PSBB Disetujui, Pekerja Informal di Jakarta Perlu Diperhatikan
›
PSBB Disetujui, Pekerja...
Iklan
PSBB Disetujui, Pekerja Informal di Jakarta Perlu Diperhatikan
Pembatasan sosial berskala besar di Jakarta resmi disetujui pemerintah pusat. Pemberlakuan PSBB berdampak langsung pada penurunan pendapatan pekerja informal. Bantuan sosial untuk para pekerja informal dibutuhkan.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Geliat ekonomi di ruas jalan protokol Jakarta diperkirakan akan semakin senyap setelah rencana penerapan skema pembatasan sosial berskala besar di wilayah DKI Jakarta disetujui oleh Kementerian Kesehatan pada Selasa (7/4/2020) siang ini. Sektor pekerja informal perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
Persetujuan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dikeluarkan dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 tentang Penetapan PSBB di Wilayah Provinsi DKI Jakarta dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 yang ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada Selasa ini.
Melalui surat keputusan tersebut, masa PSBB dinyatakan berlangsung selama masa inkubasi terpanjang, yakni 14 hari. Apabila masih ada penyebaran, PSBB dapat diperpanjang.
Rencana PSBB ini dipastikan akan mengakibatkan semakin lengangnya geliat ekonomi di ruas-ruas jalan protokol di Jakarta.
Memasuki pekan ketiga setelah penerbitan Seruan Gubernur DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Kegiatan Perkantoran dalam Rangka Mencegah Penyebaran Wabah Coronavirus Disease (Covid-19), ruas Jalan Daan Mogot cenderung terlihat lebih lengang pada Selasa (7/4/2020) dibandingkan dengan sebelum wabah menyebar. Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, adalah salah satu ruas jalan penting yang menghubungkan wilayah Tangerang dan kawasan Jakarta Barat menuju pusat Jakarta.
Suasana di jembatan penyeberangan orang halte Transjakarta Jelambar, Simpang Grogol, seperti yang terlihat pada Selasa ini pukul 07.42.
Meskipun jam sibuk, kondisi halte cenderung sepi dan lengang. Hal ini diakibatkan penerapan kerja dari rumah dan sekolah daring yang sudah berjalan paling tidak tiga pekan di Jakarta.
Niar (40), warga Grogol, mengatakan, jumlah penumpang Transjakarta jauh lebih menurun dibandingkan dengan hari biasa sebelum penyebaran Covid-19 di Jakarta.
”Biasanya penuh setiap hari, tetapi sekarang hanya 10-11 orang setiap bus,” kata Niar, yang setiap hari menggunakan Transjakarta Koridor 8 untuk menuju Harmoni. Untuk diketahui, kapasitas maksimum Transjakarta ukuran besar dapat menampung hingga 80 orang.
Julianto (23), warga Grogol, yang setiap hari turun di halte Transjakarta Rawa Buaya untuk bekerja di kawasan Cengkareng mengatakan, jumlah penumpang turun hingga 50 persen dibandingkan dengan sebelum wabah Covid-19. ”Jalanan juga cenderung lebih sepi,” katanya.
Perhatian pekerja informal
Dengan demikian, warga yang menggantungkan penghidupannya dari aktivitas ekonomi yang terjadi di sepanjang ruas jalan ini—seperti pengemudi ojek—membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah.
Surip (66), pengojek pangkalan yang biasa menunggu penumpang di perempatan Cengkareng-Daan Mogot, mengatakan, selama tiga pekan pemberlakuan pembatasan sosial ini, ia sangat sering tidak mendapatkan penumpang sama sekali.
Biasanya, ia bisa mendapat delapan hingga sepuluh penumpang setiap hari dengan rata-rata ongkos Rp 20.000 sekali jalan. Namun, kini, total pendapatannya sehari hanya digantungkan pada satu penumpang langganannya yang turun dari halte Transjakarta Rawa Buaya setiap sore.
”Gara-gara korona ini benar-benar susah saya. Memang disuruh di rumah aja, tetapi, kan, perut enggak bisa diam juga,” kata Surip yang hidup sendirian di sekitar Kali Mookervart, Rawa Buaya.
Untuk itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pemerintah perlu memastikan para pekerja sektor informal tetap dapat hidup meski tidak bisa bekerja.
”Pastikanlah mereka memiliki akses jaminan sosial, termasuk upah sakit, perawatan kesehatan, dan cuti orang tua, ketika mereka tidak dapat bekerja karena wabah Covid-19, termasuk, misalnya, jika mereka sakit, dikarantina, atau harus merawat anak-anak karena penutupan sekolah,” kata Usman.