Efektivitas atau validitas 500.000 alat tes cepat Covid-19 yang telah didistribusikan ke seluruh daerah, cukup beragam. Alat-alat tes itu terdiri atas berbagai jenis, yang kecocokannya berbeda-beda.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rencana tes massal dengan alat tes cepat hingga kini belum bisa direalisasikan pemerintah. Saat ini sudah didistribusikan 500.000 unit alat tes dalam berbagai jenis ke seluruh Indonesia, tetapi validitasnya tidak sama antara satu jenis alat tes dengan alat lainnya.
Selain itu, alat tes cepat itu juga lebih diutamakan bagi petugas medis, perawat, dan dokter yang merawat pasien Covid-19.
Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Penyakit Covid-19 Doni Monardo dalam rapat kerja bersama Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Senin (6/4/2020) mengatakan pengadaan rapid test kit atau alat pengetesan cepat masih terus dilakukan pemerintah.
Harapannya agar lebih banyak orang yang bisa mengikuti tes cepat. Namun, alat itu sendiri jumlahnya terbatas, dan pembeliannya harus berebut dengan negara-negara lain yang sama-sama memerlukan.
“Jumlah alat rapid test memang masih kurang, dan berusaha didapatkan lagi. Tetapi sekalipun kita ada uang, belum tentu barang itu didapatkan, karena harus rebutan dengan banyak negara yang juga sama-sama membutuhkan. Jadi jumlah alatnya ini memang terbatas,” katanya.
Menurut dia, dari 500.000 alat tes yang telah didistribusikan ke seluruh daerah, efektivitas atau validitasnya pun beragam. Alat-alat tes itu terdiri atas berbagai jenis, yang kecocokannya berbeda-beda.
“Ada yang ketiak dites dengan rapid tes itu hasilnya negatif. Tetapi ketika dites dengan PCR test (polymerase chain reaction), ternyata positif. Sebaliknya, ada yang dites dengan rapid test positif, tetapi dites dengan PCR itu negatif. Karena ada beberapa jenis rapid test yang datang ke Indonesia,” katanya.
Di sisi lain, menurut Doni, para ahli masih berdebat tentang efektivitas rapid test ini. Di tengah kondisi itu, jumlah rapid test yang terbatas diprioritaskan pada pekerja medis, perawat, pegawai rumah sakit, dokter, pengemudi ambulans dan mobil jenazah, serta keluarga mereka. Selain itu, rapid test juga diutamakan kepada masyarakat yang terpapar langsung maupun tidak langsung dengan pasien positif Covid-19.
“Seandainya tidak ada hubungan dengan orang-orang yang kami prioritaskan itu, sebaiknya tidak perlu ikut rapid test. Saya misalnya, sampai hari ini belum ikut rapid test. Karena kalau saya tes hari ini, dan dinyatakan negatif, sementara dalam lima hari ke depan saya ketemu orang, bisa saja saya jadi positif. Jadi ikut rapid test tidak akan menjamin akan aman selamanya,” kata Doni.
Sementara itu, di dalam raker yang dipimpin Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto, para anggota DPR juga bertanya tentang penggunaan anggaran Covid-19 di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan gugus tugas. Mereka antara lain ingin memastikan Gugus Tugas benar-benar memanfaatkan anggaran itu untuk keperluan pengadaan alat perlindungan diri (APD) bagi tenaga kesehatan yang berada di garis depan.
Doni mengatakan, anggaran yang dibutuhkan BNPB sekitar Rp 3,3 triliun. Pada tahap pertama, telah disalurkan Rp 356 miliar kepada Kementerian Kesehatan, yang prioritasnya ialah pembelian APD, rapid test kit, ventilator, dan masker untuk dokter maupun perawat. Tahap kedua, BNPB menerima dana RP 2,78 triliun untuk pelayanan kesehatan, termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit, farmasi, alat kesehatan, serta mobilisasi serta pendampingan rapat dan kerja operasional gugus tugas.
“Dari dana-dana tersebut, sebanyak Rp 29 miliar lebih antara lain juga disalurkan untuk memfasilitasi kepulangan WNI kita di Natuna, Pulau Sebaru, dan Wisma Atlet Kemayoran,” kata Doni.
Anggota Komisi VIII Diah Pitaloka, mengatakan, penanganan penyakit berbasis komunitas dengan pelibatan RT dan RW di tingkat daerah menjadi solusi yang baik untuk diupayakan pemerintah.
Terkait hal ini, Doni mengatakan, pihaknya memang menekankan pelibatan masyarakat berbasis komunitas dalam menangani Covid-19. Dari berbagai kajian Gugus Tugas, para Ketua RT dan Ketua RW ternyata lebih didengar oleh masyarakat. Saat mereka melihat warganya berkumpul dan tidak menaati pembatasan jarak, Ketua RT dan Ketua RW bisa langsung menegur warga.
“Jadi kalau Ketua RT atau Ketua RW marah, warga lebih menaruh perhatian daripada dikenai tindakan oleh polisi. Sebab, ketika Ketua RT marah, mereka akan takut dipersulit saat mengurus keperluan administrasi kependudukan mereka. Oleh karenanya, pelibatan masyarakat dan komunitas hingga tingkat RT dan RW ini sangat penting,” katanya.
Doni juga menekankan pentingnya semua pihak mengikuti imbauan dan putusan Presiden Joko Widodo. Kebijakan untuk memberlakukan darurat kesehatan masyarakat telah dilakukan dengan pertimbangan matang, dan mempertimbangkan berbagai hal.
“Ibaratnya gerbong kereta api, ketika lokomotifnya bergerak, tentu semua gerbong di belakangnya akan bergerak searah mengikuti lokomotif. Tetapi bila ada gerbong yang tidak mengikuti lokomotif, tentu akan ada gerbong yang keluar rel, sehingga mengakibatkan perjalanan satu kereta itu terhambat semuanya,” kata Doni.
Anggota Komisi VIII Maman Immanulhaq mengatakan, Indonesia memerlukan konten-konten positif untuk membangun narasi keyakinan masyarakat Indonesia dalam melawan Covid-19. Di sisi lain, pelibatan komunitas dan kepemimpinan informal merupakan upaya lainnya untuk menyentuh akar rumput, serta mneyadarkan mereka akan bahaya Covid-19.