Ketidakpastian pada situasi yang dipicu penyebaran Covid-19 membuat manusia terjebak situasi buntu. Perlu mengenal tanda-tanda yang membuat manusia terjebak dan perlu kreatif menanggapinya.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Pertanyaan ini pasti ada di benak semua orang di dunia ini. Kapan derita ini akan berakhir dan bagaimana menghadapi situasi yang serba tidak pasti seperti ini. Orang sudah tidak sabar ingin bisa kembali bebas bepergian ke mana saja dan berinteraksi dengan siapa saja tanpa khawatir akan tertular virus.
Gubernur New York, Amerika Serikat, Andrew Cuomo, seperti disebutkan harian USA Today, mengaku orang sudah gelisah dan lelah karena kehidupan sehari-harinya terganggu. ”Semua hanya ingin tahu kapan ini berakhir, tetapi tidak ada yang tahu,” ujarnya, Sabtu lalu.
Di mata psikolog, situasi penuh ketidakpastian ini membuat orang gelisah. Ini karena pada dasarnya manusia selalu berusaha memprediksi situasi. Setiap hari orang mengandalkan kemampuan memprediksi untuk menjalani kehidupan. Ketika tidak bisa lagi memprediksi, muncul rasa tidak nyaman dan tidak aman.
Psikolog klinis di California, AS, Melanie Greenberg, menjelaskan orang mengandalkan kemampuan itu untuk hidup dan masalahnya sekarang orang tidak bisa memprediksi apa-apa lagi. Otak manusia dirancang untuk bisa memprediksi apa yang akan terjadi ke depan dan membuat sederet rencana persiapan.
”Rakyat AS tahu mereka sedang terancam, tetapi tidak tahu sampai seberapa parah akan memengaruhi ekonomi, politik, atau masyarakat secara umum,” kata Greenberg.
Pemerintah pun tidak tahu sampai kapan aturan menjaga jarak fisik atau karantina dipertahankan. Banyak orang tidak tahu apakah mereka akan bisa tetap bekerja atau membuka usaha lagi setelah pandemi Covid-19 berakhir.
Penyakit asing
Penyakit Covid-19 ini benar-benar asing. Banyak pihak tengah berjibaku mengenalnya, meneliti, dan berupaya keras menemukan vaksin atau obat untuk menundukkannya.
Di sisi lain, biasanya orang akan memanfaatkan ingatan untuk mengurangi rasa takut. Otak belajar dari pengalaman masa lalu yang bisa menciptakan respons untuk tetap aman dan menghindari rasa sakit. Masalahnya, tidak ada yang mempunyai pengalaman dengan korona.
Orang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan. Meski demikian, karena ada rutinitas, orang setidaknya bisa merangkai berbagai kemungkinan prediksi untuk memberikan ketenangan. Namun, pandemi ini menghancurkan kebiasaan itu. ”Kita butuh kepastian untuk merasa aman. Sekeras apa pun usaha melindungi diri dari ketidakpastian hidup, kita mesti bisa menerima saja kondisi saat ini,” kata Nancy Colier, psikoterapis.
Orang biasanya khawatir dengan kondisi kesehatannya, hidupnya, dan orang-orang yang dicintai. Kekhawatiran, kata para pakar, sebenarnya bertujuan melindungi seseorang, tetapi jika dosisnya berlebihan malah akan bisa meracuni.
Direktur Penelitian Klinis dan Kualitas di Asosiasi Psikologi Amerika Serikat, Vaile Wright mengatakan, toleransi terhadap situasi ketidakpastian ini berbeda-beda untuk setiap orang. Ada orang yang memantau apa yang terjadi selama pandemi terus dan sering cuci tangan. Ada yang bahkan sampai menciptakan mimpi buruk. Sebenarnya orang bisa saja tidak terlalu khawatir, tetapi itu bisa terjadi hanya jika fokus pada kondisi saat ini saja.
”Wajar saja kalau kita berjuang menghadapi ketakutan yang tidak kita ketahui. Namun, kita harus bisa melepaskan pikiran-pikiran mengganggu seperti ’ini tidak adil’, ’kenapa ini terjadi’. Pikiran itu yang membuat kita takut terus,” kata Wright.
Butuh latihan
Untuk mampu menghadapi ketidakpastian tentu butuh latihan. Para pakar menyarankan latihan untuk fokus bisa membantu. Ketika seseorang fokus saja pada apa yang mereka lihat, dengar, rasa, dan cium, otak akan mengeset untuk tidak khawatir. Orang bisa menghindari kekacauan diri sendiri dengan mengingat-ingat apa saja yang biasanya dilakukan untuk membuat diri merasa aman.
Collier mengingatkan penting juga untuk menyayangi diri sendiri karena pikiran-pikiran mengganggu itu tidak bisa dianggap remeh. ”Ini di luar zona nyaman kita. Semua berubah. Kita diminta untuk kembali ke diri sendiri. Ini sangat sulit bagi banyak orang,” ujarnya.
Perubahan, lanjut Collier, sering terjadi dan bisa dilakukan atas kemauan sendiri. Untuk itu, perlu menjadikan momen pandemi Covid-19 ini untuk refleksi diri, mempertanyakan hal-hal mendasar dalam hidup, nilai-nilai, bahkan realita kehidupan. Meski tidak ada kepastian tentang masa depan, masa-masa yang penuh ketidakpastian ini memberikan ruang bagi setiap orang untuk tumbuh menjadi orang yang lebih yakin pada diri sendiri sehingga akan tahu mau menjadi seperti apa.
”Ini kesempatan kita untuk berubah. Kalau bisa memanfaatkan momen ini untuk berubah menjadi lebih baik, itu akan jauh lebih berharga,” kata Colier.