Syukuran Sabrang,”Pesta” Petani di Tengah Pandemi
Petani dan seniman di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan. Namun, gejolak harga pangan hingga serangan hama merenggangkan hubungan keduanya.
Petani dan seniman di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan. Namun, gejolak harga pangan hingga serangan hama merenggangkan hubungan keduanya. Tahun ini, ancaman penurunan permintaan akibat Covid-19 juga memburu di belakangnya.
Sebuah panggung dan tenda berdiri di tengah jalan Blok Telarduwur, Desa Bayalangu Kidul, Kecamatan Gegesik, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (22/2/2020). Jalan beraspal itu ditutup seharian. Petani cabai setempat sedang ”berpesta” menanggap kelompok seni wayang golek papak Marga Luyu. Mereka menyebutnya ritual ”Syukuran Sabrang”.
Cabai dan mentimun menggantung di langit-langit panggung. Komoditas itu juga dijadikan sambal bersama lauk ikan, ayam kampung, hingga karedok. Sebelum disantap, seorang petani berkopiah memimpin selawat. Aroma kemenyan ikut menguap. Beginilah cara petani mensyukuri hasil panen.
”Alhamdulillah, harga cabai Rp 30.000 per kilogram di tingkat petani. Bahkan, awal Februari sampai Rp 50.000 per kg. Sekarang, saya sudah enggak ada utang,” ujar Yadi Kendang (54), petani setempat. Dari lahan 2.100 meter persegi, ia meraup sekitar 7,5 kuintal cabai merah setelah menanamnya empat bulan.
Kebahagiaan tersebut tidak ia rasakan pada panen tahun lalu. Ketika itu, harga cabai di tingkat petani anjlok hingga Rp 4.000 per kg. Penyebabnya, ia tak tahu. Padahal, modalnya lebih dari Rp 15 juta. Itu belum termasuk uang pembelian air sekitar Rp 320.000 per tangki selama sepekan untuk menghadapi musim kemarau.
Kala itu, bukannya menggelar syukuran, petani malah menimbun utang saat panen. ”Saya rugi Rp 30 juta saat itu. Tetapi, sudah diganti sekarang,” ujar bapak satu cucu ini sambil menikmati makanan tradisional, karedok. Kebahagiaan jadi wajah jamak di Bayanglangu.
Tidak hanya menebus utang, petani juga semringah karena bisa mengembalikan tradisi Syukuran Sabrang yang lama hilang. ”Setelah 10 tahun, baru kali ini kami nanggap seni wayang golek lagi. Biasanya cuma layar tancap. Padahal, tradisinya, syukuran ini agar hasil panen selanjutnya selamat,” ujar Sanaji (55), Ketua Kelompok Sayur Lestari.
Untuk acara itu, sekitar 80 petani cabai setempat yang mengolah lahan luas areal 7,5 hektar iuran duit hasil panen. Setiap rumah tangga ada yang menyumbang Rp 50.000, bahkan lebih. Sedikitnya terkumpul Rp 15 juta untuk syukuran. Para istri petani guyub menyiapkan makanan di gubuk yang disulap menjadi dapur.
Lebih dari 17 anggota kelompok wayang golek Marga Luyu pun merasakan manisnya panen cabai petani. Tidak hanya menerima duit Rp 8,5 juta untuk tampil, Syukuran Sabrang juga merajut kembali hubungan seniman wayang golek itu dengan petani cabai Bayalangu yang sempat terputus. ”Dari orang tua dulu, kelompok wayang ini sudah mengisi acara syukuran,” ucap Sanaji. Marga Luyu dan petani setempat terpisah jarak lebih dari 13 kilometer.
”Kami baru pentas lagi di desa ini setelah bertahun-tahun enggak ke sini. Biasanya, kami tampil di Syukuran Sabrang dua kali setahun,” ujar dalang Andianto (33), penerus kelompok wayang golek Marga Luyu. Syukuran Sabrang turut mengungkit asa Andianto untuk menambah intensitas pentas yang selama ini tidak lebih dari 35 kali setahun.
Babad Cirebon
Wayang golek papak merupakan pertunjukan wayang yang menggunakan boneka berbahan kayu dan bagian kepalanya rata atau dalam bahasa setempat disebut papak. Dalam khazanah Sunda, wayang ini disebut cepak. Diiringi tabuhan gamelan, wayang ini mengisahkan sejarah dan tradisi dalam Babad Cirebon. Andianto memimpin pertunjukan siang hari, sedangkan malam hari dibawakan kakaknya, dalang Suway.
