20 Alat PCR untuk Deteksi Covid-19 Segera Didistribusikan
Pemerintah akan mendistribusikan 20 peralatan untuk mendeteksi virus korona baru dengan metode reaksi rantai polimerase atau PCR. Hal itu diharapkan mempercepat deteksi Covid-19 secara akurat.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara akan mendistribusikan 20 alat tes swab atau reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) ke 12 provinsi. Peralatan itu untuk mendukung upaya percepatan deteksi virus korona baru pemicu Covid-19.
Peralatan yang akan didistribusikan itu terdiri dari 18 detektor PCR dengan total kapasitas 9.000 spesimen per hari dan dua RNA extractor automatic dengan total kapasitas 1.000 spesimen per hari ke 12 provinsi.
Staf khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Mahendra Sinulingga menyampaikan hal itu dalam konferensi pers tanpa tatap muka melalui kanal Youtube Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Rabu (8/4/2020), di Jakarta.
Baca juga: Alat Tes Korona Siap Diproduksi secara Massal
Menurut Arya Mahendra, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan kepada Menteri BUMN Erick Thohir untuk mendatangkan peralatan PCR itu sebulan lalu atau sejak awal penyakit Covid-19 terdeteksi di Indonesia. Tiga minggu lalu, Kementerian BUMN berhasil bernegosiasi dengan perusahaan farmasi Roche Swiss untuk membeli dua jenis alat itu.
”Alat tes PCR paling direkomendasikan semua lembaga kesehatan dunia untuk mendeteksi Covid-19. Namun, mencari dan membeli alat ini tidak mudah karena hampir semua negara di dunia ingin membelinya atau rebutan, situasi sama terjadi pada bahan baku obat untuk penanganan Covid-19,” ujarnya.
Dua jenis alat itu sudah datang ke Indonesia sejak Sabtu lalu. Rinciannya, 18 detektor PCR dengan total kapasitas 9.000 spesimen per hari atau setiap memiliki kapasitas sekitar 500 spesimen per hari. Dua RNA extractor automatic punya total kapasitas 1.000 spesimen per hari atau satu alat berkapasitas 500 spesimen per hari. Peralatan itu memiliki tingkat kemampuan membaca hasil pemeriksaan sangat tinggi.
Menyetel ulang
Kini, para ahli terkait berusaha menyetel ulang alat-alat itu di salah satu rumah sakit (RS) di Jakarta. Proses pembangunan ataupun pengoperasian alat-alat itu harus hati-hati agar sampel virus yang dites tidak menyebar ke mana-mana atau ruangannya harus bertekanan negatif.
Nantinya, alat-alat itu akan disebar ke 12 provinsi, yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Mereka berharap alat-alat itu bisa dioperasikan dalam seminggu ke depan, terutama untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk daerah lain, perangkat itu ditargetkan bisa beroperasi dua pekan setelah tiba.
Di daerah lain, salah satu kendala adalah memastikan ada laboratorium standar minimal level keamanan hayati atau bio safety level (BSL) 2 guna memastikan alat-alat itu bekerja di ruangan bertekanan negatif.
”Selama ini, upaya deteksi virus korona lambat di Indonesia karena keterbatasan alat tes. Kalau alat-alat ini sudah bisa bekerja, keberadaannya bisa memeriksa 5.000-10.000 spesimen per hari atau mencapai 300.000 spesimen per bulan. Dengan begitu, kita bisa lebih cepat dan lebih banyak mendeteksi mereka yang menderita Covid-19 sehingga upaya memutus rantai penyebaran bisa lebih baik,” tutur Arya.
Data lebih besar
Dosen pada Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Atik Choirul Hidajah, memaparkan, angka kasus positif Covid-19 di Indonesia diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan dengan data saat ini. Sebagai gambaran, laju penularan Covid-19 saat ini 2 - 2,5. Artinya, satu orang positif Covid-19 bisa menularkan penyakit pada dua-tiga orang lain.
Kalau alat-alat ini sudah bisa bekerja, keberadaannya bisa memeriksa 5.000-10.000 spesimen per hari.
