Kampung Hitu memberikan contoh bagaimana desa berperan dalam memutus rantai penyebaran virus korona jenis baru. Peran aktif pemerintah desa sangat dibutuhkan jika banyak warga dari kota memilih mudik.
Oleh
Frans Pati Herin
·4 menit baca
Derasnya aliran pemudik dari kota-kota endemis virus korona jenis baru penyebab Covid-19 menggelisahkan hati warga di kampung-kampung. Menerima pemudik seakan membuka kemungkinan merebaknya virus yang telah merenggut puluhan ribu nyawa di dunia dalam empat bulan terakhir. Sementara menolak pun bukan pilihan bijak. Di Kampung Hitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, muncul siasat mengarantina para pemudik.
Dalam posisi berbanjar dengan jarak lebih dari 1,5 meter, 35 orang menggerakkan badan sambil berjemur di bawah terik matahari, Sabtu (4/4/2020). Mereka adalah pemudik yang baru datang dari sejumlah kota di Pulau Jawa. Setiap pagi, sejak sehari sebelumnya saat karantina mulai dibuka, beberapa anggota TNI dan Polri bergantian memandu senam. Hal itu dilakukan untuk menjaga kebugaran tubuh mereka yang menjalani masa karantina selama 14 hari.
Seusai senam, mereka mendengarkan arahan tim perawat puskesmas soal pola hidup sehat, dari cara mencuci tangan dengan benar, menjaga jarak fisik yang aman, hingga mengelola stres. Kondisi kesehatan dan keluhan mereka pun dicatat untuk dianalisis. Sejauh ini belum ditemukan keluhan yang mengarah pada gejala Covid-19.
Tempat karantina itu terpisah dari permukiman penduduk Kampung Hitu yang secara administratif terdiri atas dua desa, yakni Hitu Lama dan Hitu Mesing. Sukarelawan kedua desa itu memakai sementara ruang kelas SMKN 5 Maluku Tengah. Setiap ruangan berukuran 7 meter x 9 meter itu diisi paling banyak empat orang dengan jarak aman.
Karantina di rumah berbahaya jika tidak disiplin.
Setiap pemudik yang datang langsung diarahkan masuk karantina, sebagaimana dialami Farhan Wailussy (28) bersama istrinya. Baru saja tiba di Bandara Pattimura, Kamis (2/4/2020), ia langsung dihubungi sukarelawan yang menjelaskan mekanisme penanganan pemudik. Ia diminta tak langsung ke rumahnya. Begitu pula pemudik lain. Semuanya patuh. Bagi keluarga yang ingin bertemu diperbolehkan masuk kawasan karantina dan diminta berdiri dalam jarak 9 meter dengan mereka yang dikarantina. ”Padahal, saat mudik ini sekaligus mau perkenalkan istri ke keluarga,” ujar Farhan, bercanda. ”Awalnya bingung nanti isolasi diri seperti apa karena di rumah banyak orang. Ini solusi terbaik,” katanya.
Irma (24), pemudik lain yang juga menggunakan pesawat, tiba di kampung pada 31 Maret atau satu hari sebelum tempat karantina dibuka. Ia datang dari Kediri, Jawa Timur. Selama satu hari, ia mengisolasi diri di lantai dua rumahnya. Setelah karantina dibuka, ia meninggalkan rumah. ”Karantina di rumah berbahaya jika tidak disiplin. Keluarga di rumah khawatir jika saya tetap di sana,” ujarnya. Sebagian besar pemudik datang menggunakan kapal laut. Setelah tiba di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon, mereka dihubungi keluarganya masing-masing agar langsung singgah di tempat karantina. Tanpa diarahkan, banyak dari mereka yang langsung mendatangi tempat karantina. Pemudik di kampung itu kebanyakan berasal dari Pulau Jawa.
Inisiatif kedua raja
Kabar aliran pemudik dari daerah endemis mengkhawatirkan warga dua desa yang tinggal dalam satu perkampungan dengan jumlah penduduk lebih kurang 12.000 jiwa itu. Timbul pro dan kontra. Sebagian warga menyatakan keberatan dengan kehadiran pemudik, sedangkan sebagian lain menyatakan akan menerima. Sikap warga yang terbelah itu membuat situasi tidak kondusif.
Raja (kepala desa) Hitulama Salhana Pelu dan Raja Hitu Mesing Ali Slamat bertemu untuk mencari jalan keluar. Mereka memutuskan menyediakan tempat karantina bagi pemudik. Sebanyak 18 anak muda dari kedua desa dibentuk ke dalam tim sukarelawan untuk mengoordinasi penanganan karantina bersama petugas kesehatan dari puskesmas setempat serta personel TNI dan Polri. Adapun biaya selama masa karantina ditanggung pemerintah desa.
”Sangat berisiko kalau karantina di rumah masing-masing. Satu rumah itu mungkin hanya punya dua atau tiga kamar. Kadang juga handuk dipakai lebih dari satu orang. Bayangkan seperti apa kondisinya,” kata Salhana. Para sukarelawan menyiapkan makanan tiga kali sehari. Menu yang disajikan sesuai dengan anjuran medis. Setiap pagi, ruangan dibersihkan dan disemprot disinfektan.
Di tempat itu juga tersedia jaringan internet bagi yang mau bekerja atau mengikuti kuliah secara daring. Adapun tempat tidur disiapkan oleh pihak keluarga pemudik yang dikarantina. Tempat karantina itu masih membutuhkan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis dan sukarelawan.
Kalau semua desa di Indonesia serentak melakukan karantina bagi pemudik, wabah tidak akan menyebar ke desa.
Mereka hanya membekali diri dengan masker tipis dan cairan pencuci tangan. Itu pun jumlahnya menipis. ”Kami sudah ajukan bantuan APD dan alat rapid test Covid-19 ke Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, tetapi belum ada jawaban,” kata Hadija Pelu, Kepala Puskesmas Hitu.
Ketua Pelaksana Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Maluku Kasrul Selang mengatakan, pada 30 Maret-3 April 2020 tercatat 4.448 pemudik yang pulang ke Maluku. Pengawasan yang ketat terhadap pemudik diperlukan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Kampung Hitu memberikan contoh bagaimana desa berperan dalam memutus rantai penyebaran virus korona jenis baru. Peran aktif pemerintah desa sangat dibutuhkan jika banyak warga dari kota memilih mudik. ”Kalau semua desa di Indonesia serentak melakukan karantina bagi pemudik, wabah tidak akan menyebar ke desa,” kata Salhana.