Terjebak Pandemi, Mahasiswa Perantauan Akan Datangi Presiden di Istana
›
Terjebak Pandemi, Mahasiswa...
Iklan
Terjebak Pandemi, Mahasiswa Perantauan Akan Datangi Presiden di Istana
Di tengah pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, banyak mahasiswa perantauan terlantar di kos-kosan. Mereka tertahan tak bisa pulang kampung, sementara persediaan makanan dan uang kian menipis.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Mahasiswa Perantau meminta pemerintah pusat, terutama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, memperhatikan nasib mereka. Semenjak adanya pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran virus korona baru, mereka hanya bisa tinggal di kos-kosan, sementara tabungan dan stok makanan terus menipis.
Beberapa mahasiswa perantauan terutama dari Indonesia bagian timur mengaku tidak berdaya menghadapi dampak pandemi Covid-19. Bagi mahasiswa yang orangtuanya mampu, mereka mendapat kiriman dana atau bisa pulang ke kampung halaman. Akan tetapi, bagi yang tidak mampu, mereka harus menyiasati kondisi dengan berbagai cara, seperti mengurangi makan setiap hari atau mendatangi sekretariat paguyuban mahasiswa perantau serta organisasi kemahasiswaan.
Namun, setelah hampir tiga pekan bertahan, mereka mulai kehabisan uang tabungan dan bahan makanan. Karena situasi ini, sejumlah mahasiswa perantau mengancam akan keluar rumah atau kos-kosan dan mendatangi Istana untuk meminta Presiden memperhatikan nasib mereka. Mereka khawatir, kebijakan pembatasan fisik dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang segera diterapkan Pemprov DKI Jakarta semakin menyulitkan mereka.
”Kami akan datang ke Istana untuk meminta hak dasar hidup dan keselamatan kami. Bukan dalam rangka ujuk rasa atau demonstrasi, tapi supaya kami mampu bertahan hidup,” ujar Koordinator Persatuan Mahasiswa Perantau (PMP) Senanatha, Rabu (8/4/2020), di Jakarta.
Senanatha, mahasiswa asal Sukabumi, Jawa Barat, yang kuliah di Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta, meminta pemerintah tidak melupakan nasib para mahasiswa perantau di kota Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya.
Selain harus membeli kuota internet untuk kuliah daring, mereka juga membutuhkan makanan untuk bertahan selama masa pembatasan sosial diberlakukan.
Kebijakan untuk kuliah daring dari rumah atau kos-kosan membuat mahasiswa perantau keteteran. Pasalnya, selain harus membeli kuota internet untuk kuliah daring, mereka juga membutuhkan makanan untuk bertahan selama masa pembatasan sosial diberlakukan. Padahal, banyak di antara mahasiswa berasal dari luar Jawa, bahkan dari daerah terpencil.
”Kondisi kami sama sekali tidak ada yang melirik. Padahal, kami dalam situasi susah. Ada yang pengiriman uang dari orangtua terhambat karena kondisi pekerjaan orangtuanya di daerah juga terganggu. Sementara mahasiswa yang tinggal di Jakarta, misalnya, dilarang ke mana-mana. Kami minta pemerintah memperhitungkan kami,” ujar Senanatha.
Ia mencontohkan beberapa mahasiswa perantau yang saat ini hanya bisa makan satu kali, bahkan terkadang tidak makan karena uang saku berkurang atau habis membeli kuota agar bisa mengakses internet, juga untuk membayar kos, dan sebagainya.
”Sementara kami diimbau atau dilarang mudik. Lalu, jika pemerintah tidak mau memperhatikan kami mahasiswa perantau, ke mana kami harus mengadu dan mencurahkan isi hati ini,” tambahnya.
Senanatha mengatakan menerima keluhan dari mahasiswa perantau dari Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan lain-lain. ”Bersama saya ada mahasiswa asal Lampung, Banyuwangi, dan daerah lain,” papar Senanatha.
Kiriman sagu dari Maluku
Yana Mustika (29) dari Fakultas Ekonomi Pascasarjana Trisakti, asal Tidore, Maluku Utara, mengungkapkan, semenjak tiga minggu lalu dirinya tidak pernah keluar dari rumah kontrakan. Yana baru menikah pada Februari 2020 lalu dan tinggal bersama suaminya yang berasal dari Kepulauan Kei, Maluku. Suaminya sekarang sedang mengambil program Pascasarjana Antropologi di Universitas Indonesia.
”Kami kuliah dengan biaya sendiri sehingga dalam situasi seperti ini apalagi kalau PSBB, kami benar-benar tidak bisa apa-apa. Mau pulang kampung ongkos terbatas, sementara tetap tinggal di Jakarta untuk makan sehari-hari saja sangat sulit. Untung dapat kiriman sagu dari orangtua,” papar Yana.
Beberapa waku lalu, untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, menurut Yana, sejumlah mahasiswa perantau mendatangi sekretariat organisasi kemahasiswaan atau sekretariat payuban mahasiswa perantau. Beberapa waktu lalu di Sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam sempat ada pembagian beras dan paket sembako lain sehingga mereka bisa bertahan.
”Tapi, sekarang kami enggak bisa lagi ke sekretariat. Saya sudah diam di kontrakan sejak 16 Maret. Sudah tiga minggu di rumah mulai depresi. Uang di tabungan tidak sampai Rp 100.000. Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tolong perhatikan kami,” ujarnya.
Menurut Yana, sebenarnya Kemdikbud bisa membantu para mahasiswa khususnya untuk mengurangi beban membeli kuota internet dengan cara membagikan paket kuota internet sesuai kebutuhan mahasiswa.
”Supaya tepat sasaran, bisa difasilitasi organisasi kemahasiswaan atau paguyuban. Karena kalau dibiarkan, kami semakin susah. Jangankan beli kuota, untuk membeli makanan saja sudah susah,” tambah Yana.