Kasus penculikan anak menunjukkan tren menurun. Namun, kasus ini tetap harus mendapat perhatian lebih. Modus dan motifnya kian sulit diprediksi dan menggunakan kecanggihan teknologi informasi komunikasi.
Oleh
·3 menit baca
Kasus penculikan anak menunjukkan tren menurun. Namun, kasus ini tetap harus mendapat perhatian lebih. Modus dan motifnya kian sulit diprediksi dan menggunakan kecanggihan teknologi informasi komunikasi.
Penculikan, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, adalah bentuk kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang karena dengan sengaja menarik, membawa pergi atau menyembunyikan seseorang dengan kekerasan atau ancaman. Penelusuran pemberitaan Kompas periode Januari-Maret 2020 memperlihatkan penculikan masih terjadi di sejumlah daerah, seperti Yogyakarta, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat.
Namun, Catatan Statistik Kriminal 2019 menunjukkan tren penurunan kasus penculikan. Tahun 2016, masih terjadi 374 penculikan, selanjutnya turun pada 2018 menjadi 222 kasus. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan kecenderungan sama. Tahun 2016 ada 78 kasus dilaporkan. Dua tahun kemudian hanya ada 42 laporan.
Jajak pendapat Kompas awal Maret juga menunjukkan fakta sama. Mayoritas responden (63,8 persen) mengatakan tidak ada penculikan anak di sekitar tempat tinggalnya dalam enam bulan terakhir. Sebanyak 23 persen responden menyebut ada kasus penculikan 1-3 kali kejadian di daerah mereka.
Modus
Kendati menurun, modus penculikan lebih beragam. Mereka tak lagi menggunakan kekerasan, tetapi cenderung lebih halus sehingga sulit terdeteksi. Bahkan, menggunakan kemajuan teknologi informasi.
Separuh lebih responden menyebutkan, penculik anak kerap menggunakan boneka, permen, makanan, atau mainan sebagai iming-iming. Modus ini dilakukan agar calon korban mau berinteraksi sebelum pelaku melancarkan aksinya.
Cara itu agaknya bukan modus baru lagi. Berita Kompas pada 1990-an, penculik kerap menggunakan barang sebagai penarik korban.
Selain itu, seperlima responden mengungkapkan pelaku juga kerap menyamar sebagai kerabat atau teman orangtua korban. Lalu, dilanjutkan berpura-pura mendapat mandat orangtua korban untuk menjemput anak.
Berbagai sikap empati yang diajarkan kepada anak-anak pun kerap disalahgunakan penculik. Sembilan persen responden mengatakan, penculik juga melakukan rekayasa dengan berpura-pura sakit atau terluka. Ada pula yang berpura-pura kehilangan sesuatu dan meminta bantuan korban, sebelum akhirnya menculiknya.
Namun, ada juga modus baru penculik, yakni jebakan melalui siber lewat sistem daring. Itu terjadi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Desember 2018. Penculik mencari identitas calon korban melalui media sosial dan mendekati dengan percakapan daring. Setelah cukup mengenal, pelaku mengajak bertemu calon korban, hingga akhirnya terjadi penculikan.
Motif
Motif pelaku dalam menculik anak pun beragam. Persoalan ekonomi jadi alasan mayoritas penculik. Hampir separuh responden mengatakan bahwa motif pelaku adalah untuk dijual organ tubuhnya.
Alasan ini tak lepas dari upaya menyambung hidup dan jalan terakhir saat terjerat kesulitan. Meski demikian, motif itu perlu diselidiki lebih dalam karena kerap ada kabar bohong atau hoaks.
Penculikan tak jarang berujung pada perdagangan anak. Ini disebut seperlima responden. Sisanya mengatakan penculikan jadi alat meminta tebusan. Bahkan, korban dijadikan sebagai pengemis.
Aparat kepolisian berperan penting dalam upaya pencegahan terulangnya penculikan anak. Separuh responden menyarankan polisi mengimbau orangtua untuk menjaga anaknya. Salah satunya dengan mengantar-jemput anak saat berangkat dan pulang sekolah.
Kewaspadaan
Seperempat responden lainnya menyebut kepolisian melakukan penyuluhan ke beberapa sekolah soal cara menghadapi penculik. Memberikan gambaran, misalnya, agar tidak mudah percaya kepada orang lain di luar keluarga.
Namun, untuk membantu upaya pencegahan penculikan anak, juga perlu peran masyarakat umum. Tiga dari lima responden mengaku akan langsung mencegah jika langsung melihat penculikan. Hal ini bisa dilakukan dengan pertimbangan modus-modus penculikan sudah diketahui masyarakat.
Selanjutnya, 21 persen memilih akan langsung melaporkan kepada polisi atau RT/RW dan aparat desa/kelurahan. Kecanggihan teknologi juga menginspirasi 5 persen responden untuk mendokumentasikan kejadian sebelum mencegah atau melaporkan ke pihak berwajib. Dokumentasi itu dapat dijadikan alat bukti sebelum ditelusuri ataupun disebarluaskan untuk kewaspadaan bersama.
KPAI juga menyarankan pentingnya masyarakat melaporkan penculikan kepada pihak berwajib. Tujuannya supaya kasus mendapat penanganan tepat serta menghindari adanya kabar bohong yang kerap beredar di masyarakat.
Saatnya membangun sinergi kuat pada masyarakat dan kepolisian untuk mencegah penculikan anak. Meskipun angka kasus cenderung menurun, modus yang terus berkembang wajib diikuti kewaspadaan. (LITBANG KOMPAS)