Saya akui saya menulis di tengah kondisi yang tidak saya mengerti. Sudah lama saya tidak mengikuti berita kecuali baca koran Kompas karena dibuat oleh teman-teman saya, sebagian saya sebut namanya dalam doa.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
Saya akui saya menulis di tengah kondisi yang tidak saya mengerti. Sudah lama saya tidak mengikuti berita kecuali baca koran Kompas karena dibuat oleh teman-teman saya, sebagian saya sebut namanya dalam doa. Selain Kompas, sesekali saya membaca The Economist yang belakangan saya tidak membacanya karena tidak bisa jalan-jalan ke mal mampir ke toko buku untuk membelinya.
Sudah lama saya tidak menonton televisi kecuali saluran film, Fox, HBO, Diva, Celestial, Cinema World, dan Thrill karena saya suka hantu-hantuan dan sumpah pernah melihat hantu beneran. Sebagian besar waktu saya gunakan untuk membaca novel.
Saya merasa mengenal secara personal para penulis yang tempatnya jauh dan sebagian sudah meninggal, seperti Gabriel Garcia Marquez, Salman Rushdie, Umberto Eco, Milan Kundera, Hanif Kureishi, Orhan Pamuk, Charles Bukowski yang keranjingan kaki perempuan, dan lain-lain, tidak saya sebut semuanya karena saya tidak sedang menulis daftar pustaka.
Mereka lebih saya kenal daripada tetangga kanan-kiri. Apakah karena tetangga tidak menulis? Tidak juga. Saya punya banyak kenalan penulis, tetapi sebagian dari mereka tetap saja tidak saya kenal. Ekspresi mereka anonim.
Kadang saya bertanya mengapa meski sudah membatasi diri agar tidak terseret banjir informasi, tetap saja saya terinformasi oleh segala rupa informasi, termasuk yang tidak berguna buat saya. Artis itu tidak becus menyetrika baju, apa coba urusan saya dengan informasi semacam itu? Nenek 75 tahun hamil, itu urusan dia dan suami yang menghamilinya. Termasuk yang tidak ingin saya dengar, tapi akhirnya mendengar juga karena penguasa cenderung amnesia dan agaknya rakyat mulai menulis sejarahnya sendiri, informasi yang saya kutip lengkap di bawah ini:
”Saat daya saing pariwisata Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, wabah virus korona terjadi di Tiongkok. Salah satu yang sedang kita pertimbangkan untuk mengantisipasi dampak wabah ini ke pariwisata kita adalah pemberian insentif untuk wisatawan, termasuk ke travel bironya.”
Otak yang sehat memerlukan asupan yang sehat, tidak menelan semua informasi bulat-bulat dan mendistribusikannya lagi bulat-bulat.
Itu pernyataan Presiden pada 17 Februari 2020 tatkala kecemasan melanda dunia dan sepengetahuan saya sampai sekarang banyak yang tidak terima waktu itu pejabat meremehkan bahaya korona sembari tertawa-tawa.
Alasan saya melakukan diet informasi adalah karena hal-hal seperti di atas. Tubuh yang sehat perlu asupan makanan bergizi, begitu pun otak yang sehat memerlukan asupan yang sehat, tidak menelan semua informasi bulat-bulat dan mendistribusikannya lagi bulat-bulat. Jadi ingat dosen semasa mahasiswa. Dia memarahi mahasiswa yang tidak mampu mengolah informasi dengan kata-kata yang setiap kali mengingatnya saya pengin tertawa: kalian seperti burung, masuk pepaya keluar pepaya.
Setiap saat saya merasa perlu menilai dan meragukan kewarasan diri sendiri. Sahabat saya Sutanto dari Mendut yang juga saya ragukan kewarasannya berucap kepada saya: yang ngomong ilmu virus cuma politikus. Kowe mreneo wae nyepi nong gunung (kamu ke sini saja menyepi di gunung).
Barangkali dia benar. Ini zaman semua orang menjadi pakar semua hal tanpa spesialisasi pada suatu hal. Ini zaman semua orang tidak memiliki satu lingkaran kompetensi betapa pun sempit atau luasnya, tapi hendak menguasai segala hal. Mereka ongkang-ongkang dengan peranti informasi masa kini menggantikan fungsi otak dengan jempol.
Kondisi kita teramat luas, ucap guru saya Gunawan Rahardja. Kalau sekarang sebagai penganggur kamu ingin buka usaha, coba mau usaha apa, tanyanya kepada saya. Saya akui bingung memikirkannya. Dulu, karena kondisi yang sempit, namanya usaha tinggal buka warung di depan rumah. Sekarang kamu ganti pakaian dan bergerak, perintahnya untuk memulai latihan silat. Dalam situasi apa pun selalu jaga pikiran. Kendalikan pikiran ketika menerima atau menemui hal yang tidak menyenangkan dan tidak menggembirakan, kata dia. Dalam Zen, murid wajib memercayai guru melebihi kepercayaan terhadap siapa saja, termasuk presiden dan para menteri.
Saat ini sama seperti semua orang saya dan istri melulu tinggal di rumah. Hanya kadang kala karena satu dan lain hal, tak terhindarkan saya harus meninggalkan rumah.
Saya keluar, tetapi ada yang tetap saya rumahkan: pikiran saya.