Cerita wartawan Kompas saat meliput pertambangan ilegal di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Mobilnya mogok di depan kuburan tua dan tidak ada warga yang mau menolong karena dikira intelijen polisi.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·6 menit baca
Wartawan Kompas Emanuel Edi Saputra meliput pertambangan ilegal di pedalaman Kalimantan Barat dan dihadapkan pada hal tidak terduga. Dia terjebak di depan kuburan pada tengah malam yang sepi karena kehabisan bahan bakar. Kesialan bertambah saat tidak ada warga yang mau membantu karena dikira intelijen polisi. Berikut ini ceritanya.
Sekitar tahun 2014, seusai liputan budaya dan konflik tenurial di Kabupaten Landak, sekitar 300 km dari Pontianak ibu kota Kalimantan Barat, saya berencana ingin melanjutkan liputan ke daerah Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang. Di Monterado terdapat pertambangan emas. Emas di sana sudah digarap sejak ratusan tahun silam, sekitar tahun 1700-an pada masa Kongsi Pertambangan China.
Seorang rekan saya ingin menemani. Kebetulan ada kerabatnya di Monterado sehingga bisa menumpang tidur di sana. “Kita berangkat pukul 19.00 saja, soalnya saya masih ada pekerjaan,” ujarnya.
Saya mengikuti saja. Sebab, saya pikir dia pasti sudah mempertimbangkan risiko perjalanan. Sedangkan, saya belum pernah ke Monterado kala itu. Ini kali pertama saya ingin ke Monterado.
Pukul 19.00 kami berangkat. Menyusuri jalan-jalan sempit dengan aspal yang terkadang berlubang menuju kota Bengkayang, ibu kota Kabupaten Bengkayang. Sekitar 1,5 jam meninggalkan kota Ngabang, ibu kota Kabupaten Landak, kami menyusuri jalan sempit berkelok-kelok.
Saya pun pelan-pelan membawa mobil. Apalagi, malam hari dan sudah agak mengantuk. Sekitar 45 menit perjalanan melintasi jalan berkelok-kelok dan sempit yang membuat pusing kepala di malam hari.
Di situ harus pelan, selain jalanan sempit dan berkelok, juga ada kucing yang kerap menyeberang jalan. Di sisi kanan jalan puluhan kompleks permakaman masyarakat Dayak kami lintasi. Kondisi gelap gulita.
Sekitar pukul 22.00 kami tiba di kota Bengkayang dan makan malam. “Kita tarik napas dulu bro. Perjalanan masih jauh,” ujar rekan saya.
Kami pun makan dan minum kopi. Setelah segar, kami melanjutkan perjalanan menuju Monterado. Sekitar 45 menit dari kota Bengkayang ada tanjakan yang disebut tanjakan Vandering. Vandering konon dibuat oleh Belanda sebagai pertahanan mereka.
Kami tiba di Vandering sekitar pukul 23.00. Melintasi Vandering itu, pertama kali akan disuguhkan dengan tanjakan yang keloknya ada puluhan, meskipun demikian jalurnya beraspal. Saya tidak sempat menghitung tepatnya berapa jumlah keloknya karena kepala saya pusing. Keloknya yang banyak membuat kecepatan hanya bisa rata-rata 30 km per jam.
Lalu di sepanjang tanjakan itu kucing masih sering lewat.
“Bro orangtua bilang kalau banyak kucing artinya ada kuntilanak,” ujar saya.
Saya menoleh ke sebelah dan rekan saya ternyata tertidur. Dia tidak menjawab omongan saya. Saya masih fokus mengendarai mobil sambil berhati-hati karena di sisi kanan ada jurang yang dalam.
Tanjakan pun berhasil dilintasi sekitar hampir 10 menit. Namun, selanjutnya jalan yang dilintasi giliran menurun dan masih masuk wilayah Vandering. Jalurnya juga berkelok-kelok dan bisa dilalui dengan lancar.
Setelah keluar dari Vandering, sekitar pukul 00.00 kami mendekati Monterado. Di ujung jalan beraspal, mobil mulai tersendat sendat. Sementara jarum indikator bahan bakarnya menunjukkan bahwa bahan bakar masih banyak.
“Bangun. Mobil sepertinya habis bahan bakar,” ujar saya.
