Ketua Mahkamah Agung terpilih, Muhammad Syarifuddin, memiliki setumpuk pekerjaan untuk membenahi sistem peradilan di Indonesia. Masalah klasik yang terus membelenggu dan membuat citra peradilan buruk di antaranya suap.
Oleh
DEA
·3 menit baca
Ketua MA terpilih, M Syarifuddin, diminta untuk lebih serius menindak oknum peradilan yang ”bermain” suap dan pungli. Maklumat MA No 1/2017 dapat menjadi pedoman.
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Mahkamah Agung terpilih, Muhammad Syarifuddin, memiliki setumpuk pekerjaan untuk membenahi sistem peradilan di Indonesia. Masalah klasik yang terus membelenggu dan membuat citra peradilan buruk adalah soal suap dan pungutan liar di pengadilan. Syarifuddin diharapkan dapat memberantas kedua masalah itu.
Dalam rapat paripurna khusus pemilihan Ketua MA, Senin (6/4/2020), ia terpilih sebagai Ketua MA untuk lima tahun ke depan, menggantikan Hatta Ali yang memasuki usia pensiun pada 7 April. Syarifuddin mengantongi suara mayoritas (32 suara) dalam pemilihan putaran kedua, mengungguli hakim agung Andi Samsan Nganro (14 suara).
Dalam pidato seusai pemilihan, Syarifuddin berjanji akan bekerja lebih keras untuk meningkatkan warisan capaian ketua MA sebelumnya. Menurut dia, di bawah kepemimpinan Hatta selama dua periode, MA berhasil melakukan perubahan dan kemajuan yang luar biasa.
Syarifuddin mengantongi suara mayoritas (32 suara) dalam pemilihan putaran kedua, mengungguli hakim agung Andi Samsan Nganro (14 suara).
Syarifuddin (65) dilantik menjadi hakim agung sejak 18 Februari 2013. Sejak Mei 2016, ia menjabat sebagai Wakil Ketua MA Bidang Yudisial. Selama menjadi hakim agung, ia menangani banyak perkara, di antaranya perkara korupsi yang dilakukan politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh (hukuman dikurangi dari 12 tahun jadi 10 tahun) dan bos Sentul City, Cahyadi Kumala alias Swie Teng (hukuman dikurangi dari 5 tahun jadi 2 tahun 6 bulan).
Dalam pantauan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), suap dan pungli di pengadilan adalah masalah klasik yang seolah tak ada solusinya. Pada masa kepemimpinan Hatta, persoalan ini masih banyak ditemukan. KPP yang terdiri atas 14 LSM di bidang hukum mengungkapkan, kasus suap dan pungli tidak hanya ditemukan oleh pengawasan internal MA, tetapi juga menjadi temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tahun 2019, Tim Saber Pungli Badan Pengawasan MA menangkap panitera Pengadilan Negeri Jepara dan Panitera Muda Perdata PN Wonosobo.
Selain itu, sejumlah hakim dan pegawai pengadilan berurusan dengan KPK. Sejak 2012 hingga 2019, setidaknya terdapat 20 hakim karier dan ad hoc yang dijerat KPK.
”Fakta ini menunjukkan bahwa pengawasan internal MA tidak efektif. Jika ketua MA terpilih tidak mengupayakan terobosan, misalnya meminta bantuan KPK dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), jangan heran jika suap dan pungli akan tetap marak,” ujar juru bicara KPP, Dio Ashar Wicaksana.
Mantan hakim agung Gayus Lumbuun berpendapat, MA sebenarnya sudah memiliki instrumen hukum yang dapat diterapkan untuk memutus mata rantai pungli dan suap. Instrumen itu adalah Maklumat MA Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur MA, dan Peradilan di Bawahnya. Maklumat ini mengatur sanksi berjenjang terhadap pelanggaran hakim.
”Jika maklumat ini diimplementasikan secara tegas, saya yakin ini akan berdampak secara substansial untuk mengatasi persoalan klasik di peradilan,” ujar Gayus.
”Jika maklumat ini diimplementasikan secara tegas, saya yakin ini akan berdampak secara substansial untuk mengatasi persoalan klasik di peradilan”
Menurut dia, merujuk pada aturan ini, jika ada hakim terbukti menerima suap, ketua pengadilan dapat dicopot. Demikian juga dengan hakim agung, jika terbukti ada temuan, Ketua MA bisa dicopot.
Gayus berharap, ketua terpilih saat ini bisa berkomitmen guna menerapkan aturan tersebut. Sebab, sejak dikeluarkan, maklumat tersebut belum pernah diimplementasikan atau terkendala masalah penafsiran di internal MA.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyu Wagiman sepakat bahwa maklumat dapat menjadi sandaran kuat bagi MA dan jajaran peradilan, serta Komisi Yudisial untuk menindak hakim ataupun anggota staf pengadilan yang terbukti melakukan suap atau pungli. Maklumat tersebut merupakan komitmen tertulis MA yang sudah selayaknya diimplementasikan.