Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan
Ketahanan energi yang bersumberkan pada energi baru dan terbarukan menjadi keniscayaan dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Indonesia seharusnya mengembangkan energi terbarukan yang tersedia melimpah. Ketahanan energi yang bersumberkan pada energi baru dan terbarukan menjadi keniscayaan dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Indonesia saat ini sudah mengalami dampak dari kenaikan suhu bumi. Penduduk menderita banjir di saat musim hujan dan kekeringan yang berakibat pada kelangkaan air saat musim kemarau. Sudah tiba waktunya bagi Indonesia untuk menjajaki pola pembangunan yang bertumpu pada keberimbangan pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam menuju usia emas 100 tahun kemerdekaan pada 2045.
Pola pembangunan tak boleh lagi hanya difokuskan pada menaikkan pendapatan tetapi merusak lingkungan. Dalam kaitan ini, strategi pembangunan energi Indonesia harus berbasis pada energi terbarukan. Maka, pemanfaatan tenaga surya, angin, energi laut, panas bumi, mikrohidro, dan sebagainya harus dikembangkan untuk menggantikan energi fosil atau energi tak terbarukan penyebab pencemaran serta perubahan iklim.
Pola pembangunan tak boleh lagi hanya difokuskan pada menaikkan pendapatan tetapi merusak lingkungan.
Pemikiran ini sejalan dengan rumusan pilar kedua bangunan Visi Indonesia 2045 versi Bappenas. Dalam pilar kedua, hal yang perlu diperhatikan adalah pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan penekanan pada energi dan air bersih. Ketahanan energi ditingkatkan lewat energi baru terbarukan (EBT), yaitu menjadi 30 persen pada tahun 2045. Air bersih juga menjadi prioritas karena sumber daya air penting untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Mengurangi ketergantungan pada energi fosil bukan tanpa alasan. Produksi minyak bumi Indonesia dalam 10 tahun terakhir terus menurun. Penurunan terjadi karena sumur-sumur produksi utama umumnya sudah tua, sementara produksi dari sumur baru relatif masih terbatas.
Padahal, konsumsi semakin bertambah, seiring pertambahan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi dan mobilitas. Karena itu, Indonesia harus mengimpor minyak bumi, terutama dari Timur Tengah. Ketergantungan terhadap impor minyak ini mencapai 35 persen (2018).
Tren energi global kini semakin mengarah pada energi terbarukan. Meski minyak bumi masih menjadi sumber terbesar energi global, porsinya terus menurun. Pada pada 1995, porsi pemakaian minyak bumi masih 40 persen, sedangkan pada 2040, porsinya diperkirakan berkurang menjadi 27 persen. Sebaliknya, porsi energi terbarukan hanya 1 persen pada 1995, sementara pada 2040, porsinya meningkat tajam menjadi 15 persen.
Langkah awal
Berkurangnya produksi energi fosil, terutama minyak bumi, serta komitmen global untuk pengurangan emisi gas rumah kaca sebenarnya menempatkan peran EBT pada posisi penting. Indonesia memiliki potensi EBT yang cukup besar untuk menggantikan energi fosil.
Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menjadi langkah awal yang memberi arah dan pijakan bagi pengembangan EBT di Indonesia. Dalam PP tersebut, dinyatakan target bauran EBT pada tahun 2025 paling sedikit 23 persen dan 31 persen pada 2050.
Setelah itu, muncul beberapa aturan terkait untuk mendukung tercapainya target bauran energi, antara lain menyangkut percepatan infrastruktur ketenagalistrikan yang mengutamakan EBT serta pemanfaatan dana perkebunan kelapa sawit untuk pengembangan biodiesel.
Sebagian besar EBT dimanfaatkan untuk pembangkit listrik dan sisanya untuk sektor transportasi, industri, komersial, rumah tangga, serta sektor lainnya. Berdasarkan data Outlook Energi Indonesia 2019, total potensi EBT ekuivalen 442 gigawatt (GW) yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Potensi EBT terbesar bersumber dari tenaga surya, yakni 207,8 GW.
Sampai dengan 2019, pemanfaatan EBT untuk pembangkit listrik baru mencapai 10,1 GW atau 14,6 persen dari total kapasitas pembangkit listrik 69,1 GW. Kapasitas pembangkit listrik yang bersumber pada EBT sebenarnya terus meningkat. Setidaknya, selama lima tahun terakhir, kapasitas pembangkit listrik EBT bertambah 20 persen, yaitu dari 8,5 GW pada 2015 menjadi 10,2 GW pada 2019. Pembangkit listrik EBT masih didominasi tenaga air dengan porsi yang mencapai 58 persen.
Bagaimanapun, kontribusi EBT untuk ketenagalistrikan ini masih tergolong minim. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, masih relatif tingginya harga produksi pembangkit berbasis EBT sehingga sulit bersaing dengan pembangkit energi fosil, seperti batubara. Kedua, kurangnya dukungan industri dalam negeri terkait komponen EBT. Ketiga, kesulitan mendapatkan pendanaan berbunga rendah untuk pengembangan.
Jangka panjang
Berdasarkan perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk jangka panjang, permintaan energi final hingga 2050 masih akan didominasi oleh sektor industri dan transportasi seperti sekarang. Peningkatan aktivitas industri dan jumlah kendaraan bermotor akan mendorong kenaikan permintaan energi di dua sektor tersebut. Selanjutnya, permintaan energi diikuti sektor rumah tangga, komersial, dan sektor lainnya.
Permintaan energi di sektor industri diperkirakan bakal sejalan dengan proyeksi pertumbuhan sektor tersebut pada Visi Indonesia 2045, yaitu rata-rata 6,3 persen per tahun (2016-2045). Peluang EBT untuk turut andil dalam pemenuhan permintaan energi final ini sama besarnya dengan energi fosil.
Selama ini, EBT dimanfaatkan terutama untuk industri makanan dan industri kertas. Banyak industri makanan yang menggunakan biomassa sebagai bahan bakar. Adapun industri kertas menggunakan energi terbarukan seperti cangkang kelapa sawit, jerami padi, biogas, dan lindi hitam. Perluasan penggunaan EBT tentu saja bisa dilakukan oleh kelompok industri lainnya.
Peluang EBT untuk turut andil dalam pemenuhan permintaan energi final ini sama besarnya dengan energi fosil.
Permintaan energi di sektor transportasi antara lain dipengaruhi pertumbuhan kendaraan bermotor dan program substitusi kendaraan konvensional berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik. Tingkat permintaan juga ditentukan program mandatori bahan bakar nabati (biodiesel dan bioetanol) serta beralihnya penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan massal.
Meski demikian, tantangan untuk meningkatkan peran EBT di sektor transportasi tidak mudah. Kebijakan substitusi BBM ke gas bumi dan listrik belum berjalan sesuai harapan. Penggunaan mobil listrik diperkirakan belum akan terlalu berpengaruh terhadap permintaan listrik. Begitu pula dengan program konversi BBM ke BBN yang belum masif.
Hingga 2050, pangsa EBT hanya akan mencapai 30 persen. Selain faktor permintaan, peningkatan penyediaan EBT dipengaruhi pula oleh optimalisasi pemanfaatan panel surya, biomassa, panas bumi, dan air untuk pembangkit listrik serta substitusi BBM ke BBN untuk sektor transportasi.
Peluang dan tantangan tentunya akan menyertai. Keberhasilannya bergantung pada kemauan dan bagaimana pemerintah menerjemahkan visi ke dalam kebijakan. (LITBANG KOMPAS)