Penegakan Hukum dalam Penanganan Covid-19 Jadi Pilihan Terakhir Kepolisian
›
Penegakan Hukum dalam...
Iklan
Penegakan Hukum dalam Penanganan Covid-19 Jadi Pilihan Terakhir Kepolisian
Komisi III DPR dan kalangan masyarakat sipil mengingatkan agar penegakan hukum oleh kepolisian dalam menangani Covid-19, harus jelas dasar aturannya dan prosedurnya dilakukan dengan benar.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis telah menerbitkan lima surat telegram sebagai panduan bagi jajaran kepolisian selama masa darurat Covid-19. Dalam menerapkannya, langkah penegakan hukum menjadi pilihan terakhir. Komisi III DPR dan masyarakat sipil mengingatkan agar langkah penegakan hukum yang diambil harus jelas dasar aturannya dan prosedurnya dilakukan dengan benar.
Kelima surat telegram diterbitkan Kapolri pada 4 April lalu. Kelimanya tentang potensi pelanggaran atau kejahatan yang mungkin terjadi dalam masa darurat Covid-19 beserta langkah penanganannya.
Lima hal yang dicermati kepolisian adalah terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB), penanganan kejahatan dalam ketersediaan bahan pokok, penanganan kejahatan terkait situasi dan opini di ruang siber, penanganan kejahatan yang berpotensi terjadi dalam masa penerapan PSBB, dan penanganan orang-orang yang baru tiba dari negara yang terjangkit Covid-19, termasuk tenaga kerja Indonesia.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Raden Prabowo Argo Yuwono, dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (6/4/2020), menekankan, dalam menerapkan perintah Kapolri tersebut, langkah penegakan hukum bakal menjadi pilihan terakhir.
Terhadap kelompok masyarakat yang masih berkerumun, misalnya, kepolisian akan mengeluarkan tiga kali imbauan. Jika tak diindahkan, kepolisian akan menangkapnya. ”Misal ada yang kumpul-kumpul, kami beri imbauan sekali, dua kali, tiga kali, masih ngeyel ya kita bubarkan. Kalau dibubarkan masih ngeyel ya kita bawa ke kantor polisi. Tentu tetap kita terapkan jaga jarak fisik,” ujar Argo
Ini seperti yang dilakukan Polda Metro Jaya dengan menangkap 18 orang yang tak mengindahkan imbauan polisi, 3 April lalu. Namun, mereka tidak ditahan. Setelah diperiksa dan diingatkan kembali oleh polisi, mereka dibolehkan untuk pulang.
Hal serupa dilakukan Polda Jawa Timur terhadap 3.000 orang yang tidak mengindahkan imbauan polisi. Mereka diminta membuat pernyataan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Total hingga saat ini, menurut Argo, kepolisian telah membubarkan 10.873 kerumunan masyarakat di sejumlah lokasi di Indonesia.
Secara terpisah, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes (Pol) Asep Adi Saputra menambahkan, selain pembubaran kerumunan, Polri telah menangani 76 kasus penyebaran berita bohong terkait Covid-19. Adapun terkait kejahatan di ruang siber, termasuk salah satunya penghinaan kepada Presiden, polisi akan terus melakukan edukasi dan patroli siber.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengingatkan agar penerapan perintah Kapolri harus jelas dasar aturannya dan prosedurnya dilakukan dengan benar. Ini terutama terkait perintah Kapolri agar jajaran kepolisian menindak mereka yang diduga melakukan ujaran kebencian atau menyebarkan hoaks terhadap presiden dan pejabat pemerintah terkait penanganan Covid-19 dan proses hukum terhadap mereka yang diduga melanggar PSBB.
Terkait ujaran kebencian atau kabar bohong di media sosial, Arsul mengingatkan Surat Edaran Kapolri No 6/2015 yang isinya meminta agar jajaran Polri melakukan langkah preventif. ”Isi surat itu harus diterapkan dengan baik oleh jajaran kepolisian untuk menghindarkan kesan bahwa Polri sewenang-wenang,” kata Wakil Ketua MPR dari Fraksi PPP itu.
Adapun terkait langkah penindakan Polda Metro Jaya atas 18 orang yang diduga melanggar PSBB seperti dimaksud dalam Pasal 93 UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan atau Pasal 218 KUHP, dia mengingatkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, tidak menetapkan bahwa pada wilayah di Indonesia diberlakukan PSBB.
Penetapan PSBB dilakukan dengan Keputusan Menteri Kesehatan (Menkes). Sampai saat ini Menkes belum menetapkan DKI Jakarta sebagai wilayah PSBB. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan oleh polisi hanya meminta orang yang berkerumun untuk bubar. ”Kalau mereka melawan atau mengabaikan baru bisa digunakan Pasal 218 KUHP,” tambahnya.
Aliansi masyarakat sipil, di antaranya YLBHI, ICJR, dan PSHK, juga menilai tindakan Polda Metro Jaya melanggar hukum karena tidak memiliki dasar hukum.
Selain PP No 21/2020 tidak menetapkan wilayah di Indonesia yang diberlakukan PSBB, ancaman penggunaan Pasal 218 KUHP dalam konteks pencegahan penyebaran Covid-19 dinilai misinformasi. Sebab, pasal tersebut hanya bisa diterapkan pada kerumunan yang mengacau, bukan kerumunan yang tenteram dan damai.
”Belum ada ketentuan pidana yang dapat diterapkan, tetapi rakyat ditindak secara sewenang-wenang, termasuk rakyat yang terpaksa harus tetap keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya,” kata pernyataan tertulis dari masyarakat sipil tersebut.