Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis mengatakan, penegakan hukum yang dilakukan kepolisian tidak dapat memuaskan semua orang. Karena itu, Idham mempersilakan tersangka kasus penghinaan Presiden mengajukan praperadilan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegakan hukum bagi penghina Presiden dalam surat telegram yang diterbitkan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah sesuai koridor hukum. Karena itu, Kepala Polri menyarankan agar tersangka menempuh praperadilan.
Dalam Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 disebutkan beberapa bentuk pelanggaran atau kejahatan yang mungkin terjadi dalam perkembangan situasi serta opini di ruang siber di tengah pandemi Covid-19. Salah satunya adalah penghinaan kepada penguasa atau presiden dan pejabat pemerintah. Surat telegram tersebut mendapat banyak kritik dari kalangan masyarakat sipil.
Terkait dengan kritik itu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis, Rabu (8/4/2020), di Jakarta, menyatakan, proses penegakan hukum yang dilakukan kepolisian tidak dapat memuaskan semua orang. Oleh karena itu, menurut Idham Azis, ketidakpuasan terhadap tindakan hukum tersebut dapat dilakukan melalui mekanisme praperadilan.
”Pro kontra itu hal yang biasa. Para tersangka juga punya hak untuk mengajukan praperadilan,” ujar Idham, sebagaimana dikutip dalam keterangan tertulis.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra menambahkan, penegakan hukum selama penanganan pandemik Covid-19 merupakan pilihan terakhir atau ultimum remedium. Upaya penegakan hukum juga dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi pelanggar.
Dampak luas
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati berpandangan, meskipun surat telegram tersebut ditujukan bagi internal kepolisian, dampaknya akan berlaku bagi masyarakat luas. Aturan tersebut dinilai akan mendorong penangkapan terhadap masyarakat yang kritis serta berpotensi melanggar lebih lanjut hak atas kebebasan menyampaikan pendapat dan ekspresi.
”Kami khawatir pengenaan pasal ini menjadi tindakan penggunaan hukum pidana yang berlebihan atau over-criminalization,” kata Asfinawati, sebagaimana dikutip dalam keterangan tertulis.
Menurut Asfinawati, aturan mengenai penghinaan terhadap Presiden juga sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi dan diubah jadi delik aduan. Artinya, jika Presiden Joko Widodo tersinggung atau merasa dihina, dia bisa mengadukan secara pribadi ke kepolisian.