Seperti pedang bermata dua, pandemi Covid-19 memunculkan solidaritas sekaligus perpecahan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Kecemasan, ketakutan, dan kepanikan yang muncul di berbagai belahan dunia turut memicu sentimen negatif terhadap orang Asia, terutama China.
Laporan mengenai kasus xenofobia, rasisme, dan sinofobia terhadap orang Asia terus meningkat di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Australia. Beberapa toko dan restoran milik warga keturunan Asia juga terkena aksi vandalisme. Pengalaman tak menyenangkan juga dialami musisi keturunan Asia-Amerika, salah satunya penyanyi keturunan China-Amerika, Connie Lim atau yang dikenal sebagai MILCK
”Saya berada di rumah teman saya dan ayahnya mengolok-olok orang-orang Asia mengenakan masker di costco (toko). Hati saya terluka mendengar seseorang yang saya kenal bercanda tentang hal itu, bahkan di depan saya,” kata Lim, seperti dilaporkan Billboard pada Selasa (3/3/2020).
Kondisi ini semakin parah ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara langsung bertindak rasis dengan menyebut Covid-19 sebagai ”Chinese virus” melalui Twitter pada 17 Maret 2020 dan kembali menekankan penggunaan istilah itu dalam konferensi pers sehari kemudian. ”Chinese virus” jika diterjemahkan secara harafiah berarti ”virus orang China”.
Trump tidak menyebutkan nama penyakit yang telah diumumkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Februari 2020, yaitu Covid-19. Dalam standar penamaan penyakit WHO, nama sebuah penyakit tidak boleh menggunakan nama sebuah lokasi, orang, hewan, budaya, dan pekerjaan untuk menghindari stigmatisasi.
Tindakan Trump mendapat kecaman dari banyak pihak meskipun ia tetap menyatakan sebutan itu muncul berdasarkan fakta virus itu berasal dari China dan penyakit lainnya juga disebut berdasarkan nama lokasi. Namun, Trump kemudian menyatakan tidak akan lagi memakai sebutan itu dan mengganti nada bicaranya mengenai orang Asia.
”Sangat penting kita melindungi komunitas Asia-Amerika di AS dan seluruh dunia. Mereka orang yang luar biasa dan bukan salah mereka dalam cara, bentuk, atau kondisi apa pun mengenai penyebaran virus. Mereka bekerja sama dengan kita untuk mengatasi virus ini. Kita akan menang bersama,” cuit Trump melalui Twitter pada 23 Maret 2020.
Pandangan musisi
Sejumlah musisi keturunan Asia-Amerika menyoroti fenomena tersebut. Mereka menyerukan agar seluruh dunia bersatu dalam melawan virus korona alih-alih terpecah.
Penyanyi rap keturunan Korea-Amerika, Ted Park, turut merasa kecewa atas pernyataan Trump. Sikap Trump dapat semakin memanaskan situasi sehingga memecah belah masyarakat yang saat ini sudah merasa ketakutan.
”Saya sudah mendengar lelucon mengenai orang Asia melalui teman, orang asing di tempat umum, dan pesan Instagram saya. Apakah Anda menganggapnya lucu atau tidak, itu semua berkontribusi pada kekerasan dan ketidaktahuan terhadap orang-orang Asia dan kami tidak tahan dengan itu. Melecehkan dan menakuti orang-orang tua keturunan Asia yang tidak bersalah untuk media sosial tidak lucu, itu menjijikkan,” tuturnya.
Padahal, lanjutnya, masyarakat pada masa seperti ini membutuhkan lebih banyak persatuan dan harapan. Masyarakat juga bisa saling membantu menghentikan ketidakpahaman mengenai penyakit Covid-19 dan penyebaran virus korona.
”Orang Asia bukan virus. Masyarakat dapat membantu mengerti mengenai situasi serius saat ini, kita perlu tinggal di rumah, melakukan pembatasan sosial, dan melakukan apa pun untuk menjaga satu sama lain. Tindakan kita saling berhubungan dan keputusan kita memengaruhi satu sama lain,” kata Park.
Penyanyi rap keturunan China-Filipinia-Afrika-Amerika, Saweetie, berharap masyarakat mengedepankan kemanusiaan, menghormati budaya, dan menghentikan xenofobia. ”Dunia perlu bersatu. Kita adalah ekosistem dalam segala hal,” ujarnya.
Asian Pacific Policy and Planning Council (A3PCON), organisasi yang mengadvokasi hak warga Asia Pasifik-Amerika di Los Angeles, telah menerima 673 laporan terkait diskriminasi terhadap warga Asia-Amerika dari seluruh AS per 26 Maret 2020.
Tidak sadar
Penyanyi dan penulis lagu Connie Lim mengatakan, dirinya tidak kaget dengan pernyataan Trump karena rekam jejak Trump menunjukkan perilaku supremasi orang kulit putih. Namun, sikap rasisme memang masih tertanam dalam banyak warga, baik sadar maupun tidak.
”Saya juga mencatat bahwa banyak dari kita menyebut pandemi flu pada 1918 sebagai flu Spanyol, yang sebaiknya kita sebut sebagai pandemi flu 1918. Namun, saya memiliki lebih banyak empati sekarang bahwa sebutan itu tidak terasa menyenangkan bagi warga keturunan Spanyol. Saya pikir kita terus berevolusi untuk memperhatikan bagaimana rasisme tertanam dalam diri kita semua, sampai kita tidak memperhatikan tindakan kita sendiri,” ungkapnya.
Untungnya, lanjut Connie, masyarakat saat ini menunjukkan peningkatan kesadaran mengenai toleransi di AS meskipun sikap pemimpin negara justru menunjukkan regresi. ”Itu memberi saya harapan,” ucapnya. (BILLBOARD)