Terpilih Jadi Ketua MA, M Syarifuddin Berjanji Bekerja Lebih Keras
Syarifuddin yang terpilih sebagai Ketua MA menggantikan Hatta Ali berjanji akan bekerja lebih keras, meningkatkan kinerja lebih dari ketua sebelumnya. Syarifuddin sebelumnya menjabat Wakil Ketua MA Bidang Yudisial.
JAKARTA, KOMPAS — M Syarifuddin terpilih menjadi Ketua Mahkamah Agung periode 2020-2025. Syarifuddin yang sebelumnya menjabat sebagai wakil ketua MA bidang yudisial itu menggantikan M Hatta Ali yang pensiun di usia 70 tahun.
M Syarifuddin terpilih menjadi ketua dalam sidang paripurna pemilihan ketua MA periode 2020-2025 yang diselenggarakan Senin (6/4/2020) di Ruang Kusumah Atmadja, Gedung MA, Jakarta.
Pemilihan ketua MA tersebut diselenggarakan dua putaran. Sebab, dalam pemilihan pertama, belum ada yang mendapatkan suara 50 persen + 1 dari total suara. Dalam pemilihan, ada 47 hakim agung yang memiliki hak pilih. Namun, karena Hatta Ali sebentar lagi memasuki masa pensiun, dia memilih abstain atau tidak menggunakan hak suaranya.
Menurut dia, keputusan itu diambil untuk menjaga independensi dan obyektivitas pemilihan ketua MA. Keputusan itu, menurut Hatta, untuk mencerminkan bahwa dia melihat seluruh hakim agung setara untuk menjadi calon ketua.
Pada putaran pertama, M Syarifuddin mendapatkan 22 suara dan Andi Samsan Nganro mendapatkan 12 suara, sedangkan sisa suara terbagi ke empat kandidat lainnya, yakni hakim agung Sunarto, Supandi, Amran Suadi, dan Suhadi.
Andi Samsan dan M Syarifuddin akhirnya maju dalam putaran kedua setelah menandatangani surat pernyataan bersedia mengikuti voting putaran kedua. Pada putaran kedua, Syarifuddin akhirnya mendapatkan 32 suara, mengungguli hakim Agung Andi Samsan Nganro dengan 14 suara. Adapun, suara abstain sebanyak 1 suara. Adapun, mekanisme pemilihan ketua MA ini mengikuti Surat Keputusan Ketua MA terbaru tentang Tata Tertib Pemilihan Ketua MA, yakni Nomor 96/KMA/SK/IV/2020.
Baca juga : Gelaran Pemilihan Sehari Jelang Pensiun
Protokol korona
Berbeda dengan pemilihan ketua MA sebelumnya, pemilihan ketua saat ini digelar dengan protokol korona yang sangat ketat. Sebab, pemilihan dilaksanakan pada masa pandemi Covid-19.
Sebanyak 47 hakim agung yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih, maupun panitia pemilihan ketua MA, menggunakan alat pelindung berupa masker dan sarung tangan. Para hakim agung ini juga duduk di kursi dengan jarak lebih dari 1 meter. Seusai terpilih, para hakim agung juga tidak bersalaman, tetapi hanya menangkupkan tangan dan memberi selamat ketua terpilih dari jauh.
Setelah terpilih, Syarifuddin mengatakan, dia akan bekerja lebih keras lagi agar dapat meningkatkan kinerja lebih dari ketua sebelumnya. Sebab, kata dia, Hatta Ali telah memberikan warisan dan capaian yang hebat, khususnya kemajuan dan pembaruan MA. Dia berharap dengan kinerjanya nanti, visi dan misi pembaruan peradilan di Indonesia dapat tercapai sebelum tahun 2035.
”Saya tidak lebih baik dari bapak ibu semua (hakim agung), mari kami kembali bersatu padu menyambut tugas ke depan agar MA dan peradilan lebih baik lagi,” ujar Syarifuddin.
Pekerjaan rumah
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mengatakan, MA di bawah kepemimpinan Hatta Ali sudah melakukan pembaruan dan menjadi institusi yang cukup terbuka. Contohnya, sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) di MA, sistem administasi perkara dan persidangan secara elektronik (E-Litigasi), dan sistem penerimaan pengaduan online (SIWAS).
Selain itu, MA juga tampak memberikan perhatian bagi perluasan akses masyarakat terhadap keadilan, terutama untuk kelompok rentan. MA telah melahirkan Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 4/2014; Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana/small claim court melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma No 2/2015 yang diperbarui dengan Perma No 4/2019); Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum (Perma No 3/2017); dan terakhir, Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin (Perma No 5/2019).
Meskipun demikian, Juru Bicara KPP Dio Ashar Wicaksana mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh ketua terpilih untuk mewujudkan pengadilan yang independen dan kompeten. Sejumlah masalah yang paling disoroti koalisi adalah masih kerap terjadi pungutan liar (pungli) di pengadilan.
Contohnya, pada tahun 2019, Tim Saber Pungli Badan Pengawasan MA berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Panitera PN Jepara dan Panitera Muda Perdata PN Wonosobo. Oknum tersebut kemudian dijatuhi hukuman disiplin.
”Banyak pungutan liar lain yang terjadi di pengadilan yang dialami para pencari keadilan dan penasihat hukumnya,” kata Dio.
Selain itu, masih ada pejabat pengadilan yang tertangkap tangan menerima suap. Selama masa kepemimpinan Hatta Ali, terutama pada masa kepemimpinan periode kedua, terdapat beberapa hakim yang terjaring OTT.
Mereka yang terjaring OTT, di antaranya, adalah Hakim PN Balikpapan (2019), Hakim Ad Hoc Tipikor PN Medan (2018), Hakim PN Tangerang (2018), panitera pengganti PN Tangerang (2018), Ketua PT Manado (2017), Hakim Ad Hoc Tipikor pada PN Bengkulu (2017), panitera pengganti Pengadilan Tipikor pada PN Bengkulu (2017), dan panitera pengganti PN Jakarta Selatan (2017).
Koalisi juga menilai standar layanan keadilan yang sederhana belum terpenuhi. Misalnya, penyampaian salinan putusan yang masih berlarut-larut dan melampaui waktu 14 hari seperti yang diatur UU. Akibatnya, keterlambatan itu sering menghalangi pihak beperkara untuk mengajukan upaya hukum lanjutan.
Selain itu, kualitas pertimbangan putusan hakim atau hakim agung juga masih jauh dari keadilan dengan jamaknya disparitas putusan yang terjadi. Dengan demikian, hak-hak para pihak dalam pemeriksaan dan penanganan perkara, terutama perkara pidana, tidak terpenuhi.
Misalnya hak atas bantuan hukum, hak atas perlindungan dari penyiksaan dalam pemeriksaan untuk proses penyidikan, hak untuk mendapatkan penerjemah, dan hak atas layanan kesehatan.
Menurut KPP, untuk dapat mengatasi sederet persoalan di atas, MA harus meningkatkan nilai integritas dan budaya antikorupsi secara total dalam proses promosi dan mutasi jabatan strategis. MA juga dituntut lebih meningkatkan modernisasi peradilan yang sudah berjalan, mengefektifkan pengawasan internal MA, serta memperluas reformasi birokrasi agar tidak hanya berfokus pada lembaga, tetapi juga hakim atau fungsi pengadilan yang utama. Terakhir, koalisi meminta agar Mahkamah Agung bisa lebih menjalankan peran dalam mekanisme check and balances antarlembaga peradilan.