Keputusan Presiden Tolak Pembebasan Napi Koruptor Diapresiasi
›
Keputusan Presiden Tolak...
Iklan
Keputusan Presiden Tolak Pembebasan Napi Koruptor Diapresiasi
Pernyataan Presiden Jokowi untuk tidak merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mendapatkan respons positif dari KPK dan para pegiat antikorupsi. Selanjutnya, pemerintah diusulkan bebaskan pengguna narkoba.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pernyataan Presiden Joko Widodo untuk tidak merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mendapatkan respons positif dari Komisi Pemberantasan Korupsi dan para pegiat antikorupsi. Selanjutnya, pemerintah diharapkan dapat mengeluarkan napi pengguna narkotika untuk mengurangi kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan.
KPK mengapresiasi Presiden Joko Widodo yang tidak akan merevisi PP No 99/2012 sehingga tidak ada napi koruptor yang akan dibebaskan selama ada Covid-19. ”Kami mengapresiasi apa yang telah disampaikan Presiden karena kami semua tahu bahaya dan dampak dari korupsi,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, Senin (6/4/2020), di Jakarta.
PP No 99/2012 merupakan PP yang mengatur Perubahan Kedua atas PP No 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam rapat terbatas membahas laporan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Presiden Jokowi mengungkapkan, napi koruptor tidak pernah dibicarakan dalam rapat. Ia pun menegaskan tidak akan ada revisi PP No 99/2012 sehingga pembebasan napi hanya untuk pidana umum.
Napi koruptor tidak pernah dibicarakan dalam rapat. Ia pun menegaskan tidak akan ada revisi PP No 99/2012 sehingga pembebasan napi hanya untuk pidana umum.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah mengeluarkan keputusan Menkumham untuk pembebasan sekitar 30.000 narapidana dan anak, tetapi saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, DPR mendesak merevisi PP tersebut agar dapat membebaskan napi sebanyak-banyaknya untuk mengurangi kelebihan penghuni lapas selama pandemi Covid-19. Keputusan Menkumham dipandang diskriminasi karena mengatur tentang pengecualian pemberian pembebasan hanya untuk narapidana dan anak saja, padahal ada narapidana korupsi, terorisme, dan narkotika.
Dengan keputusan tidak adanya revisi PP tersebut, KPK pun berharap agar Kementerian Hukum dan HAM memiliki data yang akurat sebelum mengambil kebijakan di tengah pandemi Covid-19 sehingga masyarakat bisa memahami kebijakan tersebut. Hal tersebut penting agar tidak timbul rasa khawatir karena kebijakan yang dikeluarkan bukan atas dasar agenda lain dan dapat dilaksanakan secara adil.
Tiga usulan KPK
KPK juga berharap pembenahan pengelolaan lapas perlu segera dilakukan sesuai rekomendasi hasil kajian KPK tahun 2019. Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding menjelaskan, terkait dengan permasalahan kelebihan penghuni, KPK merekomendasikan tiga upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Pertama, Kemenkumham dapat kerja sama dengan Badan Narkotika Nasional dan mengoptimalkan peran balai pemasyarakatan melalui mekanisme diversi untuk kasus tindak pidana ringan dan pengguna narkotika. ”Saat ini terdapat 40.000-an napi pengguna narkoba yang sangat mungkin direhabilitasi dan bukan masuk ke lapas,” kata Ipi.
Kedua, permasalahan narapidana yang dipenjara lebih dari masa tahanan (overstay) juga harus segera diselesaikan. Ketiga, remisi dapat diberikan secara otomatis melalui sistem dan bukan permohonan, dengan catatan napi tidak memiliki kelakuan buruk.
Menurut Ipi, jika rekomendasi ini dijalankan, persoalan kelebihan penghuni akan berkurang. Dari rekomendasi pertama dan kedua, setidaknya 30 persen dari total 261.000 napi dapat dikurangi. Cara tersebut lebih efektif daripada mengeluarkan napi koruptor yang jumlahnya hanya sekitar 5.000 orang.
Sependapat dengan KPK, peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, pernyataan Presiden Jokowi layak diapresiasi.
Ia berharap Presiden dapat menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Pemasyarakatan. Sebab, dalam rencana revisi UU Pemasyarakatan, keberlakuan PP No 99/2012 akan dicabut. Jika pembahasan itu berlanjut, kebijakan pemerintah tetap menguntungkan pelaku korupsi.
Di undang-undang sudah disebut, pengguna narkotika bisa direhabilitasi.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengatakan, setelah PP No 99/2012 tidak akan direvisi, selanjutnya pengguna narkotika dapat dibebaskan. Sebab, selama ini mereka membuat penjara penuh, padahal kejahatannya tidak valid. ”Di undang-undang sudah disebut, pengguna narkotika bisa direhabilitasi,” kata Asfinawati.
Selain pengguna narkotika, para tahanan yang tidak berpotensi mengulangi perbuatan, melarikan diri, dan menghilangkan barang bukti juga dapat dikeluarkan. Bentuk penahanan mereka dapat diubah seperti menjadi tahanan rumah.
Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kemenkumham Bambang Wiyono mengatakan, jika pernyataan dari Presiden tersebut sebagai perintah kepada Menkumham, harus dilaksanakan karena Presiden dengan menteri harus seirama.