Di tengah pandemi Covid-19, wajah manusia berhati dan tak berhati terpotret dalam ekonomi. Namun, setidaknya, para penyintas ekonomi dan ekonomi berbagi terus menopang geliat ekonomi agar tidak jatuh lebih dalam lagi.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 melahirkan generasi penyintas ekonomi dan gerakan-gerakan ekonomi berbagi. Di tengah terpuruknya ekonomi akibat pandemi, masyarakat kelas menengah bawah bertahan hidup demi sesuap nasi.
Para pekerja informal, seperti pengojek daring, masih melayani pesan-antar makanan dan belanjaan. Mereka berjibaku menunggu dan mengantar pesanan, mengambil risiko, agar dapur tetap mengepul. Di Batam, Kepulauan Riau, Akhirul Sofyan (36), pengojek daring, bahkan sampai melindungi makanan pesanan pelanggan dari semprotan disinfektan.
Para pedagang bahan kebutuhan pokok, sayur, dan buah-buahan di sejumlah daerah juga berupaya menjaga kantong hidupnya tetap terisi. Sebagian dari mereka melayani pesan-antar barang kebutuhan itu tanpa aplikasi. Cukup dengan menuliskan pesan singkat melalui Whatsapp atau SMS.
Pelaku industri rumah tangga konveksi dan pakaian juga menyambung hidup mereka dengan membuat masker kain. Mereka mendapat inspirasi dari akun Twitter Ismail Fahmi dalam sebuah utasan tentang mengatasi kelangkaan masker.
Dalam utasannya, Ismail mengajak ibu rumah tangga yang suka menjahit atau penjahit untuk bergerak membuat masker sendiri berdasarkan penelitian dari Cambridge University. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi daftar tukang jahit untuk #100JutaMaskerChallenge nonmedis
Ada juga yang membuat kampanye masker kain untuk mereka yang tidak bisa #dirumahaja. Didi Ary (32), warga Teluk Betung Utara, Lampung, memproduksi masker dari sisa kain jahitan (perca) pilihan dan melapisinya dengan penyaring untuk dibagikan kepada pengojek daring, pedagang, buruh pergudangan, dan petugas kebersihan. Para pekerja informal itu setidaknya bisa terlindungi dengan masker kain di tengah mahalnya dan sulitnya mendapatkan masker medis.
Di Bekasi, Jawa Barat, pedagang kaki lima memberikan makanan gratis bagi pengojek daring. Mereka rela berbagi dengan orang lain meskipun penghasilan turun dan membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Mereka adalah para penyintas ekonomi di tengah merebaknya pandemi Covid-19. Bahkan, mereka tak sekadar menjadi penyintas, tetapi pemberi hidup bagi para pelaku ekonomi lain yang ingin menyambung hidup dengan tetap bekerja. Merekalah juga yang setidaknya memberikan ”napas” bagi para konsumen dan ekonomi nasional yang tengah terpuruk.
Gerakan-gerakan kemanusiaan melalui teknologi digital di tengah pandemi itu memperluas konsep berbagi. Gerakan ini memadukan model bisnis sosial-ekonomi dengan memanfaatkan teknologi daring.
Di tengah pandemi, ekonomi berbagi menjadi gerakan sosial kemanusiaan berbasis teknologi tanpa memedulikan keuntungan. Ekonomi berbagi menjadi bagian dari keberlangungan hidup manusia (survival of humanity), antara yang bertahan hidup dan yang memberi hidup.
Ekonomi berbagi menjadi bagian dari keberlangungan hidup manusia (survival of humanity), antara yang bertahan hidup dan yang memberi hidup.
Para pengembang aplikasi menyadari hal ini. Salah satunya yang bergerak di sektor transportasi daring. Mereka menambah konten dalam aplikasi itu, seperti meningkatkan jumlah tip bagi pengendara, traktir pengendara, bahkan hingga penggalangan dana kemanusiaan.
Di sisi lain, di tengah ancaman gelombang besar merumahkan dan pemutusan hubungan kerja pekerja, sejumlah industri masih ada yang mempertahankan pekerja, mengatur sif kerja, dan memberikan tunjangan hari raya. Padahal, arus kas mereka tengah ”cedera”. Ini terjadi di sektor-sektor yang benar-benar terpukul imbas Covid-19, antara lain manufaktur, pariwisata, dan transportasi.
Sayangnya, masih ada manusia-manusia yang masih menghidupi budaya rakus di tengah kondisi saat ini. Aksi ambil untung besar terjadi. Pada saat banyak manusia lain yang membutuhkan pangan dan alat pelindung diri, masih ada yang menimbunnya.
Sayangnya, masih ada manusia-manusia yang masih menghidupi budaya rakus di tengah kondisi saat ini. Aksi ambil untung besar terjadi.
Bahkan, ada yang menjualnya dengan harga sangat mahal, berkali-kali lipat dari harga normal. Masker 3M seri N95, misalnya, ada yang menjual seharga Rp 2,5 juta per kotak isi 20 helai. Padahal, harga normalnya sekitar Rp 200.000 per kotak.
Dalam kondisi yang tidak wajar ini, wajah manusia berhati dan tak berhati terpotret juga dalam ekonomi. Namun, setidaknya, para penyintas ekonomi dan ekonomi berbagi terus menopang pergerakan ekonomi agar tidak jatuh lebih dalam lagi.
Masih ada sepercik geliat ekonomi dan kemanusiaan yang menumbuhkan harapan bagi semua orang. Sepercik terang yang perlu dijaga agar tak meredup, namun semakin menyala.