China Keluarkan Aturan Baru untuk Pasien Positif Tanpa Gejala
›
China Keluarkan Aturan Baru...
Iklan
China Keluarkan Aturan Baru untuk Pasien Positif Tanpa Gejala
Kasus Covid-19 positif tanpa gejala dan kasus impor kini menjadi sorotan di beberapa negara, terutama China. Tanpa penanganan yang baik, dua tipe kasus itu berpotensi membawa gelombang baru infeksi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
BEIJING, KAMIS — Dewan negara atau kabinet China mengeluarkan peraturan baru dalam menangani pasien positif tanpa gejala untuk mencegah ”pembawa virus dalam senyap” ini memicu gelombang baru infeksi, Rabu (8/4/2020).
Dengan aturan baru itu, fasilitas kesehatan harus melaporkan kasus tanpa gejala dalam dua jam sejak ditemukan. Pemerintah daerah kemudian harus mengidentifikasi kontak dekat pasien itu dalam 24 jam. Mereka yang pernah kontak dengan pasien itu pun harus menjalani karantina selama 14 hari.
Pasien tanpa gejala lalu harus menjalani karantina selama 14 hari dan akan dihitung sebagai kasus positif bilamana menunjukkan gejala.
Selain itu, awal pekan ini, fungsi baru muncul dalam aplikasi media sosial WeChat yang umum dipakai warga China. Fungsi itu memungkinkan semua orang untuk mengecek apakah mereka pernah naik kereta api atau pesawat dekat dengan pasien tanpa gejala yang telah terdeteksi.
Pada Rabu (8/4/2020), China melaporkan adanya 56 kasus positif Covid-19 tanpa gejala. Sejak 1 April total kasus positif Covid-19 tanpa gejala menjadi 657. Dari total jumlah itu, 57 kasus di antaranya kemudian menimbulkan gejala.
Seorang wanita mengenakan masker wajah merapikan masker yang digunakan anaknya saat mereka tiba di Stasiun Kereta Api Hankou di Wuhan, Rabu (8/4/2020), setelah pemerintah melonggarkan kebijakan pembatasan mobilitas warga. Publik China khawatir seiring dengan mulai dilonggarkannya kebijakan penutupan di banyak kota di China, termasuk Kota Wuhan yang jadi episentrum wabah, gelombang infeksi kedua justru berpotensi muncul dari kasus impor dan kasus positif tanpa gejala. Terlebih selama ini kasus positif tanpa gejala tidak dimasukkan ke dalam data resmi pemerintah.
Menurut Sun Shaohua, badan penerbangan sipil China, setelah kebijakan penutupan wilayah di Wuhan dicabut, 221 penerbangan beroperasi kembali dengan jumlah penumpang keluar Wuhan mencapai 7.119 dan penumpang masuk ke Wuhan sebanyak 4.595 orang. Tiga daerah tujuan utama penerbangan dari Wuhan adalah Chengdu, Haikou, dan Shenzen.
Sebelumnya, untuk pertama kalinya, Rabu (1/4/2020), China melaporkan ada lebih dari 1.300 kasus positif Covid-19 asimptomatik atau tanpa gejala yang berada dalam pengawasan. Sejak itu, China akan melaporkan kasus positif tanpa gejala secara berkala.
Akan tetapi, mengutip sebuah dokumen resmi yang tidak dipublikasikan, South China Morning Post menyebut bahwa jumlah kasus positif tanpa gejala mencapai lebih dari 40.000 kasus.
Kekhawatiran serupa
Hampir serupa dengan China, kekhawatiran jumlah kasus yang dilaporkan tidak menunjukkan realita wabah yang sebenarnya dialami juga oleh Amerika Serikat dan Inggris.
Pada 5 April 2020, The New York Times melaporkan bahwa paramedis di New York menyaksikan banyak warga yang meninggal di rumah yang tidak diperiksa statusnya apakah terinfeksi virus korona baru atau tidak meski mereka memperlihatkan gejala-gejala Covid-19 yang jelas.
Seorang tenaga pemasaran di San Gabriel, California, Julio Ramirez (43), tidak enak badan setelah perjalanan dinas. Ia demam, batuk, dan nyeri di badan. Esok harinya ia merasakan kehilangan kemampuan mencium dan mengecapnya.
Beberapa hari kemudian, istrinya, Julie Murillo, membawa suaminya yang telah lemas menggunakan kursi roda ke klinik. Di sana Ramirez diberi antibiotik, obat batuk, dan dadanya dipindai. Namun, ia tidak diperiksa Covid-19. Seminggu kemudian Ramirez meninggal di tempat tidurnya. ”Sejak awal saya ingin suami saya diperiksa Covid-19,” kata Murillo. ”Mereka bilang tidak usah.”
Ekspresi warga saat petugas medis akan mengambil sampel cairan di hidung saat ia mengikuti tes Covid-19 yang digelar secara drive thru di New York, Amerika Serikat, Senin (6/4/2020). Pada 7 April 2020, CNN melaporkan bahwa terdapat perbedaan jumlah kasus kematian akibat Covid-19 yang sebenarnya terjadi dengan yang dilaporkan. Data di Kantor Statistik Nasional (ONS) menunjukkan ada 1.568 kematian akibat Covid-19 pada periode 5-27 Maret 2020. Sebaliknya, jumlah kematian yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan Inggris di periode yang sama adalah 926 kasus.
Kepala penasihat ilmiah Inggris, Patrick Vallace, mengatakan, ”data ONS melihat kematian secara keseluruhan dari sertifikat kematian termasuk yang menyebutkan Covid-19 di sertifikat itu. Jadi, mereka tidak mengonfirmasi sebab kematian.”
Sementara Inggris menggunakan ”standar pelaporan kematian internasional” yang Vallanece gambarkan sebagai ”kematian terkonfirmasi rumah sakit”.(REUTERS)