Para pekerja belakang layar pentas musik membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka. Ragam topik menjadi ulasan, mulai dari mengatur ”merchandise” sampai teori antropologi.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 membuat banyak pengajaran terpaksa dilakukan melalui dalam jaringan internet alias online. Kuliah dan sekolah sudah dijalani dari rumah sebulan terakhir ini. Namun, tak cuma dosen atau guru yang membagikan ilmunya. Para awak panggung musik pun coba membagikan pengetahuan mereka.
Muhammad Reza Hilmawan (27) adalah gitaris dan vokalis band Torpedoest. Kalau band punk rock dia itu tidak manggung, Reza bisa disambangi di MRH Studio di daerah Pancoran, Jakarta Selatan. Reza adalah pengelola studio tersebut. Di luar studio, dia sering berada di balik meja kontrol audio pada beberapa konser. Band seperti Efek Rumah Kaca dan solois Sisir Tanah pernah menggunakan jasanya sebagai audio engineer kalau mereka manggung.
Pelarangan kerumunan, seperti konser, pada masa penanggulangan wabah ini membuat Reza lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. ”Ngobrol dengan beberapa teman, ada yang menyarankan bikin kelas online. Kebetulan gue juga punya passion ngajar,” katanya melalui sambungan telepon, Selasa (7/4/2020).
Selain main musik dan menukangi produk suara, Reza pun menekuni ilmu antropologi yang ia timba dari Universitas Padjadjaran. Dua bidang itulah yang ia pilih sebagai materi kelas online. Pengumumannya menggunakan platform Instagram Story. Ada 15 ”murid” yang ia jaring dengan biaya sukarela.
Kelas antropologi berlangsung pada Sabtu (28/3/2020). Dengan aplikasi Zoom, Reza menyampaikan materi dasar antropologi, mulai dari sejarah, landasan teori, pengenalan tokoh, hingga penerapan pada bidang lain. ”Gue pakai pendekatan materialisme, dialektika, dan historis gaya Marx,” ujarnya.
Sebagian besar pesertanya adalah mahasiswa berbagai disiplin ilmu lintas kampus. Ada juga pengusaha muda dan pemusik yang baru memulai karier. Ragam latar belakang itu, kata dia, justru membuat diskusi mereka menarik. Kelas itu berlangsung hampir empat jam.
Sementara kelas sound engineering berlangsung pada Minggu keesokan harinya. Di kelas virtual ini, Reza memaparkan hakikat bunyi, penggunaan musik, dan bagaimana mengolahnya. Dia juga membeberkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memproduksi musik.
”Ada bagian tentang konsep bunyi dalam musik dan juga penerapannya dalam produksi musik di studio. Misalnya, soal bagaimana menempatkan suara drum atau gitar dalam lagu dan bagaimana gaya memainkan instrumen memengaruhi bunyi,” katanya. Kelas audio ini juga diampu oleh kawannya, Rizki Wahyudi.
Gue masih punya akses untuk air bersih dan makan. Enggak semua orang punya itu.
Para ”murid” asuhan Reza dan Rizki membayar uang serelanya untuk ikut kelas virtual itu. Dana yang terkumpul Rp 2 juta. Alih-alih menggunakan uang itu sendiri, mereka justru menyumbangkannya kepada orang yang penghasilannya terdampak karantina melalui Yayasan Gusdurian. ”Gue masih punya akses untuk air bersih dan makan. Enggak semua orang punya itu,” ujarnya.
Bagi pengalaman
Berbagi ilmu juga dilakukan oleh para tim produksi band Feast (alias .Feast), yang menyebut dirinya Aktifeast. Mereka adalah orang-orang di belakang layar di setiap kegiatan yang dilakukan Baskara Putra dan kawan-kawan. Pada Kamis (26/3/2020) hingga Rabu, mereka membikin program bernama ”7 Hari Bersama Aktifeast”. Mereka menyiarkannya melalui Instagram Story Aktifeast.
Setiap bidang menceritakan tugas dan pengalamannya pada hari tertentu. Di hari pertama, misalnya, Utha yang bertanggung jawab atas produksi suara panggung Feast, tampil dalam topik Peluang Kerja di Bidang Live Production. Rigaskara, road manager band, menceritakan pentingnya peran dia, Minggu (29/3/2020).
Setiap pembicara didampingi pemandu yang juga anggota Aktifeast. Ketika Rigaskara menjadi pembicara, misalnya, pemandunya adalah Ammar, yang jadi pembicara di topik seluk-beluk tim produksi pada hari lain. Setiap sesi disaksikan sekitar 100 orang, yang juga bisa ikutan melontarkan pertanyaan.
Topik lain yang dibahas dalam program ini adalah kiat menjadi manajer band, suka-duka menjadi fotografer panggung, dan hal teknis penggunaan backing track. Topik yang paling banyak penontonnya adalah penjualan pernak-pernik (merchandise) band. Topik itu menampilkan juga Bodat, si pemain drum Feast, yang memang mengurusi merchandise.
Program berbagi pengalaman itu dibuat Aktifeast sebagai pengisi kegiatan di sela-sela sepinya job manggung. ”Band, kan, libur. Kami cari ide seru untuk mengisi konten,” kata Rigaskara (24) ketika dihubungi pada Selasa (7/4/2020). Topik yang diusung juga dianggap bermanfaat bagi pendengar Feast, yang selama ini mungkin hanya tahu aksi panggungnya belaka.
”Selama ini banyak penggemar band yang tanya bagaimana cara bergabung di Aktifeast. Mereka ini kebanyakan remaja, ya. Jadi, siapa tahu cerita-cerita kami itu menjadi gambaran awal kalau mereka memang mau serius terjun di industri musik,” kata Riga.