Mahasiswa perantau yang kesulitan memenuhi kebutuhan makannya selama pandemi Covid-19 jumlahnya bisa ribuan.
Oleh
Joice Tauris Santi
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 sungguh memengaruhi hajat hidup orang banyak, termasuk mahasiswa perantau. Sebagian dari mereka sudah merasakan kesulitan akibat pandemi, bahkan sekadar untuk mendapatkan cukup makanan.
”Stok beras kami tinggal 1 kilogram lagi. Hanya cukup untuk dua kali makan untuk lima orang di kos-kosan. Supaya cukup, makannya sehari satu kali saja,” ujar Jamaludin, mahasiswa perantau dari Madura di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta, Jumat (3/4/2020), di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Untuk teman makan nasi, Jamaludin memetik sayur-mayur, seperti cabai dan sawi, yang ditanam di halaman rumah indekosnya.
Ia mengatakan, dampak Covid-19 sangat berat untuk mahasiswa perantau seperti dirinya. Sebelum pandemi melanda, ia masih bisa dapat uang dari menulis artikel di media lokal atau jadi panitia seminar. ”Sekarang seminar tidak ada dan tulisan tidak dimuat.... Kalau begini terus, kami mungkin tidak mati karena korona, tapi kelaparan,” katanya.
Situasi serupa dihadapi Irham Majid, mahasiswa pendidikan teknik otomotif, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Padang asal Palembang. Ia mengaku uangnya menipis sehingga mulai kesulitan memenuhi kebutuhan harian, seperti membeli makanan, obat-obatan, kertas, atau paket kuota internet untuk kuliah daring.
”(Sebelum pandemi), di sela-sela kuliah, saya juga menyambi sebagai entertainer. Sekarang tidak ada lagi pemasukan karena semua permintaan kerja batal,” kata Irham, Senin (6/4/2020).
Di Yogyakarta, Rafli Ryan Maulana (21), mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), bersama lima teman satu kontrakannya di Condong Catur, Sleman, hanya bisa makan nasi dan sepotong tempe setiap hari. Ia tak bisa mendapatkan makanan lain karena banyak warung makan di sekitar tempat tinggal mereka tutup setelah warga menerapkan pembatasan wilayah.
Setelah kurang lebih satu minggu makan susah, akhirnya ada yang dengerin suara perut anak-anak kontrakan....
Beruntung ia mendapat bantuan dari kampus. Rasa syukurnya ia tuliskan di status akun Twitter @disinfectionist: ”setelah kurang lebih satu minggu makan susah, akhirnya ada yang dengerin suara perut anak-anak kontrakan....”
Di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dalam kondisi normal saja ada lebih dari 1.500 mahasiswa tidak mampu. Sebanyak 250 orang di antaranya tinggal di asrama kampus. Mereka, antara lain, berasal dari Kabupaten Mappi, Timika, Sorong, Nias, dan Mentawai. Sisanya tinggal tersebar di indekos atau kontrakan.
Mereka kuliah dengan bantuan beasiswa dari pemerintah daerah atau keuskupan. Untuk hidup, mereka mengandalkan uang saku Rp 300.000-Rp 600.000 per bulan. Sejak pandemi Covid-19, biaya hidup melonjak hingga tiga kali lipat. Akibatnya, mereka makin kesulitan membeli makanan dan kuota internet.
Di Bandung, Asep Supriyatna, mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Masyarakat Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, juga kebingungan. Isi dompetnya makin terkuras, sementara pemasukan Rp 20.000-an sehari dari jualan keliling terhenti sejak wabah melanda. Padahal, keuntungan itu dipakai untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya.
Arinal Haq Akbar Saleh, biasa disapa Rinal, mahasiswa semester 2 Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, masih lebih beruntung. Kiriman uang dari orangtua masih lancar. Namun, mahasiswa asal Padang ini mulai sulit mendapatkan makanan karena warung-warung di kantin asrama kampus mulai tutup.
Mahasiswa perantau yang ”terjebak” di asrama atau indekos dan mulai kehabisan uang ini diperkirakan jumlahnya ribuan. Di UIN Jakarta saja, hingga 4 April lalu tercatat 1.066 mahasiswa yang mendaftarkan diri untuk mendapat bantuan makanan gratis.
Sementara itu, hingga 2 April lalu, di UI ada 130 mahasiswa memperoleh bantuan makanan. Di UGM ada 900 mahasiswa, di Universitas Negeri Yogyakarta ada 200 mahasiswa, dan di Sanata Dharma ada 1.500 mahasiswa yang mendapat bantuan.
Solidaritas
Banyaknya mahasiswa perantau yang kesulitan memicu gelombang solidaritas di kalangan dosen, alumni, dan masyarakat umum. Amelia Fauzia, Ketua Social Trust Fund UIN Jakarta, mengatakan, para dosen UIN dan donatur menggalang dana untuk bantuan makanan siap santap bagi 1.066 mahasiswa. Program berjalan pada 30 Maret-4 April dan dilanjutkan 6 April-10 April. Jika donasi bertambah, program akan diteruskan.
”Saya kaget ternyata peminatnya banyak sekali. Kalau pendaftaran tidak ditutup, jumlahnya mesti bertambah,” katanya.
Hal yang sama dilakukan Universitas Sanata Dharma. Wakil Rektor IV Universitas Sanata Dharma Ouda Teda Ena mengatakan, pihaknya memberikan bantuan makan tiga kali sehari atau bahan makanan untuk 1.500 mahasiswa yang tinggal di dalam asrama atau kontrakan. Namun, bantuan untuk mahasiswa di luar asrama makin sulit disalurkan karena akses juga ditutup dan warung-warung tutup.
Rektor Universitas Negeri Padang Ganefri mengatakan, universitas menyediakan bantuan 1.000 paket bahan pokok bagi mahasiswa yang sangat membutuhkan. Sementara di UI, bantuan makanan digalang, antara lain, oleh sejumlah kelompok alumni UI. ”Begitu mendengar mahasiswa asrama kesulitan makanan, kami mengirimkan makanan untuk 140 mahasiswa dan 30 petugas keamanan selama lima hari berturut-turut,” ujar Naila Firdausi, Wakil Ketua Panitia Reuni 25 Tahun FE UI Angkatan 1995.
Pandemi Covid-19 membuka mata kita bahwa banyak mahasiswa di Indonesia yang rentan terseret pada situasi krisis. Namun, banyak juga dermawan yang siap membantu. (BSW/TRI/JOL/DNA/ELN)