Rencana DPR melanjutkan RUU Cipta Kerja dan Revisi Undang-Undang KUHP, dan RUU Pemasyarakatan dalam kondisi pandemi Covid-19, menunjukkan upaya mereduksi aspirasi rakyat. Kekhawatiran itu tentunya harus didengar DPR.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana Dewan Perwakilan Rakyat untuk melanjutkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan dalam kondisi bangsa saat ini menunjukkan adanya upaya mereduksi aspirasi masyarakat. DPR diminta untuk menjalankan peran pengawasan dan penganggaran yang dinilai lebih mendesak ketimbang memaksa diri membahas RUU.
Hal itu terungkap di dalam diskusi ”DPR Mencuri Kesempatan: Membebaskan Koruptor, Meloloskan Omnibus Law, RUU KUHP, dan Pemasyarakatan” yang dilakukan secara daring, Minggu (5/4/2020), di Jakarta. Panelis dalam diskusi tersebut adalah Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu, Peneliti Pada Pusat Studi Konstitusi Charles Simabura, dan Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Veri Junaidi.
Adnan mengatakan, rencana DPR untuk melanjutkan pembahasan tentang RUU Cipta Kerja, Revisi UU KUHP, dan RUU Pemasyarakatan perlu diletakkan dalam konteks penyebaran Covid-19. Ketika mulai meluas ke beberapa negara, respons Pemerintah Indonesia terlihat mengabaikan coronavirus disease 2019 (Covid-19).
”Sikap ambigu yang di satu sisi meremehkan, tetapi di sisi lain mempergunakan Covid-19 sebagai alasan justru memperlihatkan DPR dan pemerintah yang tidak kredibel dan akuntabel.”
Meski demikian, kini pandemi Covid-19 dijadikan alasan untuk membebaskan tahanan, termasuk narapidana kasus korupsi. Sejalan dengan itu, DPR berencana melanjutkan proses legislasi RUU Cipta Kerja, Revisi UU KUHP, dan RUU Pemasyarakatan. Sikap ambigu yang di satu sisi meremehkan, tetapi di sisi lain mempergunakan Covid-19 sebagai alasan, justru memperlihatkan DPR dan pemerintah tidak kredibel dan akuntabel.
”Hari ini kita hanya bisa berharap pemerintah dan DPR menunda pembahasan RUU maupun Revisi UU yang dari sisi konten masih ada masalah, lalu dari sisi prosedur terkait pemenuhan asas-asasnya, dan dari sisi publik apakah memenuhi kebutuhan masyarakat,” kata Adnan.
Charles mengatakan, DPR memang memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Namun, dalam kondisi saat ini, yang mesti diprioritaskan adalah fungsi pengawasan dan anggaran, bukan legislasi.
Fungsi pengawasan dan anggaran diperlukan untuk mengawasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. DPR juga mesti mengevaluasi kemungkinan Perppu tersebut untuk nantinya menjadi UU.
”Dalam kondisi saat ini, yang perlu dijalankan adalah fungsi pengawasan dan anggaran. Awasi anggaran yang mencapai Rp 400 triliun beserta realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 ini,” kata Charles menambahkan.
Adapun menurut Veri, RUU Cipta Kerja, Revisi UU KUHP, dan RUU Pemasyarakatan tersebut sangat krusial. Justru karena itu dibutuhkan pembahasan yang mendalam dengan melibatkan masyarakat seluas-luasnya.
Pembahasan yang dipaksakan di tengah situasi, menurut Veri, saat ini justru menimbulkan kecurigaan adanya pihak atau penumpang gelap. Sebab, dalam kondisi saat ini, ruang gerak masyarakat yang terbatas tidak akan dapat memantau sepenuhnya proses yang berjalan antara DPR dengan pemerintah.
”Sebaiknya pemerintah dan DPR menarik diri dari pembahasan. Mereka memang memiliki instrumen, tetapi juga mendengarkan kepentingan publik yang lebih luas. Proses yang harus dibangun tidak hanya formalitas, tetapi dialog publik,” kata Veri.
Puncak ”gunung es”
Erasmus berpandangan, wacana pembebasan narapidana oleh pemerintah karena kondisi rumah tahanan (rutan) maupun lembaga pemasyarakatan (lapas) merupakan puncak gunung es dari karut-marut sistem pidana di Indonesia. Sebab, dalam sistem hukum di Indonesia, pidana berupa penjara dianggap sebagai satu-satunya obat. Sementara alternatif pemidanaan belum banyak. Namun, ia tak merinci terkait adanya kapasitas penjara yang overload dan tidak sehat bagi narapida di tengah pandemi Covid-19.
”Ketika DPR mau melanjutkan pembahasan, maka ini adalah penghinaan terhadap kewarasan publik.”
Terkait dengan itu, menurut Erasmus, draf Revisi UU KUHP sampai saat ini masih belum mencukupi, termasuk untuk memberikan alternatif pemidanaan. Oleh karena itu, UU KUHP sangat krusial, DPR dan pemerintah perlu menyerap lebih banyak masukan dan aspirasi dari masyarakat.
”Tidak ada kepentingan untuk secara terburu-buru mengesahkan Revisi UU KUHP. Itu tidak akan mengubah keadaan saat ini. Maka, bongkar dulu karena ada banyak sekali isu di dalamnya. Ketika DPR mau melanjutkan pembahasan, maka ini adalah penghinaan terhadap kewarasan publik,” kata Erasmus.