Arus Mudik Tak Terkendali
Pemerintah diminta mengendalikan arus mudik untuk mencegah kian meluasnya penyebaran Covid-19 ke pelosok Indonesia
JAKARTA, KOMPAS — Arus mudik masyarakat dari kawasan Jabodetabek ke sejumlah wilayah di Indonesia berlangsung tidak terkendali. Mengingat Jabodetabek merupakan episentrum Covid-19, situasi ini rawan mempercepat penyebaran virus. Karantina wilayah belum terlambat.
”Saat ini, pergerakan orang keluar dari Jabodetabek tidak terkendali. Ini rawan mempercepat penyebaran Covid-19. Tidak ada kata terlambat untuk karantina wilayah. Prioritasnya untuk Jabodetabek sebagai episentrum Covid-19,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (06/04/2020).
Dalam situasi biasa, arus mudik dari Jabodetabek ke berbagai wilayah di Indonesia biasanya terjadi paling cepat dua minggu sebelum Lebaran. Tahun ini, Idul Fitri jatuh pada 24-25 Mei. Artinya, arus mudik mestinya baru mulai berlangsung pertengahan Mei.
Namun, dengan adanya penyebaran Covid 19 di Tanah Air, masyarakat perantau di kota-kota tujuan urbanisasi seperti Jabodetabek sudah mulai mudik pada pekan-pekan ini. Sebab, kegiatan ekonomi di Jabodetabek sendiri nyaris berhenti.
Sejauh ini, tidak ada karantina wilayah untuk Jabodetabek atau kebijakan melarang masyarakat mudik. Meskipun memilih skema pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB, Presiden Joko Widodo menganjurkan warga tidak mudik ke kampung, bahkan akan mengganti opsi liburan Lebaran.
Kebijakan tersebut, menurut Endi, tidak ditujukan untuk menahan pergerakan masyarakat keluar dari Jabodetabek. Dengan demikian, masyarakat bebas keluar dari episentrum Covid-19. Selain itu, PSBB terhadap suatu wilayah ditetapkan berdasarkan usulan daerah yang kemudian dibahas di pemerintah pusat.
”Ini sangat birokratis. Padahal, dalam situasi seperti saat ini, kecepatan eksekusi sangat vital,” kata Endi.
Gubernur DKI Anies Baswedan dalam konferensi video dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, pekan lalu, juga mengkritik PSBB. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, Gubernur hanya bisa mengatur pergerakan manusia di wilayah provinsi masing-masing. Sementara episentrumnya mencakup tiga provinsi, yakni Jakarta, sebagian Jawa Barat, dan sebagian Banten.
”Penanganan sebagai satu kesatuan menjadi penting. Sebab, Jakarta, Depok, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Tangerang Raya ini satu episentrum. Kalau tidak ada penanganan yang terintegrasi, akan repot. Ini yang perlu nanti ada terobosan supaya kita bisa mengelola ini dengan lebih baik,” kata Anies.
Sehari setelahnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam konferensi video dengan Ma’ruf Amin menyatakan, sampai pekan lalu sekitar 70.000 orang sudah mudik ke Jawa Barat. Hal ini rawan mempercepat dan memperluas penyebaran Covid-19 di Jawa Barat.
”Yang kami khawatir adalah mudik. Sekarang, dalam catatan kami, sudah ada mudik 70.000 orang ke Jabar. Artinya, kami tiba-tiba mendapati 70.000 ODP (orang dalam pemantauan) baru. Padahal, ODP yang sudah ada, sedang kami tes. Kalau kedatangan 70.000 ODP baru, kami akan kehabisan alat tes untuk meyakinkan bahwa mereka orang-orang yang sehat. Kenyataan banyak yang tidak sehat,” kata Ridwan.
Ridwan mencontohkan dua kasus positif Covid-19 gara-gara tertular famili yang baru datang dari Jakarta. ”Dua cerita ini menunjukkan, jika mudik ini tidak kita tahan, kami di Jabar, Jateng, Jatim, dan Yogyakarta akan kewalahan luar biasa karena pulangnya ke pelosok-pelosok,” kata Ridwan.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 Doni Monardo dalam keterangan pers pada Senin menyatakan, 57 persen masyarakat perantau tidak mudik. Sebanyak 7 persen telah mudik. Adapun 37 persen belum mudik. Data ini didasarkan atas survei Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
”Persiapan pemerintah daerah sudah ada. Hampir semua pemda sudah menyiapkan diri. Saat ini diharapkan ujung tombak terdepan adalah kepala desa. Kepala desa bisa manfaatkan karang taruna, posyandu, PKK, serta unsur TNI dan Polri, seperti babinkamtibmas dan babinsa, untuk bersama-sama melakukan isolasi mandiri dari warga yang baru tiba,” kata Doni.
