Wartawan Tidak Tepat Dapat Keistimewaan Terima Jaring Pengaman Sosial
›
Wartawan Tidak Tepat Dapat...
Iklan
Wartawan Tidak Tepat Dapat Keistimewaan Terima Jaring Pengaman Sosial
Pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, hendaknya memprioritaskan anggarannya untuk membantu kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya di tengah pandemi Covid-19 ini.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Usulan kepada pemerintah untuk memasukkan wartawan dalam kelompok masyarakat yang mendapat fasilitas Jaring Pengaman Sosial, terkait dampak Covid-19 mengundang pro kontra di kalangan media. Pada satu sisi, wartawan dinilai merupakan bagian yang terdampak oleh Covid-19, namun di sisi lain ada yang memandang wartawan bukan satu-satunya komunitas yang terdampak.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam keterangan pers, Selasa (7/4/2020) menilai usulan untuk memasukkan wartawan dalam penerima Jaring Pengaman Sosial (JPS) adalah tidak tepat. Sebab, usulan itu juga seperti meminta hak istimewa (privilese), sesuatu yang tidak dilakukan oleh kelompok profesi lainnya. Sementara jumlah orang miskin sampai bulan Maret 2018 sebanyak 25,95 juta orang (9,82 persen).
“Kami mengerti tugas wartawan penting di masa pandemi seperti saat ini. Tapi tetap kurang tepat meminta keistimewaan dengan memasukkannya ke dalam daftar penerima JPS, yang itu sebenarnya ditujukan untuk orang miskin,” ujar Ketua Umum AJI Abdul Manan.
Kami mengerti tugas wartawan penting di masa pandemi seperti saat ini. Tapi tetap kurang tepat meminta keistimewaan dengan memasukkannya ke dalam daftar penerima JPS, yang itu sebenarnya ditujukan untuk orang miskin.
Manan menegaskan, itu berbeda halnya, apabila ada wartawan yang karena kondisi ekonominya masuk kategori miskin. Jika memang ada wartawan yang dalam situasi seperti itu, maka wajar jika yang bersangkutan mendapatkan fasilitas dana JPS itu. Jadi pemberiannya bukan karena profesi wartawan.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana menyatakan IJTI menganggap semua warga negara berhak dan wajib menerima JPS jika memenuhi syarat dari pemerintah.
Terkait wartawan, IJTI berpendapat bukan profesi jurnalisnya yang harus diberi hak mendapat dana JPS, tetapi jika sebagai warga negara dan berhak tentu tidak jadi masalah. “Dalam konteks jurnalis, saya kira tidak perlu mendapat keistimewaan mendapat JPS karena Covid-19,” papar Yadi.
Bantuan tak langsung
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal Sembiring Depari mengungkapkan PWI sepakat bahwa pemerintah perlu memberi perhatian pada kehidupan pers nasional, dalam hal ini wartawan yang berperan aktif dalam peliputan perang melawan Covid-19. Karena itu adalah pekerjaan yang sangat menantang dengan risiko tinggi tertular.
“Tapi, bentuk perhatian itu bukan berupa bantuan langsung kepada wartawan, tapi pada perusahaan. Contohnya, pengurangan pajak kertas untuk perusahaan cetak, pemotongan pajak iklan bagi daring, atau pembayaran iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ditanggung pemerintah selama empat sampai lima bulan ini. Ya, bentuk bantuan tidak langsung,” ujar Atal.
Dengan mengurangi beban perusahaan, maka diharapkan perusahaan bisa tetap berjalan sehingga mampu mempertahankan/memenuhi kesejahteraan karyawan/wartawannya. Atal berkeyakinan, sehatnya kehidupan pers akan sangat berkontribusi positif dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini.
Sebelumnya, Dewan Pers, dalam pertemuan secara daring dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate bersama para pemimpin redaksi dan Komisi Penyiaran Indonesia pada Jumat (3/4) menyampaikan usulan untuk memasukkan wartawan dalam kelompok masyarakat yang mendapat fasilitas Jaring Pengaman Sosial, khususnya wartawan profesional (yang telah tersertifikasi) dari media di daerah.
“Dewan Pers memang meminta agar wartawan media lokal di daerah untuk mendapat JPS. Ini sesuai aspirasi dari daerah yang disampaikan,” ujar Hendry Ch Bangun, Wakil Ketua Dewan Pers. Selain itu, Dewan Pers mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan stimulus pada perusahaan pers berupa subsidi pembelian bahan baku (kertas) dan atau langkah pemberian keringanan pajak, khususnya kepada media cetak di daerah yang kian terpuruk akibat naiknya kurs dollar Amerika Serikat.
Kondisi tersebut memicu kenaikan harga kertas, di lain pihak perusahaan pers juga menghadapi menurunnya pendapatan dari iklan dan berkurangnya oplah serta naiknya biaya operasional.
Soal perlindungan kerja terhadap wartawan yang meliput Covid-19, Dewan Pers dan Kementerian Kominfo juga diharapkan mendorong pemerintah daerah untuk dapat berkontribusi dalam pemberian alat perlindungan diri (APD).
Tanggung jawab perusahaan media
Namun, menurut AJI, kesejahteraan jurnalis dan pekerjanya, termasuk di era pandemi seperti saat ini, tetap menjadi tanggung jawab perusahaan media. Selain memberikan kesejahteraan, kewajiban perusahaan media di tengah pandemi saat ini adalah menyediakan APD bagi jurnalis agar terlindung dari kontaminasi virus korona jenis baru saat bertugas, minimal dengan menyediakan masker dan hand sanitizer serta perlengkapan lainnya.
AJI meminta kepada pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, hendaknya memprioritaskan anggarannya untuk membantu kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya di tengah pandemi Covid-19 ini.
Kalau pun pemerintah ingin membantu media, bisa dilakukan antara lain dengan memberi stimulus pada perusahaan pers berupa subsidi pembelian bahan baku (kertas) dan atau langkah pemberian keringanan pajak.
Begitu juga soal rapid test, AJI meminta pemerintah memprioritaskan kepada warga negara yang berada di daerah yang ditemukan jejak epidemiologi klaster penyebaran virus korona, atau mengacu pada status Orang Dalam Pemantauan (ODP). Pemerintah harus menghindari memberikan keistimewaan kepada kelompok tertentu untuk mengikuti rapid test tersebut, termasuk kepada wartawan.
Anggota Dewan Pers, Arif Zulkilfli menyatakan soal usulan kepada Kemenkominfo, sebenarnya ada dua pendapat di Dewan Pers. Ada yang setuju wartawan mendapat JPS karena merupakan bagian dari komunitas yang terdampak dan ada yang tidak setuju karena wartawan bukan satu-satunya yang terdampak.
“Terjadi perbedaan pendapat dalam Dewan Pers sendiri, antara menyetujui wartawan masuk dalam JPS dan tidak menyetujui. Tapi itu dinamika yang biasa di organisasi. Tapi sesuai pembicaraan Dewan Pers dengan Kemenkominfo itu disampaikan oleh Dewan Pers dalam rapat terbuka,” kata Arif.
Soal rapid test Covid-19, secara pribadi menurut Arif, pemerintah sudah membuat aturan terkait pemeriksaan cepat dengan syaratnya yakni punya gejala dan punya sejarah bersentuhan dengan Pasien dalam Pengawasan (PDP). Ia berharap wartawan mengikuti ketentuan tersebut.