Rantai alat kesehatan dunia terganggu akibat semua negara berebut alat kesehatan terutama alat bantu pernapasan atau ventilator untuk pasien Covid-19. Butuh inovasi dalam negeri untuk mengatasi kekurangan ventilator.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·5 menit baca
Penyebaran Covid-19 yang sangat cepat ke seluruh dunia membuat semua negara berlomba mendapatkan alat kesehatan untuk mencegah penularan dan mengobati pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2. Dampaknya, rantai alat kesehatan dunia terganggu dan menjadi sangat kompetitif akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pasokan yang tersedia.
Salah satu alat kesehatan yang paling diincar banyak negara saat ini adalah ventilator, alat bantu pernapasan bagi pasien yang mengalami gangguan pernapasan atau gagal napas. Bantuan napas itu dilakukan dengan memasukkan oksigen ke sistem pernapasan pasien dan mengeluarkan karbon dioksida sebagai hasil metabolisme tubuh. Kekurangan oksigen bisa memicu kerusakan sel dan organ, seperti otak, jantung, dan ginjal.
Pasien Covid-19, baik yang sudah dinyatakan positif korona maupun pasien dalam pengawasan (PDP), umumnya mengalami gangguan pernapasan hingga membutuhkan ventilator. Namun, jumlah ventilator yang ada sangat terbatas.
Per Maret 2020, Indonesia hanya memiliki 8.413 ventilator yang tersebar di 2.867 rumah sakit se- Indonesia dan sebagian besar terkumpul di Jawa. Padahal, jumlah mereka yang positif korona dan PDP terus meningkat serta semakin luas. Mereka yang masuk kelompok orang dalam pengawasan (ODP) juga terus bertambah, sedangkan yang baru dan akan menjalani proses uji Covid-19 juga akan terus meningkat.
Kondisi itu mendorong Syarief Hidayat, Pembina Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB, berinisiatif membuat ventilator dengan bahan peralatan sederhana.
Pembuatan alat itu dilakukan oleh tim yang melibatkan pegiat Masjid Salman serta sejumlah dosen dan mahasiswa ITB. Untuk menunjang aspek medisnya, tim juga melibatkan ahli dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.
Meski tidak ada pengalaman membuat ventilator sebelumnya dan proses studi yang singkat, purwarupa ventilator tersebut akhirnya bisa diwujudkan. Ventilator darurat itu dinamai VentI atau Ventilator Portabel Indonesia.
”VentI mungkin belum sempurna, tetapi ini bisa digunakan untuk kondisi darurat (di tengah keterbatasan alat medis standar) guna menyelamatkan pasien Covid-19 agar kondisinya tidak memburuk,” kata Syarif dihubungi dari Jakarta, Minggu (5/4/2020).
VentI dirancang sebagai ventilator non-invasif dengan model continuous positive airway pressure (CPAP). Ventilator ini diperuntukkan bagi pasien yang masih sadar dan bisa bernapas secara spontan tetapi sudah mulai mengalami gangguan oksigenasi ke dalam tubuhnya meski belum membutuhkan perawatan intensif di unit perawatan intensif (ICU)
”VentI membantu memberikan tekanan positif yang kontinu atau terus-menerus ke sistem pernapasan pasien,” ujar dokter spesialis anestesi (SpAn) konsultan intensive care (KIC) yang ditugaskan FK Unpad membantu pembuatan VentI, Ike Sri Redjeki.
VentI mungkin belum sempurna, tetapi ini bisa digunakan untuk kondisi darurat (di tengah keterbatasan alat medis standar) guna menyelamatkan pasien Covid-19 agar kondisinya tidak memburuk.
Pasien Covid-19 umumnya mengalami peradangan paru hingga membuat pengembangan alveolus (kantung udara) di paru-paru terganggu. Saat selesai mengembuskan napas, alveolus pasien tak bisa mengembang lagi. Tidak mengembangnya alveolus itu membuat pertukaran udara di paru-paru tidak terjadi.
Kegagalan alveolus mengembang itu bisa dicegah dengan menggunakan ventilator CPAP. Karena itu, tekanan positif di paru-paru pasien perlu terus dijaga sehingga alveolus tetap mengembang hingga pernapasan pasien membaik dengan indikasi menurunnya laju napas dan membaiknya sejumlah parameter oksigenasi pasien. Jika kondisi pasien justru menurun, dia membutuhkan ventilator invasif di ruang ICU.
”Pengalaman sejawat di China menunjukkan model ventilator CPAP banyak menolong pasien,” tambahnya.
Sifatnya yang non-invasif membuat bantuan napas pada VentI diberikan melalui sungkup muka (mask), tanpa perlu memasang pipa ke tenggorokan pasien. Karena tak perlu memasang pipa ke tenggorokan, pemasangan VentI bisa dilakukan oleh dokter spesialis lain dengan panduan operasional alat yang sedang disiapkan tim.
Kondisi itu berbeda dengan ventilator invasif yang biasa digunakan di ruang ICU. Ventilator ini membutuhkan pemasangan pipa ke tenggorokan sehingga hanya boleh dilakukan oleh dokter spesialis anestesi dan konsultan intensive care terlatih. Penggunaan ventilator invasif ini membutuhkan pengaturan alat yang akurat sesuai kondisi paru-paru setiap pasien karena kesalahan pengaturan ventilator bisa membahayakan kondisi pasien bahkan menyebabkan kematian.
Namun, penggunaan sungkup muka pada VentI ini berisiko menimbulkan lecet di wajah pasien akibat penggunaan dalam waktu lama.
Syarif menambahkan, VentI dibuat dari bahan sederhana nonmedis yang banyak digunakan industri dan masyarakat. Kriteria itu dipilih karena mendapat bahan konvensional medis saat ini pasti sulit. Namun, ia enggan menjelaskan bahan sederhana itu karena khawatir diburu spekulan hingga akan sulit dicari ketika nanti dibutuhkan.
”Meski dari bahan sederhana, bahan tetap harus memenuhi standar medis, tidak membahayakan manusia, dan sedapat mungkin diperoleh di lingkungan industri” katanya. Dengan demikian, pembuatan ventilator itu bisa dilakukan lebih cepat dan murah karena berkejaran dengan terus meningkatnya pasien Covid-19.
Saat ini, VentI dalam proses uji di Balai Pengaman Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan. Targetnya, izin edar alat bisa keluar akhir pekan depan. Kemudian, lebih dari 30 orang pegiat Masjid Salman beserta dosen-mahasiswa ITB yang dikarantina di lingkungan Masjid Salam akan memproduksinya. Menurut rencana, sejumlah siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) di Jawa Barat juga akan dilibatkan sesuai tawaran Dinas Pendidikan Jawa Barat.
Tim akan memproduksi 100 VentI dalam waktu 10 hari saja. Setelah itu, produksi VentI akan diserahkan ke industri. Saat ini, sejumlah badan usaha milik negara, perusahaan swasta, dan usaha kecil menengah sudah menyatakan minatnya untuk memproduksi VentI. Waktu 10 hari juga diyakini cukup bagi industri untuk mempersiapkan proses produksi VentI.
Untuk itu, selain menyelesaikan dan menyempurnakan VentI, saat ini tim juga sedang menyiapkan proses industrialisasinya, seperti menyiapkan gambar teknik yang bisa dipakai oleh industri. ”Kalau mau VentI jadi, maka tidak cukup hanya membuat purwarupanya saja, proses industrialisasinya juga harus disiapkan,” katanya.