Jepang Pertimbangkan Penerapan Status Keadaan Darurat
›
Jepang Pertimbangkan Penerapan...
Iklan
Jepang Pertimbangkan Penerapan Status Keadaan Darurat
Pemerintah Jepang berencana menetapkan status darurat. Langkah itu diambil untuk membendung penyebaran Covid-19.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
TOKYO, SENIN — Untuk menghentikan penyebaran wabah korona baru, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berencana menetapkan status negara dalam keadaan darurat pada Selasa atau Rabu mendatang. Pemerintah Jepang didesak segera bersikap tegas mengingat cepatnya kasus bertambah. Di Jepang, lebih dari 3.500 orang positif Covid-19 dan 85 orang di antaranya meninggal.
Dengan undang-undang yang sudah direvisi khusus untuk kepentingan korona, Maret lalu, perdana menteri boleh menyatakan keadaan darurat apabila wabah korona itu dinilai telah membahayakan hidup dan jika penyebarannya mengganggu perekonomian. Status keadaan darurat bisa diberlakukan sampai dua tahun dan bisa diperpanjang satu tahun.
Sebagaimana dikutip harian Yomiuri, Senin (6/4/2020), juru bicara Pemerintah Jepang, Yoshihide Suga, mengaku belum ada keputusan mengenai hal itu.
Dengan status keadaan darurat, pemimpin daerah terutama di daerah terdampak akan memiliki dasar hukum untuk memerintahkan semua warga tinggal di rumah atau karantina dan menutup semua bentuk usaha. Namun, praktiknya nanti tidak akan seperti karantina atau pembatasan wilayah yang diberlakukan di negara-negara lain.
Selain itu, kebijakan tersebut juga tidak akan seketat penutupan wilayah karena tidak akan ada ancaman hukuman bagi pelanggar. Pelaksanaannya akan lebih bergantung pada tekanan dari teman sebaya, keluarga, atau lingkungan sekitar, dan hanya mengandalkan kepatuhan pada otoritas.
Kemungkinan besar hanya wilayah Tokyo, Osaka, dan Hyogo yang dikenai status keadaan darurat. Gubernur Tokyo Yuriko Koike, pekan lalu, mengaku lebih memilih status keadaan darurat supaya bisa segera memberlakukan aturan menjaga jarak fisik yang tegas. Ia khawatir jika kasus semakin banyak, layanan kesehatan Jepang tidak akan sanggup menangani dan pasien jadi terbengkalai.
Dengan status keadaan darurat, disebutkan nama-nama para pelanggar aturan boleh diumumkan. Otoritas juga diberi kewenangan menjual langsung obat-obatan dan makanan dan meminta bantuan darurat untuk transportasi dan barang-barang kebutuhan primer lainnya.
Direktur Institut Kesehatan Masyarakat di King’s College, London, Inggris, Kenji Shibuya menilai, Abe terlambat mengambil keputusan menetapkan keadaan darurat itu karena sudah banyak yang terinfeksi. Seharusnya hal itu sudah diberlakukan paling lambat 1 April lalu.
Sebelum menetapkan status itu, Abe terlebih dahulu harus meminta saran dan persetujuan kepada panel ahli l. Salah satu anggota panel ahli dari bidang medis menyatakan keputusan itu tidak mudah karena melibatkan banyak faktor, seperti politik dan ekonomi. Membatasi gerak orang dan usaha dikhawatirkan akan mengganggu perekonomian Jepang yang saat ini juga sedang berjuang mencegah resesi.
Memori masa lalu
Pemerintah Jepang diduga enggan segera memberlakukan status keadaan darurat karena memori masa lalu yang pahit khususnya pelanggaran hak sipil saat Perang Dunia II. Perlindungan hak-hak sipil seperti itu diatur di dalam konstitusi paska perang yang dibuat Amerika Serikat.
”Konstitusi Meiji (pra perang) punya kekuatan seperti itu dan terjadi banyak pelanggaran hak. Konstitusi yang sekarang berlandaskan ide penghargaan terhadap HAM,” kata pengacara Koju Nagai.
Partai berkuasa Abe beberapa kali mendorong konstitusi direvisi agar ada klausa pemerintah dapat mengambil kendali dalam situasi darurat. Namun, banyak yang protes karena khawatir akan melanggar HAM.
Meski belum ada status keadaan darurat ini, para pemimpin daerah sudah mendahului dengan mengimbau warga tinggal di rumah pada akhir pekan, menghindari kerumunan, dan bekerja dari rumah.
Hal itu memang membuat perubahan, tetapi tidak sebesar yang diharapkan. Namun, tetap saja banyak warga yang akan patuh pada aturan. ”Negara Jepang tertanam kuat dalam benak rakyat dan punya kekuatan luar biasa untuk membuat rakyat patuh melalui pesan-pesan moral. Ini yang tidak dimiliki negara-negara Barat,” kata Guru Besar Koichi Nakano dari Sophia University. (REUTERS)