Manis-Pahit Kehidupan di Miangas, Pulau Terluar di Sisi Utara
›
Manis-Pahit Kehidupan di...
Iklan
Manis-Pahit Kehidupan di Miangas, Pulau Terluar di Sisi Utara
Nelayan Miangas pun tampak swasembada. Laut akan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Namun, ada mimpi dan keinginan para nelayan yang belum tercapai.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·6 menit baca
”Dari Sabang sampai Merauke… Dari Miangas sampai Pulau Rote…”
Kalau tak tahu letak geografisnya, setidaknya orang pasti tahu ada sebuah pulau di Nusantara bernama Miangas. Bagaimana tidak, nama pulau itu bahkan dimuat dalam jinggel produk mi instan terkemuka di Indonesia, terlebih lagi slogan-slogan persatuan bangsa. Ya, Miangas adalah pulau di ujung utara wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, titik terdepan di perbatasan dengan Filipina.
Sekalipun letaknya di perbatasan, jangan kira Miangas dipenuhi personel militer dan alutsistanya. Pulau berbukit seluas 3,2 kilometer persegi, sedikit lebih kecil daripada Kelurahan Penjaringan di Jakarta Utara, itu adalah sebuah desa sekaligus kecamatan khusus. Namun, penduduk pulau di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, ini hanya sekitar 800 jiwa, jauh dibandingkan dengan warga Kelurahan Penjaringan yang mencapai 105.000 jiwa.
Perkampungan warga yang terdiri atas tiga lorong terletak di sisi selatan pulau. Jumlah rumah pun hanya ratusan. Adapun Bandara Miangas telah dibangun di sisi barat laut pulau. Selain dua wilayah itu, daratan Miangas menjadi belantara pohon kelapa dan pepohonan ataupun tumbuhan lainnya.
Sama halnya dengan Penjaringan di pesisir Jakarta, penduduk Desa Miangas mengandalkan kekayaan laut untuk menyambung kehidupan mereka hari demi hari. Sebagian warga Miangas adalah nelayan.
Ada warga lebih suka mencari ikan dengan jaring di dekat pantai. Namun, ikan yang besar, seperti cakalang, hanya ada di laut dalam. Sebagian besar nelayan pun memilih pergi ke tengah laut demi mengail rezeki. Mereka mengandalkan perahu kayu yang bercadik atau lebih dikenal sebagai perahu pompa (pumpboat).
”Paling jauh mungkin hanya 1-2 mil laut. Perahu kami ada mesinnya, ada yang pakai bensin, ada yang pakai solar,” kata Irwan Mamoga (39), salah satu nelayan, pada Kamis (12/3/2020).
Para nelayan biasa berangkat pada pagi hari saat matahari telah bersinar. Arus yang kuat dan gelombang yang tinggi bukanlah halangan, kecuali saat musim angin barat yang terkenal ganas. Laut yang bergejolak telah dianggap wajar mengingat Miangas hanyalah sebuah titik daratan di tengah Laut Mindanao, Samudra Pasifik, dan perairan Sulawesi.
Nelayan akan diantar para kerabat atau temannya saat hendak melaut di sisi selatan pulau. Mereka akan membantu menurunkan perahu dari atas talud yang menjadi batas antara laut dan daratan pulau, kemudian mendorong perahu hingga mengapung di atas air. Para nelayan semakin jauh diiringi lambaian tangan para pengantar, sebelum mereka kembali ke rumah, menunggu kembalinya para pencari ikan.
Dermaga di sisi selatan pulau pun akan menjadi sangat sepi sepanjang siang. Kehidupan di lini yang lain juga berlanjut, mulai dari niaga, pendidikan, hingga berkebun.
Beberapa warga membuka toko kelontong di rumah masing-masing. Bahan dagangannya pun sama seperti swalayan di kota-kota besar, mulai dari biskuit, kue, sabun, detergen, beras, hingga pakaian.
Rose Passe (64), salah satu pemilik toko kelontong, telah mendatangkan beragam komoditas dari Bitung untuk dijual kepada warga. Semua barang didatangkan dengan kapal perintis, yaitu Sabuk Nusantara 69, 70, dan 95 yang menghubungkan Bitung dan Miangas.
Sebagian bahan makanan bisa didapatkan secara cuma-cuma. Sebagai pengganti beras, warga bisa mengambil sejenis talas yang disebut laluga. Tanaman umbi ini tumbuh liar di daerah kebun kelapa pulau. Yunita Tine (44) adalah salah satu warga yang masih gemar makan laluga.
Itje Tine (54) juga masih rutin makan laluga sekalipun sebagian besar warga lebih terbiasa makan nasi. ”Laluga ini harus direbus 2,5 jam sampai 3 jam. Tanpa bumbu pun, rasanya sudah gurih,” kata Itje.
