Waspadai Krisis Untuk Mencapai Tingkat Ekonomi Negara Maju
Agar masuk dalam kelompok negara maju dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, dibutuhkan upaya ekstra. Industri harus dibangun kembali sehingga Indonesia tidak tergantung pada produk impor.
Pembangunan sejak merdeka telah menempatkan Indonesia dalam 16 besar negara dengan produk domestik bruto terbesar di dunia. Namun, agar masuk dalam kelompok negara maju dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, dibutuhkan upaya ekstra.
Pada 2018, Bank Dunia membagi negara-negara ke dalam empat kelompok berdasarkan tingkat pendapatan nasional (GNI) per kapita. Keempatnya ialah negara berpendapatan rendah, menengah ke bawah, menengah ke atas, dan tinggi. Status negara berkembang dan transisi merujuk pada perekonomian berpendapatan rendah dan menengah, sedangkan status negara maju merujuk pada perekonomian berpendapatan tinggi.
Berdasarkan pengelompokan ini, Indonesia menempati kelompok negara berkembang atau berpendapatan menengah bawah. GNI per kapita Indonesia pada 2018 ialah 3.840 dollar Amerika Serikat.
Agar masuk dalam kelompok negara maju dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, dibutuhkan upaya ekstra.
Transisi dari negara berpendapatan menengah bawah menuju tinggi memerlukan serangkaian proses. Pertumbuhan ekonominya perlu diiringi pembangunan yang merata. Jika hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pemerataan, akan timbul permasalahan ekonomi dan sosial, di antaranya pengangguran dan kemiskinan.
Presiden Joko Widodo mencanangkan periode 2019-2045 sebagai masa menuju ”Indonesia Emas”, yaitu kondisi saat perekonomian Indonesia mencapai tingkat negara maju. Tinggal 25 tahun untuk menggapai visi ini, rentang waktu yang singkat.
Guna mewujudkan visi Indonesia Emas, sejumlah persoalan strategis perlu diatasi agar pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan. Persoalan tersebut meliputi ketergantungan terhadap barang impor, dominasi ekspor komoditas primer, serta rendahnya porsi ekspor dan investasi dalam pendapatan domestik bruto (PDB).
Menurut Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, setelah krisis 1998, industri Indonesia melambat sehingga memiliki ketergantungan impor yang tinggi. Karena itu, diperlukan suatu pendekatan baru guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan.
Era keemasan minyak
Perjalanan pembangunan ekonomi Indonesia mencatat kondisi pasang dan surut. Pada era pascaperang kemerdekaan (1950-an), perekonomian negara masih sangat rentan. Belum terbentuk struktur ekonomi dan kelembagaan yang mapan.
Kondisi politik parlemen bergejolak dan polarisasi ideologi di masyarakat sangat besar. Aset produktif yang rusak akibat perang menyebabkan kapasitas produksi turun. Hal itu berdampak pada kelangkaan barang yang diikuti kenaikan harga dan inflasi.
Data World Development Indicator (WDI) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1963 adalah minus 2,2 persen. Biaya politik yang tinggi menyebabkan pertumbuhan ekonomi terseok negatif. Akibatnya, terjadi pelebaran defisit APBN. Pemerintah kemudian menambah jumlah uang beredar (JUB) yang berujung pada hiperinflasi 600 persen pada 1965.
Menyiasati kondisi ekonomi itu, pemerintah menjalankan strategi mengundang modal asing untuk masuk. Hadirlah UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang membuka pintu bagi investor asing untuk menanam modal. Sasaran pembangunan ekonomi saat itu cukup realistis, yaitu pertanian dan industri tumbuh menjadi motor penggerak.
Berkah tak dapat dikira. Tiba-tiba terjadi perubahan kondisi global yang menyebabkan kenaikan harga minyak (oil boom). Indonesia yang saat itu mengalami surplus produksi minyak dan ekspor memperoleh berkah tak terduga dalam hal pendapatan negara. Strategi investor asing serta oil boom memberi berkah pertumbuhan ekonomi tinggi dan terjaga.
Krisis global
Namun, penurunan harga minyak pada 1982 hingga 1988 kembali membuat Indonesia menghadapi defisit. Pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan antisipasi. Salah satunya kebijakan pengetatan moneter melalui gebrakan menteri keuangan saat itu, JB Sumarlin. Kebijakan ini bertujuan mencegah spekulasi valuta asing dan mengendalikan inflasi.
Menjelang krisis 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat baik. Pada 1990-1996, rata-rata ekonomi tumbuh di atas 7 persen per tahun dan nilai ekspor tumbuh rata-rata 14 persen per tahun. Sepuluh bulan menjelang krisis, cadangan devisa naik 38 persen.