Dengan tingginya potensi penyebaran penyakit di lapangan, Atik berharap pemerintah bisa mengambil langkah lebih cepat mencari orang-orang yang terinfeksi virus korona baru, SARS-CoV-2, terutama orang tanpa gejala (OTG). Mereka bisa terus memperluas penyebaran virus.
Menjadi gawat kalau virus menjangkiti orang-orang rentan atau yang memiliki penyakit bawaan, seperti hipertensi, diabetes, kanker, HIV, lansia, ataupun perokok. ”Kalau sempat tertular, kondisi orang rentan itu akan cepat memburuk,” ujarnya.
Atik menuturkan, pencarian orang-orang dengan Covid-19 bisa dilakukan berlapis dengan metode tes cepat dan PCR. Tes cepat bisa dimanfaatkan untuk menyaring orang-orang yang terbukti positif. Kalau demikian, mereka bisa dibuktikan lebih kuat dengan metode PCR. Itu juga untuk mengakali keterbatasan alat tes PCR ataupun tenaga uji metode tersebut, serta lamanya hasil tes PCR yang bisa mencapai dua-tiga hari.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) perlu memperluas jejaring laboratorium standar BSL-2. Saat ini, mereka menetapkan ada 49 litbangkes di 34 provinsi yang berstandar minimal BSL-2 untuk menjadi tempat tes PCR.
”Agar proses pencarian orang dengan Covid-19 semakin luas, Kemenkes perlu menambah jejaring laboratorium seperti itu. Mereka bisa bekerja sama dengan laboratorium milik perguruan tinggi atau swasta. Tinggal nanti kapasitas teknologinya ditambah jika laboratorium itu belum memenuhi standar BSL-2. Dengan begitu, tes PCR secara luas bisa dilakukan agar segera memutus mata rantai penyebaran penyakit ini,” ujarnya.
Triase pasien
Direktur Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, Rita Rogayah mengutarakan, penanganan pasien Covid-19 diklasifikasi menjadi pasien kasus ringan, sedang, dan berat. Saat ini, semua fasilitas medis mengutamakan penanganan terhadap pasien kasus sedang dan berat guna mengatasi keterbatasan ruang perawatan pada fasilitas kesehatan. Untuk pasien ringan ataupun OTG, mereka diminta untuk isolasi diri di rumah.
”Pasien kasus-kasus ringan itu bisa dirujuk ke Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet atau melakukan isolasi diri di rumah, tetapi tetap koordinasi dengan fasilitas kesehatan setempat. Saat isolasi mandiri, mereka harus menaati protokol kesehatan agar tidak menulari orang lain, terutama keluarganya. Ini harus diterapkan secara displin,” tuturnya.
Fasilitas kesehatan yang ada tidak mungkin menampung semua pasien Covid-19. Sebagai gambaran, Rumah Sakit Persahabatan sebagai salah satu dari 15 rumah sakit rujukan bisa menerima 60-80 pasien kasus Covid-19 per hari. Setelah didata, pasien itu terdiri dari kasus ringan 30-40 persen, berat 30-60 persen, dan berat 10-15 persen.
Baca juga: Keterlambatan Pemeriksaan Covid-19 Ganggu Layanan Rumah Sakit
Sejauh ini, Rumah Sakit Persahabatan hanya bisa menangani 12-15 persen dari total pasien yang ada. ”Dengan keterbatasan yang ada, kami harus mengutamakan penanganan pasien kasus sedang dan berat, yang punya faktor risiko tinggi,” ujarnya.
Terlepas dari itu, Rita memastikan, pihaknya terus berusaha meningkatkan kapasitas layanan. Setidaknya, selain telah menyediakan poli orang dengan pengawasan (ODP) Covid-19, mereka menambah ruang isolasi dari 24 tempat tidur menjadi 104 tempat tidur.
”Secara keseluruhan, semua rumah sakit rujukan di DKI Jakarta dan sekitarnya berupaya meningkatkan kapasitas layanan untuk pasien Covid-19, yakni menambah ruang isolasi dari total 475 tempat tidur menjadi 837 tempat tidur hingga 15 April nanti,” ujarnya.