Misteri Virus Korona Baru Perlahan Terkuak
Pertanyaan demi pertanyaan tentang Covid-19 dan virus korona baru penyebabnya mulai terjawab. Tapi, itu belum cukup untuk bisa mengendalikan pandemi ini. Pengetahuan akan terus bermunculan seiring waktu.
Tiga bulan lalu hanya sedikit orang yang mengenal virus korona. Tapi, nama itu kini mendunia karena salah satu jenis dari virus itu, yakni virus korona baru bernama SARS-CoV-2, sudah menginfeksi lebih dari 1,3 juta orang di dunia, merenggut 75.000 korban jiwa, dan membatasi pergerakan seperlima populasi dunia.
Virus korona baru ini awalnya penuh misteri. Strain virus yang meskipun mirip dengan virus penyebab sindrom pernapasan akut parah (SARS), jenisnya sama sekali baru. Para pakar di dunia pun tidak memiliki pengetahuan yang cukup akan virus ini.
Setelah tiga bulan menyebar ke seluruh dunia kini pengetahuan tentang virus korona baru ini pun terus bertambah sedikit demi sedikit. Ibarat membangun kapal sambil berlayar saat ini para cendekiawan di dunia pun terus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang belum terjawab untuk mengendalikan pandemi Covis-19, penyakit yang disebabkan oleh virus itu.
Baca juga: Virus Korona Baru
Sejauh ini berdasarkan sejumlah studi kita sudah mengetahui bahwa tingkat keparahan Covid-19 meningkat seiring usia.
Jurnal kesehatan The Lancet pada 31 Maret 2020 memublikasikan studi yang menunjukkan bahwa Covid-19, rata-rata, lebih berbahaya bagi pasien di atas 60 tahun dengan angka kematian 6,4 persen dari kasus positif.
Menurut beberapa studi terhadap ratusan pasien di China selama Februari 2020 angka kematian itu meningkat 13,4 persen bagi pasien dengan usia di atas 80 tahun. Sementara bagi pasien berusia di bawah 60 tahun angka kematiannya 0,32 persen.
Baca juga: Anak Muda Tak Kebal Virus Korona
Proporsi pasien yang memerlukan perawatan pun mirip dengan angka kematian, yakni semakin lanjut usia pasiennya semakin banyak di antara mereka yang membutuhkan perawatan.
Di antara pasien dengan kelompok umur 10-19 tahun hanya 0,04 persen di antaranya yang butuh perawatan, untuk pasien usia 40-49 tahun 4,3 persen, untuk usia 60-69 tahun 11,8 persen, dan bagi usia di atas 80 tahun 18,4 persen atau dengan kata lain satu dari lima orang pasien 80 tahun ke atas mengalami sakit yang serius hingga memerlukan perawatan.
Di luar faktor usia, kondisi ada tidaknya penyakit penyerta—misalnya penyakit jantung, strok, kanker, diabetes—juga menjadi faktor risiko.
Dalam laporan terbaru dari Italian Higher Institute of Health (ISS), diidentifikasi beberapa penyakit penyerta yang dimiliki korban Covid-19 yang meninggal. Penyakit yang paling banyak (73,5 persen) dimiliki oleh pasien meninggal adalah hipertensi, disusul diabetes (31 persen), dan penyakit jantung koroner (27 persen).
Baca juga: Kematian akibat Covid-19 di Italia Kini Terbanyak di Dunia
Menurut analisis mendalam oleh para peneliti China yang sudah dipublikasikan di jurnal kedokteran Jama pada 24 Februari 2020, pada 80,9 persen kasus tingkat keparahan Covid-19 moderat, 13,8 persen kasus serius, dan 4,7 persen kasus kritis.
Hubungan antara total jumlah kasus meninggal dan total jumlah kasus di dunia memperlihatkan bahwa Covid-19 menewaskan sekitar 5 persen dari pasien yang terdiagnosis. Tentu jika kita melihat lebih jauh kondisi setiap negara pasti berbeda-beda.
Kita harus membaca angka kematian itu dengan hati-hati sebab tidak jelas berapa banyak orang yang sebenarnya terinfeksi mengingat kemampuan dan kebijakan setiap negara menjalankan pemeriksaan yang masif sangat bervariasi.
Orang yang positif Covid-19 bisa jadi lebih banyak daripada yang dilaporkan mengingat banyak orang yang ternyata positif, tetapi tidak menunjukkan gejala. Sehingga angka kematian pun bisa lebih rendah lagi.
Beberapa bulan lalu, Direktur Institut Alergi dan Penyakit Menular Nasional (NIAID) Amerika Serikat Anthony Fauci menyampaikan kepada Kongres AS bahwa angka kematian jauh lebih rendah dari 5 persen.
”Jika kita hitung semua kasus, termasuk mereka dengan sedikit gejala dan bahkan tanpa gejala, kemungkinan angka kematian turun hingga sekitar 1 persen,” kata Fauci. Meski begitu, Covid-19 tetap ”10 kali lebih mematikan dibandingkan dengan flu musiman”.
Studi yang dipublikasikan di The Lancet pada 31 maret 2020 memperkirakan proporsi kasus meninggal dari kasus yang terkonfirmasi positif adalah 1,38 persen.
Akan tetapi, tingkat bahaya Covid-19 tidak melulu dilihat dari berapa banyak kematian yang ditimbulkannya, tetapi juga oleh kemampuannya menyebar.
Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Bersiap Hadapi Potensi Pandemi Covid-19
Andaikata ”hanya” 1 persen pasien yang meninggal, ”Angka itu akan jadi signifikan jika 30 persen atau 60 persen populasi terinfeksi,” kata Simon cauchemez dari Pasteur Institute di Paris.