Hak warga untuk bersekolah selama 12 tahun telah dijamin secara formal dengan keberadaan tiga bangunan sekolah, mulai dari SD Negeri Miangas, SMP Negeri 2 Nanusa, dan SMK Negeri 2 Talaud.
Namun, tak berarti pendidikan berjalan dengan baik. Wensariawen Rellam (54), misalnya, guru SD di kelas I dan II, lebih memilih menjaga barang dagangannya di kantin sekolah. Sebagian besar guru lain, baik yang berstatus honorer maupun pegawai negeri sipil, seperti kepala sekolah, memilih untuk absen tanpa alasan jelas.
Di SMP, kegiatan belajar dan mengajar lebih terjamin karena jumlah guru yang lebih banyak daripada jumlah kelas. Namun, hampir semua guru harus mengajar mata pelajaran di luar keahliannya. Sabtudewo Sono, guru Agama Kristen, harus merangkap mengajarkan Matematika hingga Seni Budaya.
Segala aktivitas di desa menemui jedanya saat matahari berada tepat di atas ubun-ubun. Menjelang senja, desa kembali hidup. Ingar-bingar terpusat di dua lapangan voli yang saling bersebelahan di tepi dermaga selatan pulau. Masing-masing dimanfaatkan untuk voli perempuan dan laki-laki.
Sebagian warga yang tak bermain voli adalah mereka yang menunggu kedatangan para nelayan. Sekitar pukul 16.00 hingga 17.30 Wita, satu per satu perahu bercadik kembali merapat ke pantai.
Para lelaki desa dengan sigap mendekat, lalu mengambil tempat di bilahan cadik perahu yang terbuat dari bambu. Memang, kepulangan nelayan yang habis melaut bukan urusan sederhana di Miangas. Ada talud bertingkat setinggi 4 meter yang harus ditaklukkan untuk memastikan perahu aman dari serangan ombak dan pasang pada malam hari.
Para lelaki desa pun saling membantu mengangkatnya ke tempat aman. Para tentara dari Batalyon Infanteri 711/Raksatama, Palu, Sulawesi Tengah, yang ditugaskan di Pos Angkatan Darat Miangas dalam jumlahnya belasan, paling sering turun ke air, berbasah-basah untuk membantu.
Kegiatan ini dilakukan para tentara dari hari ke hari. ”Kalau kita bantu, biasanya nelayan mau kasih ikan. Itu pun kalau mereka dapat ikan,” kata Fadli, salah satu petugas di Pos Angkatan Darat Miangas.
Di atas talud, warga yang telah menunggu mulai mengerubungi perahu, menanyakan apa ada tangkapan hari itu. Ada kalanya banyak tangkapan, ada kalanya pula tidak ada tangkapan. Jenis tangkapan pun beragam, mulai dari cakalang, mananengko (salmon), atau tenggiri.
Namun, Sugono Lupa (53), misalnya, pulang dengan lima ekor cakalang sore itu. ”Satu ekor saya bawa pulang untuk makan di rumah, satu ekor saya kasih buat orang-orang yang bantu. Sisanya saya jual Rp 100.000 per ekor,” kata Sugono.
Nelayan Miangas pun tampak swasembada. Laut akan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Namun, ada mimpi dan keinginan para nelayan yang belum tercapai.
”Pemerintah bikin talud memang untuk mencegah abrasi di pulau. Tapi, kebutuhan kami tidak diperhatikan. Tidak ada tempat labuh tambat perahu. Akhirnya, sebagian tangkapan kami harus dikorbankan untuk orang yang bantu-bantu,” kata Kenangan Lupa (44), nelayan yang juga petugas imigrasi di Miangas.
Yunus (30), nelayan lainnya, juga mengeluhkan hasil perikanan yang hanya mandek di desa. ”Tidak ada kapal penampung yang mau angkut ikan kami. Tidak ada nilai tambah,” katanya.
Terlepas dari itu, harapan bagi masa depan Miangas tetap digantungkan di garda terakhir pendidikan di Miangas, yaitu SMK Negeri 2 Talaud. SMK yang membuka jurusan pengolahan hasil perikanan itu diharapkan bisa memajukan sektor perikanan Miangas.
Namun, siswa tak benar-benar tahu apa yang mereka pelajari. Di sekolah, aktivitas belajar-mengajar lebih banyak diisi dengan menyalin buku pelajaran serta bersih-bersih lingkungan sekolah.
Alat-alat pengolahan ikan pun nyaris tak pernah digunakan, teronggok di dalam ruang praktikum. Sementara kolam budidaya telah berubah fungsi menjadi tempat menyimpan barang bekas sekolah.
Akhirnya, matahari akan tenggelam di sisi barat Pulau Miangas. Jingganya merekah saat bintang besar itu menghilang perlahan di ujung horizon. Dan esok hari, roda kehidupan di ujung utara Nusantara akan berputar lagi.