Revisi UU Pemasyarakatan yang akan dibawa ke pembahasan tingkat II oleh DPR berpotensi memperlemah pemberantasan korupsi. Revisi itu akan menghapuskan PP No 99/2012 yang membatasi remisi dan asimilasi bagi napi korupsi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana DPR untuk segera mengesahkan Revisi Undang-Undang Pemasyarakatan mendapatkan tentangan. RUU ini dipandang hanya akan melemahkan usaha pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, revisi Undang-Undang Pemasyarakatan yang drafnya sudah dibahas oleh DPR periode sebelumnya, dipastikan akan berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab, revisi tersebut akan mengubah isi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dan bahkan menghapus PP tersebut sehingga tidak berlaku.
PP No 99/2012 mengatur Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam PP tersebut diatur, narapidana pidana khusus, seperti terorisme, korupsi, narkotika, dan kejahatan lainnya, baru mendapatkan hak-hak napi, seperti remisi, pembebasan bersyarat, dan asimilasi, jika bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatannya atau menjadi justice collaborator, sudah membayar denda dan uang pengganti, dan lainnya. PP tersebut mempersulit napi korupsi untuk mendapatkan potongan hukuman.
”Jika PP No 99/2012 ini akan dihapuskan, mekanisme pemberian remisi kepada napi korupsi sama dengan tindak pidana biasa, seperti mencuri ayam, copet, atau pencuri sandal,” kata Fickar melalui pesan singkat di Jakarta, Selasa (7/4/2020).
Selain itu, dengan tidak adanya PP No 99/2012, maka tidak perlu lagi menjadi justice collaborator (JC) atau tidak harus minta persetujuan Komisi Pemberantasan Korupsi atau kejaksaan dalam pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat, seperti yang berlaku saat ini, sesuai dengan PP No 99/2012.
RUU Pemasyarakatan tersebut mempermudah pembebasan koruptor.
Jika RUU Pemasyarakatan disahkan, pembebasan bersyarat diberikan tanpa lagi mempertimbangkan apakah terpidana sudah mengembalikan uang kerugian negara atau belum. Dengan kata lain, RUU Pemasyarakatan tersebut mempermudah pembebasan koruptor.
Dengan tidak ada lagi syarat harus menjadi JC dalam pemberian remisi, maka akan menyulitkan KPK untuk mengungkap kasus besar, termasuk aktor utamanya. ”Narapidana korupsi tidak harus menjadi JC lantaran RUU Pemasyarakatan memberikan kelonggaran dalam pemberian remisi,” ujar Fickar.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan, RUU Pemasyarakatan diperlukan untuk menegaskan keberpihakan dan perlindungan hukum pidana kepada masyarakat marjinal. Namun, harus diwaspadai agar RUU Pemasyarakatan tidak ditunggangi agenda terselubung untuk membatalkan PP No 99/2012.
”PP No 99/2012 adalah politik hukum yang tegas untuk negara memberantas korupsi, teroris, dan bandar narkoba serta kejahatan luar biasa lainnya,” kata Denny.
Ia menuturkan, jika tidak hati-hati, sikap Presiden Joko Widodo yang tidak ingin mengubah PP No 99/2012 akan dikelabui melalui RUU Pemasyarakatan yang berpengaruh pada tidak berlakunya lagi PP No 99/2012.
Denny yakin, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang merupakan seorang Guru Besar Hukum Tata Negara sangat paham pada masalah ini. Karena itu, ia berharap, Mahfud dapat berjuang keras untuk mencegah pengesahan RUU Pemasyarakatan yang memiliki agenda tersembunyi.