Pedagang Tanah Abang di Persilangan Pilihan, Merugi atau Terpapar Pandemi Covid-19
›
Pedagang Tanah Abang di...
Iklan
Pedagang Tanah Abang di Persilangan Pilihan, Merugi atau Terpapar Pandemi Covid-19
Perpanjangan penutupan pusat grosir Tanah Abang karena pandemi Covid-19 memukul penghasilan para pedagang. Mereka kini terjebak dalam pilihan berjuang agar tidak rugi atau riskan terpapar pandemi.
Oleh
Aditya Diveranta
·5 menit baca
Tidak mudah menjalankan usaha di kala pandemi Covid-19. Puluhan pedagang Tanah Abang, Jakarta, berada di persimpangan jalan. Mereka dihadapkan pada pilihan untuk tetap berdagang atau nekat tetap buka lapak dengan risiko terpapar virus korona baru yang mematikan.
Senin (6/4/2020) siang, sebagian pedagang berkerumun di depan pintu pusat grosir pakaian Tanah Abang. Mereka menunggu di depan pintu yang dijaga petugas dan tampak setengah tertutup saat waktu menunjukkan pukul 12.00. Seorang petugas satpam menyampaikan, alasan pedagang berdiam di sana lantaran tutupnya gedung Tanah Abang per Senin hingga 19 April mendatang. Penutupan tersebut sesuai dengan imbauan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait pembatasan operasional mal dan tempat wisata selama pandemi Coronavirus Disease 19 (Covid-19).
Di tengah kondisi tersebut, pedagang tampak bergegas di toko masing-masing. Salah satunya Dinda (29), penjaga toko celana jins di lantai 3 gedung Blok B Tanah Abang, mengepak lusinan setel celana untuk segera dibawa keluar gedung. Hal serupa juga tampak dilakukan oleh penjaga toko di sekitarnya.
Dinda mengatakan, banyak pedagang yang belum menerima informasi terkait perpanjangan masa tutup Tanah Abang hari itu. Karena itu, para pedagang terburu-buru membawa barang keluar toko untuk dikemas dan dikirim melalui jasa ekspedisi.
”Saya dan teman-teman sudah dengar dari grup Whatsapp kalau Tanah Abang katanya tutup, tapi bukannya tutup sepenuhnya seperti sekarang ini. Akhirnya hari ini kami minta kelonggaran ke petugas, setidaknya kami masih bisa kirim sebagian barang dagangan kami lewat jasa ekspedisi,” jelas perempuan yang tinggal di kawasan Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, ini.
Sejumlah pedagang terus berkeluyuran di kawasan Tanah Abang hingga menjelang pukul 14.30. Selain Dinda, ada Lia (38) yang juga mengupayakan agar barang-barang dagangan bisa dikirim melalui jasa ekspedisi. Hal tersebut karena jasa pengiriman barang menjadi satu-satunya kanal untuk meraup keuntungan penjualan di tengah pandemi.
”Ada sekitar 20 lusin pakaian yang saya kirim pakai jasa ekspedisi. Jumlah segitu lumayan agar saya masih digaji oleh bos penjual. Karena lumayan banyak, makanya saya belain sampai agak sore di sini,” jelas perempuan yang tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan, ini.
Merugi
Bagi para pedagang, perpanjangan penutupan pusat grosir berdampak signifikan terhadap angka penjualan. Penutupan hingga 19 April menandakan bahwa toko-toko tidak bisa beroperasi pada masa menjelang Ramadhan tahun 2020. Padahal, Ramadhan menjadi momen yang paling dinanti oleh para penjual di pusat grosir Tanah Abang.
Pandemi Covid-19 mengubah momen itu semua. Dinda menyebutkan, sejak awal Maret 2020, Blok A, B, G, dan F semakin sepi dikunjungi. Di toko Dinda, tidak ada pesanan yang mencapai puluhan lusin dalam sehari. Karena kelesuan itu, banyak pedagang di sebelah tokonya memilih tutup dan berjualan lewat kanal daring.
Berkurangnya penjualan berarti memengaruhi pendapatan. Sebulan belakangan, bos Dinda tidak lagi memberi uang makan harian senilai Rp 70.000. Alhasil, dia hanya menerima gaji bulanan sebesar Rp 2,5 juta. ”Uang makan itu yang lumayan terasa berkurangnya, jadinya sekarang kalau di rumah cenderung berusaha irit,” ujarnya.
Lia mengalami hal serupa. Ia, yang setiap hari dibayar Rp 100.000 untuk jasa menjaga toko, belum mendapat upah karena libur selama sepuluh hari terakhir. Karena itu, hari ini dia mengupayakan ada barang yang terjual meski melalui jasa ekspedisi.
Arham Raimi, pedagang baju Muslim di Tanah Abang, menyampaikan, terhentinya penjualan membuat dirinya terpaksa mengurangi sekitar ratusan pekerja konfeksi menjadi sekitar 15 orang saja. Hal tersebut karena sepanjang Maret, omzetnya anjlok dari Rp 400 juta per hari menjadi hampir nol rupiah.
”Kalau uang makan saja untuk keluarga, ada dan tercukupi, tetapi saya tidak bisa menggaji pegawai. Banyak pegawai yang akhirnya memilih mudik. Mau dilarang, saya juga tidak bisa memberi mereka apa pun untuk bisa bertahan di Jakarta,” ujar Arham.
Kondisi ini dilema bagi pedagang. Di satu sisi, mereka ingin meraup untung demi membiayai kehidupan. Namun, jika memaksakan untuk berdagang di luaran, mereka juga khawatir akan terpapar pandemi Covid-19.
Direktur Utama PD Pasar Jaya Arief Nasrudin menjelaskan, kondisi sekarang begitu darurat karena pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara ini riskan mendatangkan kerumunan. Pemprov DKI Jakarta mengantisipasi potensi kerumunan yang memudahkan rantai penularan lewat droplet atau tetesan saat batuk dan bersin.
Arief juga menyampaikan, masifnya penyebaran virus saat ini semakin parah di wilayah Jakarta. Per 6 April, jumlah pasien positif Covid-19 sebanyak 2.491 orang dan 209 di antaranya meninggal. Dari jumlah tersebut, 1.268 pasien positif berasal dari episentrum Jakarta.
”Sesuai yang diputuskan Gubernur, kami menunda pembukaan yang direncanakan pada 6 April (Senin) sampai 19 April. Gubernur juga telah memberi teguran keras agar Pasar Tanah Abang ini tetap ditutup,” ujar Arief dalam keterangan tertulisnya, Senin.
Selama masa ini, Arief meminta pengertian dari para pedagang terkait semakin parahnya kondisi saat ini. Ia mengimbau agar pedagang tetap mengutamakan kesehatan diri dan tidak memaksakan berjualan. Menurut dia, kesehatan diri lebih berharga dibandingkan apa pun.
Dengan kondisi pandemi saat ini, berbagai hal menjadi serba sulit. Para pedagang mengerti keadaan tersebut. Karena itu, sebagian pedagang bersiasat sebisa mungkin agar tetap berjualan via kanal daring. Mau tidak mau, siap tidak siap, sejumlah pedagang harus mulai beradaptasi dengan keadaan seperti sekarang.