Industri perhotelan melakukan berbagai strategi untuk bertahan di tengah pandemi Covid-19. Mereka mengandalkan sumber daya yang ada untuk tetap menghadirkan dana kas hingga membangkitkan kesadaran sosial.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri perhotelan melakukan berbagai strategi untuk tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19 yang memukul industri pariwisata. Strategi bertahan dilakukan dengan mengandalkan sumber daya yang ada untuk tetap menghadirkan dana kas hingga membangkitkan kesadaran sosial.
Beberapa hotel menawarkan paket menginap untuk bekerja di luar kantor. Instyle Hotel di Kuta, Bali, misalnya, menawarkan paket bekerja dari hotel dengan rentang waktu seminggu sampai sebulan sampai akhir Mei. Paket itu dihargai mulai dari Rp 650.000 hingga Rp 2.500.000 dengan fasilitas Wi-Fi, akses ke kolam renang, diskon laundry, dan pembersihan kamar dua kali seminggu.
Hotel Swiss Bel Express Kuta juga menawarkan paket menginap selama 30 hari sampai 31 Mei 2020 seharga Rp 4.890.000 juta dengan fasilitas Wi-Fi dan akses kolam renang. Melalui akun Instagram, Swiss Bel Hotel Indonesia bahkan menyediakan layanan antar produk jasa makanan dan minuman (Food and Beverage/F&B) mereka secara daring.
Jaringan hotel lain, seperti Artotel, juga berstrategi dengan meningkatkan pilar lain di bisnis mereka selain layanan penginapan serta makanan dan minuman. CEO Artotel Group Erastus Radjimin kepada Kompas, Senin (6/4/2020), mengatakan, saat ini mereka fokus membuat konten terkait gaya hidup dan kesadaran sosial.
”Pada saat bisnis hotel dan F&B tiarap, kami fokus ke konten. Mengingat tema usaha kami adalah hotel dan gaya hidup, kami fokus membangun koneksi antara brand dan masyarakat sekaligus menciptakan dampak sosial. Menurut kami, hal ini penting karena jika tidak melakukan apa-apa di kondisi saat ini, tidak akan sehat bagi perusahaan,” katanya.
Saat ini, Artotel memperbanyak konten digital dengan melibatkan pelaku industri kreatif hingga tokoh gaya hidup dalam bentuk seminar web, tutorial, hingga gelar wicara. Konten itu dibuat untuk meningkatkan kesadaran sosial pada masyarakat agar tetap di rumah hingga mendukung garda terdepan penanganan Covid-19.
Peralihan fokus usaha ke digital seperti demikian, menurut Erastus, dilakukan karena sudah 50 persen karyawannya bekerja di rumah. Adapun dari 15 properti hotel yang dimiliki Artotel di seluruh dunia, saat ini tinggal 6 sampai 7 hotel yang masih beroperasi. Sejauh ini, manajemen Artotel berupaya untuk tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) sampai Minggu (5/4/2020), 1.180 properti hotel di seluruh Indonesia ditutup sementara. Jumlah tersebut hampir setengah dari seluruh hotel berbintang, yang menurut data Badan Pusat Statistik 2018, mencapai 3.314 hotel.
Maksimalkan insentif
Mewakili pelaku industri perhotelan, Erastus mengatakan, saat ini rata-rata okupansi hotel yang masih beroperasi hanya mencapai 20 persen. Dengan okupansi yang turun, pelaku usaha harus menekan biaya pengeluaran hotel yang rata-rata 60-70 persen dari omzet.
”Pengeluaran hotel paling besar adalah gaji karyawan, dan utilitas, seperti listrik dan air. Hotel bisa ditutup supaya biaya utilitas berkurang, tetapi karyawan, kan, enggak bisa,” ujarnya.
Oleh karena itu, Erastus berpendapat, insentif yang diberikan pemerintah berupa keringanan pajak dan upah, pengajuan kredit, serta diskon biaya listrik dan bahan pokok untuk pekerja yang tidak bekerja bisa membantu.
Namun, ia berharap pemerintah bisa lebih fokus menangani pandemi agar tidak berdampak lebih lama pada aktivitas ekonomi.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio, dalam unjuk bincang Live Stream Fest bertajuk ”Tourism Strategy in Facing the Challenge”, Minggu (5/4/2020), mengatakan, pihaknya dan kementerian/lembaga pemerintah lainnya terus berkoordinasi untuk menangani pandemi.
Adapun upaya untuk mendukung usaha yang terdampak pandemi juga terus dikerjakan. Misalnya, meminimalkan potensi PHK.
”Sementara ini, kami masih dalam diskusi dan perencanaan bersama kementerian/lembaga dengan melibatkan kementerian koordinator terkait dan dengan persetujuan Presiden untuk mengeluarkan stimulus baru,” katanya.
Menurut Wishnutama, industri ariwisata menjadi sektor industri paling terdampak pandemi dibanding 12 sektor industri lain di Indonesia, seperti transportasi, pertambangan, jasa logistik, tekstil, dan produk tekstil.
Pandemi membuat sekitar 13 juta pekerja formal dan 40 juta pekerja informal di sektor pariwisata terdampak. Nilai kerugian dari pandemi jika berakhir pada Mei atau Juni, menurut dia, akan mencapai 15 miliar dollar AS, dihitung dari proyeksi hilangnya devisa pariwisata.
Masa pemulihan industri pariwisata juga diperkirakan membutuhkan waktu 10 bulan, menurut World Travel & Tourism Council (WTTC). ”Namun, menurut Tourism Economics, industri pariwisata dunia baru betul-betul pulih pada 2022,” pungkasnya.