Rekan saya pun bangun. Mesin mobil mati. “Indikator bahan bakar di dashboard masih setengah. Harusnya bahan bakarnya masih banyak,” ujar rekan saya itu.
Ternyata jarum indikator bahan bakarnya rusak. Perjalanan masih sekitar 20 menit mencapai tujuan. Saya mencoba menyalakan mesin mobil lagi dan berhasil menyala. Hanya saja jalannya tersendat sendat bak naik kuda.
“Tetap gas saja, semoga pas masuk ke Monterado ada yang jual solar eceran,” ujar rekan saya.
Dikira intelijen
Mobil pun masih bisa berjalan hingga 15 menit. Namun, saat melintasi makam tua, sebelum memasuki Monterado, mobil benar benar tidak bisa jalan lagi. Di sekeliling mencekam. Hari baru saja selesai hujan. Nisan pemakaman China di situ terlihat sangat jelas.
Teman saya berupaya menelepon rekannya yang ada di sana untuk minta dibawakan solar. Namun, tidak diangkat. Dari kejauhan saya melihat ada cahaya lampu sepeda motor ke arah kami. “Nah. Kita minta bantuan yang lewat saja,” ujar saya.
Sepeda motor itu pun semakin mendekat. Namun, tatapan laki-laki yang mengendarai sepeda motor itu datar. Seperti pura-pura tidak melihat. Lambaian tangan kami tidak digubris oleh laki-laki itu.
“Aduh sialan. Kok dia takut ya. Apa itu hantu ya,” ujar saya dalam hati.
Tak lama, laki-laki itu melintasi kami lagi dengan tatapan yang datar. Dia lagi-lagi tidak menggubris kami. Kami pun memutuskan untuk berjalan kaki menuju pusat toko sekitar 15 menit dengan hujan yang masih rintik-rintik.
Untung masih ada satu warung kopi yang buka. Kami singgah di situ. Ternyata di situ ada laki-laki yang melintasi kami. “Kok Bapak tidak berhenti saat kami melambaikan tangan?,” ujar rekan saya kepada laki-laki itu.
“Kalian siapa?,” ujar laki-laki itu.
“Kami mau ke tempat keluarga,” ujar rekan saya. Kami menyembunyikan identitas saya karena liputan pertambangan ilegal sangat sensitif di wilayah itu.
“Oh begitu. Saya kira kalian intel,” ujar laki-laki itu berbisik.
Dia mengira kami intel mungkin karena warna mobil yang kami pergunakan mirip mobil polisi. Di situ ternyata masih ada jual solar eceran. Di tempat pertambangan pasti banyak stok solar. Kami pun bisa mendapatkan solar 20 liter dengan hanya sekitar Rp 130.000 kalau tidak salah. Kami meminta bantuan laki-laki itu untuk membawa kami dengan sepeda motor ke mobil yang masih terparkir di tepi makam.
Kami pun berhasil mendapatkan bahan bakar. Dan mobil bisa menyala. Kami mengucapkan terima kasih kepada laki-laki itu atas bantuannya. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah keluarga rekan saya itu. Singkat cerita kami sampai di rumah keluarga rekan saya itu dan beristirahat.
Keesokan paginya, saya mengatur strategi untuk memotret lokasi pertambangan di situ. Kami menggunakan pakaian bak orang biasa, bukan wartawan. Kemudian, kamera saya masukan ke plastik. Kami menuju salah satu sudut wilayah itu yang memungkinkan untuk memotret pertambangan.
“Kamu naik di atas pohon saja. Saya memantau dari bawah. Kalau saya bilang ada orang, kamu harus cepat turun ya,” ujar rekan saya.
“Oke,” ujar saya.
Sebelum saya naik ke atas pohon, ternyata ada orang melintas. “Lagi cari apa Bang?,” ujar orang itu.
“Lagi cari burung Pak,” ujar saya.
Orang itu pun pergi dengan tatapan setengah curiga. Saya naik ke atas pohon dan bisa memotret beberapa lokasi. Namun, memang tidak begitu ideal hasilnya, tetapi cukup kuat untuk kisah kerusakan lingkungan.
Setelah satu malam di situ, saya pulang ke Pontianak melalui Kota Singkawang. Sebab, lebih dekat ke Singkawang dari Monterado. Foto kerusakan lingkungan itupun terbit di halaman Nusantara beserta berita tentang kesulitan air bersih di wilayah tersebut.