Bela Rasa dari UKM
Pelaku usaha, terutama kecil dan menengah (UKM), sebenarnya juga berada di titik yang rentan terkena imbas pandemi Covid-19. Pendapatan terjun bebas, sementara usaha harus tetap bertahan.
Di tengah krisis, kemanusiaan sering kali menemukan wajahnya yang sejati. Meskipun perekonomian lesu, para pelaku usaha tak lantas berkeluh-kesah belaka. Mereka memilih bergerak, mengulurkan tangan bagi kalangan yang paling rentan.
Pelaku usaha, terutama kecil dan menengah (UKM), sebenarnya juga berada di titik yang rentan terkena imbas pandemi Covid-19. Pendapatan terjun bebas, sementara mereka memiliki usaha dan karyawan yang tetap harus dipertahankan.
Bambang Erbata Kalingga (49) memperlihatkan wastafel buatan sendiri di bengkelnya di Buaran, Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan, Minggu (29/3/2020). Wastafel itu simpel, hanya disangga rangka, tanpa sekat, dengan beberapa selang.
“Air akan mengucur kalau pedal di bawah wastafel diinjak. Habis cuci tangan, enggak usah pegang keran. Mungkin pengguna wastafel risau kerannya enggak bersih,” katanya.
Ia merogoh kocek sendiri untuk membuat wastafel berbiaya Rp 1,25 juta tersebut. Wastafel kreasinya diserahkan untuk digunakan pengunjung sebuah poliklinik di Tangerang Selatan.
Sehari-hari, Bambang membuka usaha membuat produk pendukung bermacam-macam industri, seperti soket, dudukan suku cadang alat berat, dan alat bantu uji kekuatan bahan. Ketika wabah Covid-19 merebak, dia berpikir, tak bisa cuma diam. “Ini medan pertempuran, Bung. Saya memikirkan sumbangsih yang bisa diberikan. Saat itu uang nyaris pas untuk membuat wastafel. Utang saya saja masih banyak. Iuran listrik belum dibayar,” ujarnya sambil tertawa.
Setelah wastafel pertama diserahkan, ternyata datang pesanan lain. Sudah ada 25 pesanan wastafel dari Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Hasil dari penjualan wastafel ia gunakan untuk membuat wastafel lain. “Keuntungan yang didapat saya gunakan membuat wastafel untuk masjid, pasar, atau gereja,” ucapnya.
Langkah Bambang untuk berbagi juga dilakukan banyak pelaku usaha lainnya. Usaha kecil dan menengah ini bergotong-royong meringankan beban sesamanya. Banyak warteg di Jakarta, umpamanya, membagikan makanan untuk warga yang terpukul lantaran mata pencarian mereka terganggu. Pekerja non-formal pun berduyun-duyun mengantre untuk menikmatinya.
Charly Santosa (43), pemilik usaha NasiUdukQ, membagikan paket nasi uduk kepada pengemudi ojek daring, pegawai pengolahan sampah, dan sopir truk ekspedisi. “Jumlahnya enggak pasti, tapi bisa sampai 20 bungkus per hari. Pemulung, tukang rujak, penjaja madu yang lewat di depan rumah juga saya beri makanan,” ujarnya.
Kedai milik Charly berangsur sepi, dengan penjualan anjlok hingga 50 persen. Namun, hal itu tak menyurutkan niatnya mengulurkan tangan. Warga Pasarmanggis, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan itu kadang berkeliling untuk berjualan sambil membagikan makanan. “Kadang-kadang ada pembeli yang tidak ambil uang kembalian. Uang itu dibelikan makanan untuk dibagikan,” katanya.
Ia juga memberikan makanan hasil sumbangan dari keluarga dan teman-temannya. Awal pekan ini, ia membuat makanan dari donasi sekitar Rp 4 juta untuk tenaga medis di Jakarta. Pekan sebelumnya, sumbangan yang dihimpun istri Charly sekitar Rp 1,65 juta digunakan untuk tujuan serupa.
