Mengapa Angka Kematian Covid-19 Berbeda-beda di Tiap Negara?
›
Mengapa Angka Kematian...
Iklan
Mengapa Angka Kematian Covid-19 Berbeda-beda di Tiap Negara?
Data kematian akibat Covid-19 saat ini sangat beragam. Pemeriksaan luas yang mencakup orang tanpa gejala akan memberikan gambaran utuh tingkat infeksi dan tingkat kematian akibat penyakit ini.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Virus korona baru penyebab Covid-19 menyebar begitu cepat dan menyebabkan puluhan ribu orang meninggal. Namun, dampak virus ini berbeda-beda di setiap negara. Selain jumlah kasus positif yang sangat beragam, virus yang sama ini menyebabkan angka kematian di setiap negara berbeda-beda. Di Italia, hingga akhir Maret 2020 mencapai 11 persen. Sementara negara tetangganya, Jerman, memiliki angka kematian 1 persen. Di China angka kematian 4 persen, sementara di Israel 0,35 persen, terendah di dunia.
Mengapa angka ini sangat beragam? Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah bagaimana cara menghitung kasusnya dan seberapa banyak tes dilakukan.
Sebelumnya, penting untuk mengetahui bagaimana menghitung angka kematian. Ada dua cara berbeda untuk menghitung angka kematian. Pertama, persentase fatalitas kasus (case fatality rate/ IFR) yang didapat dari menghitung jumlah kematian dibagi dengan jumlah infeksi yang diketahui. Angka ini bisa sangat bias ke atas atau ke bawah karena pengambilan sampel.
Cara kedua, persentase fatalitas infeksi (infection fatality rate/ IFR) yang didapat dengan menghitung jumlah kematian dibagi dengan jumlah infeksi sesungguhnya (termasuk kasus yang dikonfirmasi dan tidak terdiagnosis atau tanpa gejala).
Ambil contoh jika virus menginfeksi 100 orang di mana 80 orang tidak menunjukkan gejala dan tidak menyadari terinfeksi, sementara 20 orang lainnya jatuh sakit. Dari 20 orang itu 1 orang kemudian meninggal. Maka, angka kematian sebenarnya adalah 1 persen tapi CFR-nya adalah 5 persen (1/20).
Pada masa awal wabah terjadi biasanya terjadi bias dalam menghitung angka kematian. Sebab, banyak kasus ringan yang tidak terdeteksi dan kasus yang terkonfirmasi masih rendah.
Seperti dimuat di The Conversation Indonesia, 25 Maret 2020, Mike Lee, Guru Besar Biologi Evolusioner di Flinders Uinversity, dan rekannya, Sebastian Duchene, fellow di University of Melbourne, menyatakan, seiring pengujian lebih luas dan ketat dilakukan, perbedaan di antara kedua ukuran (CFR dan IFR) semakin kecil. Ini mungkin sedang terjadi di Korea Selatan saat pemeriksaan yang luas telah mendeteksi banyak infeksi ringan dan membawa perkiraan tingkat kematian turun menjadi 0,65 persen.
Apabila beberapa negara hanya melakukan pemeriksaan Covid-19 pada orang yang sudah sakit parah dan butuh perawatan dan tidak melakukan pemeriksaan pada mereka yang gejalanya ringan atau bahkan tanpa gejala, angka kematian akan terlihat lebih tinggi dibandingkan negara yang melakukan pemeriksaan yang luas seperti dilakukan Jerman dan Korea Selatan.
Menurut Dietrich Rothenbacher, Direktur Institut Epidemiologi dan Biometri Medis University of Ulm di Jerman, sedikitnya pemeriksaan Covid-19 di banyak negara menjadi sumber perbedaan angka kematian secara global.
Alhasil, angka setiap negara yang ada saat ini tidak pas jika diperbandingkan. Untuk mendapatkan angka yang akurat di seluruh populasi sangat penting melakukan tes, tidak hanya pada kasus dengan gejala, tetapi juga kasus tanpa gejala. Memiliki data ini akan memberikan gambaran akurat bagaimana pandemi ini memengaruhi seluruh populasi, bukan cuma pada orang yang sakit.
”Saat ini kita memiliki bias angka yang besar dari negara-negara di dunia. Karena itu, data tersebut tidak bisa diperbandingkan. Yang kita butuhkan adalah angka yang benar-benar valid dan bisa diperbandingkan,” ujar Rothenbacher.
Contoh
Apa yang terjadi di Desa Vo, Italia utara, merupakan contoh yang baik mengapa pemeriksaan tidak hanya penting untuk mendapatkan data yang akurat, tetapi juga untuk mengendalikan Covid-19.
Ketika kasus pertama Covid-19 di Desa Vo terkonfirmasi, pemeriksaan atas semua penduduk desa yang berjumlah 3.300 jiwa pun dilakukan. Hasilnya, saat itu ketika kasus pertama muncul, sudah ada 3 persen penduduk desa yang terinfeksi, baik yang menunjukkan gejala maupun tidak.
Setelah dua minggu pemeriksaan yang luas dibarengi dengan intervensi yang lain, penyebaran Covid-19 di Vo pun bisa dikendalikan.
Seperti dilaporkan BBC, Kamis (2/4/2020), epidemiolog sekaligus Direktur Pusat Kedokteran Berbasis Bukti di University of Oxford, Inggris, Carl Heneghan mengatakan, pemeriksaan yang luas di Islandia juga memberikan gambaran yang sama. Sejauh ini Islandia melaporkan dua kasus meninggal karena Covid-19.
Islandia telah memeriksa lebih dari 3 persen penduduknya yang sekitar 365.000 jiwa. Pemeriksaan dilakukan pada mereka yang bergejala juga tanpa gejala. Dengan mengekstrapolasi hasil pemeriksaannya, program pemeriksaan itu memperkirakan 0,5 persen penduduk Islandia telah terinfeksi Covid-19.
Menurut Sheila Bird dari Unit Biostatistik MRC University of Cambridge, pentingnya tes yang luas adalah untuk memberikan gambaran intervensi kesehatan apa yang bisa dilakukan selanjutnya.
”Kalau kamu benar-benar tidak bergejala tapi sebenarnya telah tertular, tidak akan pernah dihitung dalam data sampai akhirnya kamu menjalani pemeriksaan laboratorium,” ujar Bird.
Pemeriksaan Covid-19 merupakan ”pengubah permainan” yang bisa mengungkap siapa saja yang sudah memiliki imunitas terhadap virus korona baru dan bisa menjalani aktivitas ehari-hari tanpa risiko tertular atau menularkan dan siapa yang masih bisa menularkan. ”Itu sebabnya pengembangan alat tes dan mendistribusikannya secara luas menjadi penting,” ujar Bird.