,7 persen, dibutuhkan tambahan investasi per PDB sebesar 1,7 persen poin.
Baca juga: Jebakan Pertumbuhan 5 Persen
Cara yang diperlukan untuk meningkatkan investasi tentu saja menarik dana asing masuk ke Indonesia atau meningkatkan pembiayaan investasi di dalam negeri atau tabungan masyarakat.
Dana asing yang ditarik sebaiknya yang bersifat investasi langsung atau foreign direct investment (FDI). Jika dana asing bersifat portofolio keuangan jangka pendek atau hot money, maka akan berisiko tatkala terjadi sudden reversal atau penarikan dana besar-besaran dalam waktu singkat yang akan membuat kurs rupiah melemah signifikan. Sebaliknya, jika berbentuk FDI, misalnya pembangunan pabrik, maka asetnya tetap akan di Indonesia apa pun yang terjadi.
Adapun untuk meningkatkan investasi atau tabungan masyarakat, hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan transaksi dan produksi agar uang beredar atau likuiditas di pasar semakin besar, yang ujungnya akan mempercepat putaran perekonomian.
Sejak krisis 1998, semakin banyak orang berinvestasi pada properti untuk kepentingan spekulasi. Aset-aset ini sebenarnya tidak produktif karena hanya didiamkan dan tidak ditinggali. Si empunya properti hanya menunggu saat tepat untuk menjual dengan harga yang jauh lebih besar daripada harga beli. Untuk mendorong likuiditas, sebaiknya pemilik dana berinvestasi pada aset-aset yang produktif, misalnya di sektor riil atau di pasar keuangan.
Inklusi keuangan
Strategi lain untuk mendorong tabungan masyarakat adalah mendorong inklusi keuangan, dengan memberikan akses keuangan kepada penduduk perdesaan yang selama ini tidak tersentuh perbankan (unbankable).
Inklusi keuangan yang masif tentu sulit dilakukan dengan cara konvensional, yakni bank membuka cabang atau agen di daerah-daerah terpencil. Karena itu, cara paling efektif adalah mendorong pengembangan teknologi finansial (tekfin). Dengan hanya bermodal telepon seluler (ponsel), penduduk di berbagai pelosok desa bisa mendapatkan pembiayaan sebagai modal untuk bekerja. Dengan bekerja, masyarakat mendapatkan penghasilan yang selanjutnya bisa diputar untuk konsumsi atau pembiayaan kembali.
Tekfin juga dapat menyentuh ibu-ibu rumah tangga yang sebenarnya berpotensi untuk berkarya, antara lain menghasilkan produk-produk kerajinan tangan. Jika digerakkan secara masif, produktivitas semacam ini bisa menjadi industri yang menggerakkan perekonomian desa.
Dana jangka panjang, seperti dana pensiun, asuransi, dan dana haji, sebenarnya juga dapat dioptimalkan sebagai sumber pembiayaan jangka panjang. Dana pensiun dan asuransi bisa dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek jangka panjang untuk mendorong industrialisasi. Perbankan kurang bisa diharapkan untuk memberikan pinjaman jangka panjang mengingat sumber dananya sebagian besar jangka pendek, yakni tabungan dan deposito satu bulan.
Untuk mendorong asuransi dan dana pensiun berinvestasi, diperlukan banyak instrumen di pasar keuangan serta pasar modal. Karena itu, pemerintah dan otoritas harus menginisiasi pendalaman pasar keuangan. Dengan demikian, instrumen keuangan dengan berbagai tenor dan derivatif akan tersedia di pasar.
Indonesia sebenarnya juga bisa memanfaatkan aset-aset negara yang selama ini tak termanfaatkan sebagai sumber pembiayaan. Banyak aset dalam bentuk tanah dan properti, baik yang berasal dari jaminan bank maupun rampasan hasil korupsi, menganggur serta terbengkalai begitu saja selama bertahun-tahun. Jika bisa diprivatisasi, aset-aset tersebut tentu memberikan penerimaan bagi negara yang selanjutnya bisa digunakan untuk investasi atau membiayai pembangunan.
Selain itu, aset-aset BUMN yang telah menghasilkan untung, seperti jalan tol, bisa juga disekuritisasi kepada swasta. Hasil sekuritisasi selanjutnya digunakan untuk membangun jalan tol atau infrastruktur di daerah lain yang akan dijadikan kantong-kantong ekonomi baru.
Namun, privatisasi dan sekuritisasi tentu harus dilakukan secara terukur dengan tidak menggadaikan aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak. Privatisasi dan sekuritisasi membutuhkan komitmen politik para pemangku kepentingan.
Jika upaya mendorong pembiayaan investasi dapat dimaksimalkan, mimpi Indonesia menjadi negara maju pada 2045 merupakan keniscayaan.