Andianto mengisahkan perang antara pasukan Arya Kiban dari Kerajaan Galuh dan Pangeran Arya Kemuning dari Kesultanan Cirebon. Arya Kemuning merupakan anak angkat Sunan Gunung Jati, pemimpin Cirebon pada 1479-1568. ”Perang terjadi karena Cirebon menolak memberikan upeti berupa terasi kepada Kerajaan Galuh,” katanya.
Setoran upeti menunjukkan Cirebon berada di bawah kekuasaan Galuh. Ingin berdiri di kaki sendiri, Arya Kemuning datang menunggangi kuda. Sementara pasukan Galuh menaiki gajah. Peperangan yang menelan banyak korban jiwa itu pun dimenangi pasukan Cirebon dan masa pemberian upeti pun berakhir.
Perang petani
Sejarah itu relevan dengan nasib petani cabai Bayalangu yang untuk sementara waktu memenangi ”peperangan”. Mereka tak lagi tunduk dengan harga rendah dari tengkulak, utang, dan serangan hama yang tak terkendali.
Akan tetapi, menurut petani, mereka kini hanya beruntung. Mereka bisa panen saat daerah lain kesulitan cabai karena serangan hama dan kebanjiran. Padahal, Kementerian Pertanian memprediksi surplus produksi cabai besar pada Februari mencapai 12.460 ton dari kebutuhan 82.023 ton di Indonesia.
Pasokan cabai terbesar, antara lain, berasal dari Jabar yang mencapai sekitar 274.000 ton per tahun. Adapun Cirebon mampu memproduksi lebih dari 55.000 ton atau sekitar 20 persen dari produksi cabai Jabar. Bayalangu merupakan sentra cabai di Cirebon. Itu sebabnya, ketika daerah lain kekurangan cabai, Sanaji dan petani lain mampu menikmati harga tinggi.
”Kami tidak bisa memprediksi harga cabai selanjutnya. Yang bisa itu bandar cabai di Jabar atau Jawa Timur,” ujarnya. Namun, soal harga jatuh, Sanaji mampu menceritakan secara detail. Seperti tahun lalu, harga cabai anjlok dari Rp 20.000 per kg pada awal panen hingga Rp 4.000 per kg.
Selain pasokan berlebih, komoditas itu juga diserang hama sehingga cabai menguning dan mengurangi produksi hingga 40 persen. Petugas pertanian lapangan menyarankan agar cabai yang menguning harus dipangkas hingga satu pohon. Bagi petani, itu sama saja gagal panen.
”Seharusnya, kalau harga jatuh, pemerintah bisa membeli. Tetapi, tahun lalu, pemerintah enggak bisa,” ungkapnya. Badan usaha milik desa seharusnya juga dapat menampung cabai petani saat harga jatuh. Harapan petani, harga cabai paling tidak Rp 20.000 per kg. Namun, BUMDes malah buka usaha lain, seperti percetakan, sehingga cabai tak terbeli.
Akan tetapi, tahun ini, bisa jadi pesta petani juga tak akan lama. Petani kembali menghadapi medan perang baru melawan ancaman Covid-19 yang dipicu virus korona jenis baru. Kehadirannya rentan menurunkan harga cabai ke tingkat terendah. Daya beli masyarakat rawan tak bergairah. Apabila itu terjadi, petani lagi yang merugi.
Titin (50), petani, mengatakan, sejak sebulan terakhir, ketika Covid-19 mulai menyebar di Indonesia, harga cabai berangsur turun dan hanya Rp 18.000 per kilogram. ”Barangnya lagi banyak, tapi permintaan turun. Banyak rumah makan tutup. Kalau petani, sih, enggak tutup. Tetap ke sawah, ha-ha-ha,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia Abdul Hamid mengatakan, stok cabai saat ini cukup. Namun, permintaannya berkurang akibat wabah Covid-19 yang menghentikan sebagian aktivitas rumah makan, transportasi, hingga hotel. Dia mengatakan, dari permintaan cabai besar per bulan lebih dari 82.000 ton, kini turun sekitar 20 persen akibat Covid-19.
”Harga cabai, khususnya cabai besar, tertekan. Namun, kami optimistis keadaan akan membaik. Hotel dan rumah makan akan buka kembali. Kami juga akan panen lagi sehingga pasokannya tetap tersedia,” ujarnya.
Saat ini, tanaman cabai petani telah menginjak usia 17 hari. Tiga bulan lagi panen. Petani berharap harga tak jatuh saat panen dan dapat menggelar tradisi Syukuran Sabrang lagi tanpa dihantui ketidakseimbangan pasar hingga ancaman pandemi Covid-19.