Mantan tahanan politik Myanmar, Bo Kyi, membagikan pengalamannya saat menjalani tahanan di penjara tentang kiat menjalani isolasi. Selama masa isolasi, yang terpenting adalah bergerak dan berkegiatan menjaga kewarasan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Hampir setengah abad junta militer berkuasa di Myanmar. Selama militer berkuasa di negara tersebut, penguasa bersikap paranoid terhadap gerakan-gerakan prodemokrasi di negara tersebut. Junta militer menekan orang-orang yang berbeda sikap, berbeda pendapat dengan negara, memenjarakan para pengritiknya dan menutup negara itu dari dunia luar.
Selama bertahun-tahun, para aktivis prodemokrasi yang menentang junta militer diasingkan di penjara. Bertahun-tahun juga mereka berada di ruang gelap, tanpa cukup sinar matahari.
Meski tidak bisa dikatakan sama persis, masyarakat global harus mengisolasi diri di dalam rumah, berkegiatan di dalam rumah selama masa pandemi Covid-19. Menjaga jarak fisik dalam satu lokasi (physical distancing) danmenjaga jarak secara sosial (sosial distancing) merupakan cara yang diyakini para ahli dapat mengurangi penyebaran virus SARS-CoV-2, penyebab penyakit Covid-19, yang disebarkan melalui tetesan kecil (droplet).
Kondisi masyarakat global saat ini diyakini Bo Kyi, salah satu mantan narapidana politik, mirip dengan kondisi yang pernah dialaminya pada era 1990-an ketika dia menjalani status sebagai tahanan politik. Selama sekitar 7,5 tahun dia berada di bui, setelah ditangkap pada Maret 1990 dengan tudingan sebagai motor aksi demo 8 Agustus 1988 atau dikenal dengan gerakan 8/8/1988. Aktivis HAM Aung San Suu Kyi juga ditahan akibat peristiwa tersebut.
”Aku ingin membagi cerita tentang kondisiku pada saat menjalani isolasi. Aku tidak ingin warga terlalu cemas dengan kondisi mereka saat ini,” kata Bo Kyi, seperti dikutip kantor berita AFP, Senin (6/4/2020).
Bo Kyi mengingat bahwa sel tempat dia menjalani hari-hari hanya berukuran 8,75 meter persegi. Tidak ada apa-apa selain matras untuk tidur dan sebuah mangkuk untuk buang air.
Bergerak, obat mujarab
Kondisi ini tentu saja jauh berbeda dengan kondisi sehari-harinya ketika masih berada di jalanan, berjuang bersama-sama dengan para aktivis pro-demokrasi.
”Yang terpikirkan hanya satu: lakukan sesuatu! Bergerak! Ini adalah obat paling mujarab ketika dirimu berada dalam pengasingan,” kata Bo Kyi.
Selama di dalam bui, Bo Kyi belajar bahasa Inggris. Berkat pertemanannya dengan salah satu sipir, dia memperoleh pasokan kamus bahasa Inggris. Bukan dalam bentuk buku, melainkan sobekan halaman demi halaman.
Kata demi kata dihapalkannya perlahan dari sobekan halaman kamus itu. Yang menjadi masalah adalah soal menghilangkan barang bukti sobekan itu agar tidak ketahuan ketika ada pemeriksaan.
”Mau tidak mau, potongan itu ditelan untuk menghilangkan barang bukti. Itu satu-satunya cara yang aman,” kata Bo Kyi.
Hindari berita negatif
Cara lain untuk bisa bertahan selama masa isolasi adalah menerima kenyataan dan menghindari berita-berita negatif yang sampai kepadanya. Menurut dia, dengan dua cara itu, dia menjaga kewarasan pikirannya selama berada di dalam tahanan.
Tidak hanya itu, setelah diizinkan keluar dari sel tahanan, dia menyempatkan diri untuk berjalan kaki setidaknya 6.000 langkah setiap hari. Apabila kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk berjalan-jalan di luar sel, dia memilih melakukan meditasi untuk menenangkan dirinya.
Selama menjalani masa tahanan, dia sama sekali tidak memikirkan tentang kapan dia akan dibebaskan. Menurut dia, memikirkan kapan semua itu akan berakhir malah memberikan siksaan psikologis bagi dirinya. ”Alih-alih, fokus pada apa yang ada di dalam kendalimu saat ini,” katanya.
Jaga kesehatan
Jangka waktu pandemi yang belum dipastikan kapan akan berakhir, sering kali membuat orang tertekan. Selain memikirkan kesehatan diri sendiri, memikirkan kondisi lingkungan, keluarga, hingga tekanan pekerjaan membuat level stres seseorang meningkat. Ujung-ujungnya, kondisi kesehatan menurun.
Allison Forti, konselor kesehatan mental berlisensi, seperti dikutip dari laman CNN.com mengatakan, stres yang berlebihan membuat sistem kekebalan tubuh seseorang akan menurun. Dampaknya, orang akan lebih mudah sakit karena sistem kekebalan tubuh tidak bisa menahan gempuran serangan bakteri atau virus.
Ketika berada dalam tekanan, tidak jarang orang menenggak alkohol secara berlebihan, merokok tembakau, mengonsumsi ganja atau mariyuana, serta tidak memikirkan pola makan yang berimbang dan sehat hingga kurang tidur. Semua tindakan itu, menurut Allison, membuat daya tahan tubuh menurun.
Allison mengatakan, salah satu hal terpenting untuk mengatasi stres adalah mengakui perasaan atau tekanan itu ada. Setelah itu, perlahan mencari cara untuk mengatasinya. ”Jangan membantah atas kondisi kita,” katanya.
Menurut Allison, mengatasi stres akibat isolasi bisa dengan berbagai cara, mulai dari berolahraga, meditasi, berbincang dengan teman, keluarga, hingga membuat sesuatu, seperti memasak, menjahit, atau bahkan hanya membaca buku dan menonton. Berkebun pun bisa membantu menjaga kewarasan sembari membuat badan kita tersiram cahaya matahari.
Jadi, mari menjaga kesehatan jiwa dan raga, mari menjaga kewarasan bersama. (AFP)