Tetap peduli
Hal senada dilakukan Gaby Pananda, pendiri dan pemilik usaha Warteg&co. Ia membagikan makanan gratis untuk pengemudi ojek daring, pemulung, hingga tenaga medis yang merawat pasien Covid-19.
Tak sekadar membagikan gratis, Gaby memastikan makanan itu bernilai gizi tinggi dan enak dinikmati. “Untuk menunya seimbang antara nasi, sayuran, lauk-pauk, dan side dish. Biasanya kami kasih sayuran lebih banyak ketimbang nasi. Masakan kami bebas MSG dan dimasak dengan cara sehat,” ujarnya, Rabu (1/4).
Gaby membuka donasi dengan mekanisme per Rp 1 juta sumbangan akan dikirimkan makanan untuk 35 orang. Ia terinpirasi aksi pelanggan Warteg&co yang memesan makanan dan memberikannya kepada siapa saja yang membutuhkan. Ia pun lalu mencari tahu siapa saja yang terkena dampak paling buruk dari situasi sekarang.
“Ternyata banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Pengemudi ojek daring bercerita pendapatan mereka per hari turun drastis. Pekan depan kami menyasar masyarakat permukiman kumuh,” ujar Gaby.
Seorang juru masak, Arnold Poernomo, yang membuka usaha Mangkok Ku bersama Kaesang Pangarep, juga memiliki program yang digulirkan pada 23 Maret-23 April. “Untuk tiap pemesanan di seluruh cabang melalui aplikasi pemesanan daring, akan ada nasi endog untuk satu pengemudi ojek daring yang mengantar pesanan,” ungkap Arnold.
Di tengah pendapatan yang menurun tajam, Toko Kopi Tuku juga meluangkan diri untuk peduli. Dengan konsep bertetangga yang diusung dalam menjalankan bisnis, mereka mengirimkan kopi untuk tenaga medis di sekitar cabang toko.
“Ini kami anggap sebagai bentuk kepedulian terhadap tetangga sekitar. Kalau menyeruput Es Kopi Susu Tetangga bisa menjadi asupan tenaga rekan-rekan garda terdepan tersebut, kami sangat senang,” ujar Andanu Prasetyo, pemilik Toko Kopi Tuku.
Kopi Janji Jiwa juga ikut dalam gerakan sejuta masker bersama dengan Benih Baik yang merupakan salah satu situs penggalangan dana. Kopi Janji Jiwa mengumpulkan dana dari para mitra yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia untuk membantu penyediaan alat pelindung diri (APD) bagi para tenaga kesehatan melalui donasi yang digagas darikitauntuknakes.com. Diperoleh sekitar Rp 113 juta yang kemudian disumbangkan.
Tiga kali lipat
Pembuatan APD dilakukan pula oleh desainer Anne Avantie dengan mengerahkan seluruh tenaga produksi dan mesin yang dimilikinya. APD hanya diberikan kepada rumah sakit yang mengirimkan surat resmi ke Yayasan Anne Avantie dan tidak melayani permintaan perorangan maupun perdagangan.
Awalnya, Anne menerima pesan dari sebuah panti asuhan yang tidak lagi punya bahan makanan. “Saya bergerak membagikan ratusan kotak telur ke panti asuhan, panti wreda, anak telantar, dan pondok pesantren. Rupanya suster juga membutuhkan APD,” kata Anne, yang segera menginstruksikan pembuatan APD sejak sepekan terakhir.
Ketika membuat APD, Anne melepaskan atribut desainer. Dia menjadi pekerja kemanusiaan. Pembuatan APD dilakukan dengan manual, dengan mesin yang bukan pabrik. Dia menyerukan agar penjahit dan garmen lain yang punya mesin untuk menjadi berkat di daerah masing-masing. “Tangan saya terbatas, staf terbatas. Kalau saya bisa, mereka pasti bisa,” ujarnya.
