Senin (6/4/2020) digelar pemilihan ketua Mahkamah Agung dan untuk pertama kalinya, seleksi disiarkan secara ”live streaming” di akun Youtube. Dapatkah pola itu menghasilkan ketua MK kredibel dan berintegritas?
Oleh
DEA/REK
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk pertama kalinya, Mahkamah Agung akan menggelar pemilihan ketua yang disiarkan secara live streaming di akun Youtube, Senin (6/4/2020). Pemilihan ketua MA kali ini akan dilaksanakan dengan protokol korona yang ketat. Pemilihan ketua ini dilaksanakan mepet, yaitu sehari menjelang Hatta Ali, Ketua MA saat ini, memasuki masa pensiun.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah di Jakarta, Minggu (5/4/2020), rapat paripurna khusus dengan agenda pemilihan ketua MA akan diselenggarakan dengan protokol korona yang ketat. Pemilihan ketua MA itu akan diikuti 47 hakim agung.
Setiap hakim agung yang hadir akan berjarak minimal 2 meter. Mereka juga akan memakai toga, sarung tangan, masker, dan pelindung wajah. Aparatur peradilan, baik di tingkat pusat maupun daerah, dilarang menyaksikan sidang pemilihan itu. Peraturan ketat itu dilakukan untuk memenuhi protokol penanganan Covid-19 dan pembatasan sosial berskala besar yang ditetapkan pemerintah.
”Besok (Senin), sidang pemilihan ketua MA akan diaksanakan di Ruang Prof Kusumatmaja Gedung MA pada pukul 10.00 dan disiarkan langsung di kanal Youtube,” kata Abdullah.
Besok (Senin), sidang pemilihan ketua MA akan diaksanakan di Ruang Prof Kusumatmaja Gedung MA pada pukul 10.00 dan disiarkan langsung di kanal Youtube.
Menurut Abdullah, meskipun disaksikan secara daring, masyarakat dapat memantau pemilihan tersebut secara real time. Masyarakat dapat memantau acara itu di laman www.youtube.com/MahkamahAgungRepublikIndonesia. Berbagai tahapan hingga terpilihnya ketua MA akan diselenggarakan secara transparan. Pihaknya sudah menyiapkan tim humas yang akan mengabadikan acara itu secara langsung.
”Semua proses akan disiarkan secara langsung lewat akun Youtube tersebut,” kata Abdullah.
Hingga sehari sebelum pemilihan, Abdullah tidak membocorkan kandidat utama yang muncul di antara hakim agung. Menurut dia, hal itu baru akan diketahui pada hari pemilihan.
Namun, berdasarkan informasi yang ditelusuri Kompas, tiga sosok kandidat utama pengganti Hatta Ali itu adalah Hakim Agung Andi Samsan Nganro, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Syarifuddin, dan Wakil Ketua MA Bidang Nonyudisial Sunarto.
Perbaiki sistem pemilihan
Sejumlah pihak berharap pemilihan ketua MA ke depan bisa diselenggarakan secara lebih demokratis dan melibatkan partisipasi publik. Pemilihan ketua MA saat ini dinilai terlalu formal sehingga visi calon ketua baru terhadap pembaruan sistem peradilan kurang terlihat sejak awal.
Secara terpisah, mantan hakim agung Gayus Lumbuun mengatakan, memilih seorang ketua bagi MA berperan sangat luas bagi MA dan badan peradilan di bawahnya. Pengalaman Gayus selama menjabat hakim agung selama periode 2011-2018, suasana pemilihan ketua MA terlalu formal karena sifatnya sidang paripurna khusus. Tidak ada kebebasan dalam memilih ketua MA, misalnya, para hakim agung yang memilih dapat meminta visi misi calon ketua.
Padahal, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mekanisme pemilihan dilakukan melalui rapat. Selain itu, mekanisme rapat juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Dengan mekanisme rapat, seharusnya sistem pemilihan lebih cair dan fleksibel.
”Bentuk pemilihan ketua MA seharusnya jangan sidang karena suasananya kaku. Sebaiknya, pemilihan ketua dibuat seperti rapat sehingga lebih cair dan demokratis,” kata Gayus.
Menurut Gayus, karena ketua MA dipilih dalam persidangan, para hakim agung yang memiliki hak memilih dan dipilih pun tidak bisa bebas berpendapat. Mereka tidak bisa menanyakan visi dan misi calon ketua. Jika format pemilihan diubah, mungkin suasana akan lebih demokratis. Pemilihan ketua pun diharapkan menghasilkan sosok ketua yang memiliki visi misi yang baik terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Bentuk pemilihan ketua MA seharusnya jangan sidang karena suasananya kaku. Sebaiknya, pemilihan ketua dibuat seperti rapat sehingga lebih cair dan demokratis.
Selain itu, Gayus juga menyoroti soal panitia pemilihan ketua MA yang berasal dari internal MA. Hal ini, menurut dia, kurang menjaga netralitas dan obyektivitas pemilihan ketua. Apalagi, yang memimpin sidang adalah ketua lama. Jika panitia pemilihan diubah dari tim independen di luar MA, netralitas dan obyektivitas kemungkinan besar akan lebih terjaga.
Gayus, yang saat menjadi hakim agung berpengalaman memilih satu kali ketua dan dua kali wakil ketua MA, mengatakan, selama ini di antara hakim agung sudah merencanakan agar mengerucut beberapa nama saat pemilihan.
”Pimpinan rapat ini sebaiknya obyektif dan independen, yaitu pihak di luar MA yang tidak ada kepentingan. Ini supaya MA punya wajah baru untuk mendapatkan pemimpin yang baik, sebab MA adalah ujung tombak kemajuan peradilan di Indonesia,” kata Gayus.
Partisipasi masyarakat
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyu Wagiman berpendapat, selama ini partisipasi publik dalam pemilihan ketua MA memang masih minim. Masyarakat buta terhadap calon ketua MA yang akan maju dan dipilih. Lalu, bagaimana sepak terjangnya dan bagaimana visi pembaruannya terhadap sistem peradilan di Indonesia. Bahkan, hingga sehari sebelum pemilihan saja, masyarakat belum tahu siapa calon ketua MA.
Itulah mengapa, saat ini pemilihan ketua MA tetap diselenggarakan mepet dengan masa pensiun ketua MA, yang seolah-olah tidak ada masalah.
Wahyu sepakat jika sistem pemilihan ketua MA ke depan harus diubah. Menurut dia, harus ada lembaga independen di luar MA yang menjadi panitia seleksi calon ketua MA. Lembaga independen tersebut dapat berasal dari DPR, misalnya. Dengan berubahnya format pemilihan ketua MA, ke depan, partisipasi publik akan lebih terlihat. Publik juga dapat menguji sepak terjang calon ketua MA tersebut.
”Itulah mengapa, saat ini pemilihan ketua MA tetap diselenggarakan mepet dengan masa pensiun ketua MA, yang seolah-olah tidak ada masalah. Akar permasalahannya sebenarnya format pemilihan ketua MA yang kurang melibatkan partisipasi publik,” kata Wahyu.