Pasokan Bahan Baku Obat dan Alat Pelindung Diri Terkendala
›
Pasokan Bahan Baku Obat dan...
Iklan
Pasokan Bahan Baku Obat dan Alat Pelindung Diri Terkendala
Di tengah meningkatnya kasus Covid-19, pasokan bahan baku produksi obat dan alat kesehatan terbatas. Karena itu pemerintah diminta berkomunikasi antarpemerintah demi mempermudah mendapat bahan baku dari negara produsen.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19. Meski begitu, jika kebutuhan terus melonjak, ketersediaan tersebut bisa terkendala karena sebagian besar bahan baku diimpor.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Engko Sosialine Magdalene menyampaikan, pemerintah telah menjalankan sejumlah strategi agar pemenuhan obat dan alat kesehatan untuk mendukung penanganan pasien Covid-19 tetap terjaga
Beberapa strategi itu meliputi antara lain menutup ekspor produk alat pelindung diri, masker, dan hand sanitizer. Pemerintah juga mendorong industri masker dalam negeri untuk meningkatkan produksinya.
“Pada periode Februari 2020 sampai 4 April 2020 tercata ada peningkatan jumlah industri masker, APD (alat pelindung diri), dan hand sanitizer (cairan pembersih tangan)," tuturnya saat menyampaikan paparan dalam rapat dengar pendapat tanpa tatap muka bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, di Jakarta, Rabu (8/4/2020).
" Industri masker bertambah 77 persen dari sebelumnya 22 perusahaan menjadi 39 perusahaan. Sementara peningkatan pada industri APD meningkat dari 3 industri menjadi 20 industri dan industri hand sanitizer 36 industri menjadi 103 industri,” ujarnya.
Namun sejumlah kendala dihadapi dalam pengadaan alat kesehatan. Kendala itu meliputi antara lain, keterbatasan bahan baku masker yang hingga kini masih harus diimpor, hanya ada satu perusahaan masker N95 di Indonesia serta masih ada upaya ekspor alat kesehatan untuk penanganan Covid-19.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Dorojatun Sanusi menuturkan, pengadaan obat untuk pasien Covid-19 juga terus diupayakan industri terkait. Produksi klorokuin yang disebutkan bisa jadi obat bagi pasien Covid-19 juga ditingkatkan. Indonesia memiliki banyak produsen klorokuin.
Meski begitu, bahan baku dari obat ini sekarang sulit didapatkan. India yang menjadi pemasok bahan baku klorokuin telah memberlakukan larangan ekspor. Selain itu, izin ekpor dari China juga belum diperoleh.
“Kami mengusulkan agar pemerintah segera melakukan komunikasi antarpemerintah dengan dua negara itu. Ini mendesak dilakukan agar produksi obat bisa segera dilaksanakan mengingat kebutuhannya meningkat,” kata Dorojatun.
Kapasitas produksi
Menurut dia, kapasitas produksi klorokuin di Indonesia saat ini sebesar 50-60 persen. Jika bisa dioptimalkan dengan penyediaan bahan baku, produksinya bisa mencapai tiga juta tablet sehingga bisa didistribusikan tidak terbatas di rumah sakit saja tetapi juga disalurkan di dokter praktik.
Kami mengusulkan agar pemerintah segera melakukan komunikasi antarpemerintah dengan dua negara itu.
Hal serupa disampaikan Ketua Umum Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Ade Tarya Hidayat. Bantuan pemerintah untuk penyediaan bahan baku ini dibutuhkan karena harga bahan baku meningkat signifikan. Bahan baku alat kesehatan dari sebelumnya sekitar 2,6 dollar AS per kilogram menjadi lebih dari 80 dollar AS per kilogram.
Untuk memenuhi kebutuhan pasar, sejumlah produsen menambah shift kerja dari pegawai serta memodifikasi alur produksi dan mesin sehingga kapasitas produksi bisa meningkat. "Jumlah bahan baku semakin terbatas. China dan Taiwan memberlakukan kebijakan larangan ekspor akibat kebutuhan domestik yang besar. Tanpa komunikasi antarpemerintah, masalah ini sulit diselesaikan," ucapnya.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy H Teguh menambahkan, kebijakan relaksasi jalur pengadaan dari pemerintah untuk impor bahan baku alat kasehatan dinilai menjadi strategi tepat. Namun, pembukaan jalur pengadaan baru belum mengikutsertakan pengusaha alat kesehatan dan laboratorium.
“Pengadaan produk tanpa melibatkan pengusaha bisa tidak sesuai karena tidak melihat aspek mutu, keamanan, dan manfaat yang biasa digunakan di industri. Selain itu, kendala saat ini adalah arus kas dan depresiasi rupiah yang menjadi 20 persen dalam satu bulan ini,” tuturnya.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Syailndra mengungkapkan, pemerintah telah menetapkan regulasi dan deregulasi beberapa kebijakan strategis seperti kebijakan ekspor impor untuk pengamanan alkes. Peraturan Menteri Perdagangan nomor 34/2020 telah melarang sementara ekspor alat kesehatan, antiseptik, dan APD.
“Kemendag juga sedang membahas dengan Presiden untuk menyusun Peraturan Presiden tentang Penataan dan Penyederhanaan Perizinan Impor. Ini diharapkan mempermudah dan mempercepat pemenuhan bahan baku yang dibutuhkan untuk produksi alkes di Indonesia,” ucapnya.