Pasal-pasal Bermasalah RKUHP dan RUU Pemasyarakatan Belum Tuntas Dibahas
›
Pasal-pasal Bermasalah RKUHP...
Iklan
Pasal-pasal Bermasalah RKUHP dan RUU Pemasyarakatan Belum Tuntas Dibahas
Pasal-pasal bermasalah dan kontroversial dalam RKUHP dan RUU Pemasyarakatan masih perlu dibahas kembali secara mendalam oleh Komisi III DPR. DPR didorong tak membahas dua RUU itu di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
Rini Kustiasih dan Nikolaus Harbowo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan RUU Pemasyarakatan masih menyisakan sejumlah persoalan. Pasal-pasal bermasalah dan kontroversial dinilai masih perlu dibahas kembali secara mendalam oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat sebelum dibawa ke pembahasan tingkat II atau rapat paripurna.
Di dalam RKUHP, misalnya, masih ditemui pasal-pasal yang melakukan kriminalisasi terhadap hal-hal yang sudah diputuskan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, RKUHP juga masih memberikan titik berat pada penjatuhan pidana dengan hukuman penjara. Hal itu bertentangan dengan tujuan awal dari pembahasan RKUHP yang, antara lain, ingin mengurangi pemenjaraan.
Sementara itu, dalam pembahasan RUU Pemasyarakatan masih ada perdebatan tentang potensi hilangnya pengetatan remisi dan asimilasi serta pembebasan bersyarat terhadap napi tindak pidana khusus yang diatur dalam PP No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam draf RUU Pemasyarakatan yang disepakati September 2019, ada norma yang memungkinkan pemerintah membentuk PP menggantikan sejumlah PP terdahulu.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia, yang dihubungi Selasa (7/4/2020), di Jakarta, mengatakan, pemerintah dan DPR harus kembali mengevaluasi seluruh pasal di dalam RKUHP. Sebab, ICJR menemukan, masih terdapat pasal-pasal bermasalah di RKUHP tersebut.
”Depenalisasi dan dekriminalisasi terhadap beberapa tindak pidana harus digalakkan, mengingat kondisi over-crowding yang terjadi saat ini, salah satunya disebabkan oleh overkriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan yang juga gagal diatasi RKUHP,” ujar Genoveva.
Dari draf RKUHP terakhir per September 2019, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat, masih terdapat pasal-pasal bermasalah yang disimpulkan menjadi 17 isu. Isu tersebut di antaranya meliputi penghinaan terhadap presiden dan pemerintah, larangan mempertunjukkan alat kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, penggelandangan, aborsi, serta tindak pidana korupsi, penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court), makar, kriminalisasi penghinaan yang eksesif, tindak pidana terhadap agama, tindak pencabulan yang diskriminatif, tindak pidana narkotika, dan pelanggaran HAM berat.
Genoveva menilai, situasi pandemi Covid-19 tidak boleh dijadikan kesempatan oleh pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU yang masih bermasalah dan tidak dibahas secara inklusif. Pengesahan RKUHP tanpa pembahasan keseluruhan justru akan menambah panjang daftar masalah yang harus diselesaikan oleh DPR.
”Jika pemerintah dan DPR belum dapat fokus dan serius membahas masalah RKUHP, lebih baik pengesahan dengan pembahasan ditunda terlebih dahulu sehingga seluruh fokus diarahkan pada penanganan Covid-19,” ucapnya.
Pembahasan RKUHP juga sebaiknya melibatkan lebih banyak pihak, terutama yang akan terdampak pada penegakan RKUHP tersebut. Selama ini pembahasan hanya fokus dilakukan oleh ahli hukum pidana tanpa mempertimbangkan pendapat dari bidang ilmu lain yang terdampak, seperti kesehatan, kesehatan masyarakat, kriminologi, pariwisata, dan ekonomi.
Terkait RUU Pemasyarakatan, peneliti Center for Detention Studies (CDS), Gatot Goei, mengatakan, di dalam draf terakhir yang dibahas dengan DPR periode sebelumnya, terdapat ketentuan di dalam Pasal 94 dan 98 yang memungkinkan pemerintah membentuk PP baru dengan menggunakan payung RUU yang baru. Hanya saja, RUU Pemasyarakatan yang baru menyamakan semua kedudukan napi, baik napi tindak pidana umum (tipidum) maupun tipidsus. Dengan dasar itu, ada potensi bagi pemerintah untuk mengubah PP No 99/2012 yang memberikan pengetatan dalam syarat pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat kepada napi tipidsus.
”Jadi, ada celah mengubah norma yang diatur di dalam PP No 99/2012 melalui pengaturan di dalam RUU Pemasyarakatan. Hal ini tentu masih menjadi perdebatan karena pemerintah menegaskan tidak akan mengubah atau mencabut norma di dalam PP No 99/2012,” kata Gatot.
Kembali dibahas
Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Herman Hery mengatakan, beberapa pasal krusial akan dibicarakan kembali di dalam Komisi III DPR. Pembahasan terkait dua RUU itu masih akan dilanjutkan di tingkat komisi. RUU tersebut baru akan dibawa ke tingkat II setelah ada penyelesaian atau pembahasan di tingkat I.
Anggota Komisi III dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, di dalam proses pembahasan, fraksi-fraksi akan menyampaikan sikapnya terhadap pasal-pasal yang kontroversial itu. Sikap fraksi-fraksi bisa meliputi perbaikan redaksi pasal atau penambahan penjelasan di pasal.
”Sebab, kan, concern dari berbagai elemen masyarakat sipil pada umumnya khawatir dengan bunyi pasal yang sudah disepakati di RKUHP itu, misal ditakutkan jadi pasal karet, atau bisa tafsirannya macam-macam sehingga membuka ruang tafsir yang beda-beda di antara penegak hukum. Ini, kan, bisa kita jawab, misal dengan memberikan penjelasan,” ujarnya.
Arsul juga tak sepakat jika kerja legislasi di DPR diminta berhenti di tengah pandemi Covid-19. Sebab, menurut dia, kerja pengawasan dan pembentukan legislasi harus tetap berjalan. ”Silakan kami dikritisi, tetapi jangan juga kami itu karena virus korona disuruh berhenti. Nanti kalau berhenti legislasinya, salah lagi. Seharusnya biarkan jalan, tetapi enggak boleh kejar tayang,” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi III dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, mengatakan, dari segi substansi, RUU Pemasyarakatan lebih siap daripada RKUHP. Namun, pembicaraan mengenai RUU Pemasyarakatan itu juga harus dilakukan kembali karena RUU tersebut sudah lama diendapkan dan belum pernah dibahas lagi sejak ditunda pembahasannya, September 2019.
”Perlu dibahas lagi karena kita semua tentu tidak tahu apakah pasal-pasal yang dulu disepakati itu masih ada atau tidak. Jangan-jangan ada pasal selundupan atau ada yang hilang. Sebab, ini lama tidak dibahas,” ujarnya.