Penurunan harga minyak pada 1982 hingga 1988 kembali membuat Indonesia menghadapi defisit.
Krisis 1998 membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi hingga minus 13,1 persen. PDB per kapita terjerembap turun dari 1.064 dollar AS menjadi 464 dollar AS. Modal asing yang menyangga perekonomian hengkang. Para pemodal keluar dari Indonesia akibat kepercayaan turun.
Nilai tukar rupiah terdepresiasi curam hanya dalam enam bulan. Dari semula Rp 2.376 per dollar AS pada 1997, nilainya anjlok menjadi Rp 16.650 per dollar AS pada Juni 1998.
Pertumbuhan ekonomi berangsur pulih setelah terjadi penstabilan politik oleh kekuatan reformasi, tetapi tak mampu secepat sebelumnya. Reformasi kebijakan ekonomi diterapkan pada sejumlah sektor untuk memulihkan kepercayaan publik.
Akan tetapi, sektor industri sudah mengalami deindustrialisasi prematur, yaitu terlalu cepatnya perubahan struktur penopang ekonomi dari industri manufaktur ke industri jasa. Sejak 2001, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB mengalami penurunan.
Krisis selanjutnya terjadi pada 2008. Krisis global ini dipicu kasus kredit perumahan yang macet di Amerika Serikat (subprime mortgage). Pertumbuhan ekonomi Indonesia terpukul. Pada 2008, pertumbuhan sebesar 6,01 persen, sementara pada 2009, angkanya menjadi 4,63 persen. Meski terpukul krisis global, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu masih termasuk tiga terbaik di dunia.
Pascakrisis 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat menjadi 6,2 persen pada 2010. Namun, pertumbuhan kembali melambat hingga saat ini, seiring perlambatan ekonomi dunia. Perlambatan dipicu oleh ketidakpastian global seperti perang dagang AS dan China, ketegangan geopolitik, serta pandemi Covid-19.
Kerentanan ekonomi
Kondisi ekonomi Indonesia saat ini merupakan buah dari perjalanan panjang yang telah dilalui. Kondisi ekonomi di masa depan tak dapat diduga karena ada ketidakpastian global.
Ketahanan ekonomi terhadap ketidakpastian global akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kondisi fundamental ekonomi Indonesia sementara ini dinilai relatif aman dalam aspek cadangan devisa, kepercayaan investor, dan daya beli. Bagaimanapun kerentanan perekonomian selalu ada di negara, bahkan di negara maju sekalipun.
Potensi kerapuhan ekonomi ditunjukkan dari keterbatasan cadangan devisa. Data CEIC menunjukkan bahwa rasio cadangan devisa Indonesia terhadap PDB mengalami tren penurunan selama 10 tahun terakhir. Pada 2019, rasio cadangan devisa terhadap PDB tinggal 10,9 persen.
Apabila dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, amunisi Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah paling rendah. Rasio cadangan devisa terhadap PDB Malaysia dan Thailand ialah 27,2 persen dan 39,4 persen. Kestabilan kurs sangat penting karena menjadi dasar dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Selain itu, deindustrialisasi dini yang terjadi setelah krisis 1998 membuat tulang punggung utama ekonomi lebih rapuh. Sebelum krisis, industri menjadi sektor krusial penggerak pertumbuhan ekonomi.
Deindustrialisasi
Industri yang digantikan sektor jasa terjadi umum secara global. Namun, di Indonesia, hal itu terjadi lebih cepat. Fenomena transformasi struktural di negara maju berlangsung ketika peranan sektor industri terhadap PDB sebesar 30 persen.
Di Indonesia, peranan sektor industri justru mengalami penurunan sebelum mencapai tahap tersebut. Dalam 10 tahun (2008-2018), kontribusi sektor industri pengolahan di Indonesia turun 8 persen, sedangkan Malaysia dan Thailand hanya turun tak kurang dari 4 persen.
Fenomena transformasi struktural di negara maju berlangsung ketika peranan sektor industri terhadap PDB sebesar 30 persen.
Akibatnya, Indonesia mengalami ketergantungan terhadap barang impor, sedangkan ekspornya didominasi komoditas primer. Maka, investasi dibutuhkan untuk mendorong pasar ekspor dan substitusi impor. Di samping itu, Indonesia perlu meningkatkan daya saing pada produktivitas sektor unggulan terutama manufaktur.
Kontribusi investasi dan ekspor akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selama ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi oleh konsumsi, sedangkan peran ekspor dan investasi relatif rendah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa perjalanan menuju cita-cita Indonesia 2045 tidak mudah. Dibutuhkan perjuangan ekstra keras dari pemerintah dan masyarakat Indonesia jika ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesuai visi Indonesia Emas 2045. (LITBANG KOMPAS)