Faktor lain yang memengaruhi angka kematian Covid-19 adalah beban yang besar di rumah sakit. Dalam waktu singkat rumah sakit kebanjiran pasien Covid-19 hingga kewalahan. Hal ini akan berdampak tidak hanya bagi pasien Covid-19 yang parah, tetapi juga semua orang.
Baca juga: Mengapa Angka Kematian Covid-19 Berbeda-beda di Tiap Negara
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), gejala umum dari Covid-19 yang muncul ”gangguan pernapasan, demam, batuk, dan sesak napas”. Setiap gejala itu bisa muncul dengan parah atau ringan bergantung pada kasusnya. Perkembangan gejala pun berfluktuasi.
Gejala lain yang juga muncul adalah hilangnya kemampuan mencium dan merasa. Berdasarkan studi terbaru di Belgia terhadap 417 pasien yang ”tidak parah”, 86 persen di antara mereka memiliki masalah dengan penciuman, mereka tak lagi bisa mencium apa pun. Selain itu, 88 persen pasien mengalami gangguan rasa.
Gejala-gejala itu biasanya muncul selama dua minggu, bisa juga kurang. Bagi sebagian orang gejalanya bisa parah. ”Pada mayoritas kasus yang parah infeksi SARS-CoV-2 bisa menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut yang parah, gagal ginjal, bahkan kematian,” kata WHO.
Baca juga: WHO: Tak Satu Pun Negara Bebas dari Ancaman Wabah Covid-19
Sejauh ini belum ada obat atau vaksin untuk Covid-19. Terapi yang diberikan kepada pasien berupa terapi suportif untuk mengatasi gejala penyakitnya saja. Meski begitu, sebagian pasien diberi obat antivirus atau obat eksperimental lainnya yang efektivitasnya masih dievaluasi.
Baca juga: Uji Coba Vaksin Pengendali Covid-19 Semakin Banyak
Virus korona baru terutama ditularkan melalui jalur pernapasan dan kontak fisik. Penularan terjadi melalui percikan air liur dari pasien positif yang keluar saat bersin atau batuk. Para ilmuwan memperkirakan agar menular diperlukan kontak yang dekat dengan pasien, sekitar satu meter.
Untuk nenghindari penularan, otoritas kesehatan terus mendorong perlunya langkah-langkah pencegahan mulai dari mencuci tangan secara rutin, menutup bersin atau batuk dengan bagian dalam siku atau kain, menghindari berjabat tangan, hingga tidak berciuman. Direkomendasikan juga untuk memakai masker.
Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa kita bisa tertular dengan menyentuh permukaan benda yang ada virusnya kemudian menyentuh wajah, yakni mata, hidung, atau mulut.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal New England Journal of Medicine (NEJM) memperlihatkan bahwa virus korona baru bisa bertahan hingga tiga hari di atas permukaan plastik atau besi tahan karat dan hingga 24 jam di atas kardus.
Baca juga: WHO Menamakan Penyakit akibat Virus Korona Baru sebagai Covid-19
Meski demikian, durasi itu sebatas teori sebab studi itu dilakukan dalam kondisi eksperimental.
”Hanya diperlukan sedikit virus yang bertahan di permukaan sebuah benda untuk menginfeksi orang yang menyentuhnya,” demikian peringatan otoritas kesehatan Perancis di laman resmi mereka. ”Setelah beberapa jam memang betul bahwa mayoritas virus mati dan mungkin sudah tidak berbahaya lagi.”
Hal lain yang belum diketahui pasti jawabannya adalah apakah virus korona baru bisa disebarkan melalui napas biasa. Ada banyak spekulasi bermunculan soal ini dalam beberapa pekan terakhir, tapi belum satu pun yang memberikan bukti ilmiah yang kuat.
Apakah mungkin setelah tertular virus korona baru, sembuh, dan dites negatif tetapi kemudian bisa tertular lagi kedua kalinya? Beberapa kasus di Asia memunculkan pertanyaan itu.
Baca juga: Informasi Penting yang Perlu Diketahui Seputar Covid-19
Untuk menjawabnya, para pakar yakin bahwa apabila pasien tersebut diisolasi bisa jadi pasien tersebut belum sepenuhnya sembuh, tetapi sudah dipulangkan dari rumah sakit. Hasil tes negatif pada pasien positif yang dirawat bisa berarti dua hal, tes tersebut substandar atau saat itu virus dalam tubuhnya sangat lemah.
Belum ada kepastian kekebalan tubuh seperti apa yang dibutuhkan untuk melawan virus korona baru. Berdasarkan contoh pada penyakit akibat virus lainnya, para ahli yakin bahwa sekalinya sembuh, orang tersebut akan imun untuk sementara. Tapi asumsi ini pun belum terbukti.
Baca juga: Plasma Darah Pasien Sembuh untuk Mengobati Penderita Covid-19
Pertanyaan yang krusial lainnya adalah belum diketahui berapa lama imunitas terhadap virus korona bertahan di dalam tubuh pasien yang sembuh.
”Secara teori, seseorang bisa memiliki kekebalan tubuh dalam jangka waktu yang lama, misalnya 12-24 bulan, sejak sembuh. Orang itu pun bisa kembali ke tengah-tengah masyarakat meski virusnya terus bersirkulasi,” kata Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington.
”Sebaliknya, jika kekebalan tubuh tidak bertahan lama, orang yang pernah terinfeksi bisa terinfeksi kembali.”
Seiring waktu, pengetahuan tentang Covid-19 dan virus penyebabnya masih akan terus bermunculan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengikuti setiap perkembangannya dengan merujuk pada sumber-sumber tepercaya.(AFP)