Warga Kecil Terdampak Covid-19 Menunggu Intervensi Pemerintah
›
Warga Kecil Terdampak Covid-19...
Iklan
Warga Kecil Terdampak Covid-19 Menunggu Intervensi Pemerintah
Lebih dari satu bulan terdampak lesunya ekonomi akibat Covid-19, warga kecil dengan penghasilan harian, termasuk di Maluku, semakin terpukul. Mereka menunggu langkah konkret pemerintah.
Oleh
frans pati herin
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Lebih dari satu bulan terdampak lesunya ekonomi akibat Covid-19, warga kecil dengan penghasilan harian, termasuk di Maluku, semakin terpukul. Tak hanya berkurang jauh penghasilannya, banyak warga yang akhirnya kehilangan pekerjaan. Mereka pun menunggu langkah konkret pemerintah untuk mengintervensi masalah tersebut.
Buce (34), sopir angkutan kota di Ambon, Jumat (3/4/2020), mengatakan, dirinya memutuskan berhenti lantaran penghasilan dalam satu hari jauh di bawah biaya operasional. ”Isi bahan bakar Rp 100.000, sementara penghasilan hanya bisa dapat Rp 70.000,” ujarnya.
Sebelum aktivitas masyarakat lesu akibat Covid-19, ia bisa meraup penghasilan hingga Rp 300.000 per hari. Penumpang angkutan kini berkurang setelah orang-orang memilih tinggal di rumah demi mencegah penyebaran virus korona penyebab Covid-19.
Buce telah mengembalikan mobil kepada juragan dan memutuskan pulang kampung ke Pulau Seram. Jika bertahan di Ambon, ia akan kekurangan makanan karena tidak ada lagi uang untuk membeli beras. Itu belum ditambah dengan beban membayar sewa kos Rp 500.000 per bulan.
”Pulang kampung supaya bisa makan ubi atau pisang dari kebun orangtua,” kata Buce. Ia menambahkan, banyak temannya sopir angkutan umum di Ambon bernasib sama.
La Amin (50), pengemudi becak di Ambon, juga mengeluhkan kurangnya penghasilan. Pada waktu normal, ia bisa memperoleh hingga Rp 150.000 per hari, tetapi kini tidak lebih dari Rp 40.000. Bahkan, ada kalanya ia tidak mendapatkan penumpang seharian. ”Sekarang ada isu becak itu kotor dan banyak virus. Itu yang membuat penumpang lari,” katanya.
Warga asal Buton, Sulawesi Tenggara, itu pun tidak punya pilihan lain. Ia terus mencari penumpang demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sewa kos Rp 500.000 per bulan. Kini, ia menekan pengeluaran. Dalam satu hari, ia hanya makan dua kali, yakni siang dan malam. Menu makan berupa nasi dan tempe atau tahu. Untuk sarapan, ia minum teh saja. Ia sendirian tinggal di kos.
Di Karang Panjang, Mey (73), pemilik toko, memulangkan seorang pekerjanya lantaran penghasilan di toko bahan kebutuhan pokok itu berkurang. Kini, dalam satu hari, omzet yang diperoleh tidak lebih dari Rp 800.000 dan diperkirakan akan terus berkurang. Sebelumnya, pendapatan dalam satu hari melampaui Rp 2 juta. ”Saya sudah bayar gaji dan meminta dia pulang. Saya tidak punya pilihan lain,” ujarnya.
Sayangnya, hingga saat ini belum tampak langkah konkret yang diambil pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Di saat bersamaan, tidak terlihat pula adanya gerakan sosial untuk membantu para pekerja harian yang semakin terpukul dari hari ke hari.
Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Provinsi Maluku Benediktus Sarkol mengingatkan soal ancaman keterpurukan ekonomi para pekerja harian akibat wabah ini. Masalah kekurangan pangan kini sudah terasa, bahkan dapat menyebabkan kelaparan. Pontensi gangguan sosial pun sangat tinggi. ”Orang, kalau lapar, bisa nekat. Ini harus diantisipasi,” katanya.
Dalam siaran pers yang diterima Kompas tiga hari lalu, Gubernur Maluku Murad Ismail menyatakan akan menggelontorkan anggaran hingga Rp 100 miliar untuk menangani dampak Covid-19 di Maluku. Salah satunya membantu kalangan ekonomi lemah. Namun, wujud kebijakan itu belum terlihat.
Kepala Biro Humas dan Protokoler Provinsi Maluku Melky Lohi mengatakan, kebijakan gubernur itu sedang diterjemahkan oleh sejumlah organisasi perangkat daerah melalui rencana aksi. Hingga Jumat malam, rencana aksi itu masih disusun. Melky pun belum memastikan waktu pelaksanaannya. ”Secepatnya sudah bisa dieksekusi,” ujarnya.