Sementara, desainer busana Stellarissa Kamdani mencoba berkontribusi dengan membuat masker yang bisa dicuci dan dipakai ulang, untuk kemudian disumbangkan. Dia mengaku prihatin dengan melonjaknya harga masker medis secara gila-gilaan akibat aksi cari untung kalangan tertentu.
Selain bisa dicuci pakai berkali-kali, masker buatan Stella juga bisa diberi tambahan pelapis tisu di bagian dalamnya. Mereka yang tengah sakit batuk dan bersin-bersin bisa mengenakan masker itu tanpa khawatir menulari orang lain lantaran lapisan kain bisa menahan droplets orang yang sakit.
Sudah sekitar ratusan masker dia dan timnya hasilkan hingga sepekan terakhir ini. Masker-masker itu dibagikan gratis, baik ke orang-orang sekitar yang dinilai Stella membutuhkan seperti petugas satpam, tukang sampah, pengendara ojek online, dan tukang-tukang jualan.
Selain itu Stella juga menawarkan para pengikut (followers) di akun media sosialnya jika memerlukan. Dia tak ragu mengirimkan masker-maskernya lewat paket sampai ke luar kota dibiayai koceknya sendiri. Stella memang berniat untuk tidak mengomersilkan masker buatannya. Dia hanya ingin berpartisipasi membantu dengan keahlian yang dimiliki.
“Saya sebenarnya sudah susah. Penghasilan enggak ada karena fashion kan sedang stuck. Tapi saya berpikir keras supaya bagaimana caranya saya dan usaha saya bisa berguna. Tukang-tukang (jahit) dan karyawan saya bisa tetap bekerja. Kasihan mereka kalau sampai PHK. Kondisi kayak begini juga kan pasti sulit cari pekerjaan di tempat lain,” ujar Stella.
Stella mempekerjakan total 15 orang karyawan di usaha modenya itu. Dalam memproduksi masker gratis itu dia juga dibantu sejumlah kawannya, yang memesan sedikitnya 3.000 masker untuk juga dibagikan gratis ke karyawan mereka.
Dengan pesanan itu Stella bahagia karena bisa sedikit memperpanjang “napas” usahanya dan memberi pekerjaan pada para pekerjanya. Dia juga berharap semakin banyak orang terutama kalangan dunia usaha berpikiran sama seperti dirinya. Mau membantu dengan apa yang masing-masing bisa kerjakan.
Gerakan peduli pada mereka yang terdampak virus corona lewat penggalangan crowd funding tak kalah maraknya. Misalnya melalui laman kitabisa.com yang mencatat ada 1.828 kampanye berkaitan dengan corona.
Public Relation Kitabisa.com Fara Devana menyampaikan, jumlah penggalangan dana lewat kampanye di laman tersebut ketika masa sulit ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan hari biasa. Jumlah donatur juga meningkat.
Bahkan, ada laman khusus, yakni lawancorona.kitabisa.com. Dari laman ini diketahui terkumpul dana Rp 79,6 miliar dari 559.974 donatur. “Meningkat pesat memang. Kami berupaya juga penyalurannya bisa segera. Secara bertahap sudah dilakukan,” ungkap Fara.
Sebesar Rp 34,1 miliar telah disalurkan melalui yayasan atau lembaga swadaya masyarakat yang bertanggung jawab terhadap penyaluran, bekerja sama dengan kitabisa.com. Donasi ini menyasar berbagai pihak, dari pekerja harian, tenaga medis, dan kaum duafa yang terdampak secara ekonomi.
Masih banyak pelaku usaha lainnya yang tak segan memberi, bahkan ketika mereka sendiri harus berjuang keras mempertahankan usahanya. Langkah-langkah kecil yang dilakukan banyak pihak ini seakan menjadi bukti nyata bahwa manusia itu, seperti dikatakan filsuf Indonesia, Driyarkara, adalah homo homini socius. Manusia menjadi sahabat bagi sesamanya.
(BAY/DWA/FRO/IAN/WKM)