Indonesia, menurut Doni, adalah negara yang relatif memiliki instrumen pemerintahan yang sangat kuat, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota, kecamatan, desa dan kelurahan, hingga RT dan RW. ”Apabila instrumen ini bisa berjalan efektif, kita mampu melakukan upaya pencegahan terhadap masyarakat yang berisiko tinggi,” kata Doni.
Baca juga : Pemkot Solo Siap Lakukan Karantina untuk Pemudik dan ODP
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, Minggu (5/4/2020), mengatakan, mudik adalah tradisi positif bangsa Indonesia. Namun, ketika Covid-19 merebak, kegiatan mudik perlu ditimbang ulang.
”Kegiatan-kegiatan keagamaan saja dibatasi sedemikian rupa sesuai dengan hukum syariat, maka mudik tentu saja sebagai kegiatan sosial dapat dihentikan atau tidak dilaksanakan,” kata Haedar.
Dalam suasana seperti ini, Haedar menambahkan, penting untuk mengedepankan prinsip untuk tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan kerugian diri sendiri dan keluarga ataupun orang lain. Oleh karena itu, saatnya masyarakat mengerem kegiatan mudik. Mudik bisa diganti di lain waktu saat bangsa Indonesia sudah keluar dari Covid 19.
Haedar berharap pemerintah bersikap tegas terhadap kegiatan mudik. ”Jangan sampai ormas dan tokoh agama diminta meyakinkan warga untuk tidak mudik, sementara pemerintah sendiri membolehkan dan tidak melarang warga untuk mudik. Kalau memang pemerintah mengizinkan warga mudik, biarlah tokoh agama berhenti mengimbau warga sehingga segala urusan Covid-19 menjadi sepenuhnya urusan pemerintah,” ujar Haedar.
Mengutip siaran pers Sekretariat Presiden, Presiden Joko Widodo pada pengantar rapat terbatas melalui telekonferensi di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (30/3/2020), menyatakan, mobilitas orang dalam jumlah banyak pada mudik sangat berisiko memperluas penyebaran Covid-19. Pada mudik tahun lalu, misalnya, terjadi pergerakan 19,5 juta orang ke seluruh wilayah Indonesia.
Arus mudik tahun ini, menurut Presiden, terjadi lebih awal. Sejak penetapan tanggap darurat di DKI Jakarta, telah terjadi percepatan arus mudik, terutama dari para pekerja informal di Jabodetabek menuju Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur.
Oleh karena itu, Presiden menekankan fokus pemerintah saat ini adalah mencegah meluasnya Covid-19 dengan mengurangi atau membatasi pergerakan orang dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk itu, Presiden meminta agar dilakukan langkah-langkah yang lebih tegas untuk mencegah terjadinya pergerakan orang ke daerah. Imbauan saja tidak cukup.
”Saya melihat sudah ada imbauan-imbauan dari tokoh-tokoh dan gubernur kepada perantau di Jabodetabek untuk tidak mudik dan ini saya minta untuk diteruskan dan digencarkan lagi, tetapi menurut saya imbauan-imbauan seperti itu juga belum cukup. Perlu langkah-langkah yang lebih tegas untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 ini,” kata Presiden.
Baca juga : Perjalanan ke Luar Daerah Picu Lonjakan Kasus Positif di Kalsel
Untuk keluarga yang sudah telanjur mudik, Presiden meminta kepada para gubernur, bupati, dan wali kota untuk meningkatkan pengawasannya. Sejumlah daerah telah menerapkan protokol kesehatan dengan baik.
Namun, Presiden mengingatkan agar penerapa nya dilakukan secara terukur, tidak sampai menimbulkan langkah-langkah penapisan yang berlebihan. ”Terapkan protokol kesehatan dengan baik sehingga memastikan bahwa kesehatan para pemudik itu betul-betul memberikan keselamatan bagi warga yang ada di desa,” kata Presiden.