Desakan Penghentian Pembahasan RUU Cipta Kerja Menguat
›
Desakan Penghentian Pembahasan...
Iklan
Desakan Penghentian Pembahasan RUU Cipta Kerja Menguat
Desakan agar pembahasan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja di lembaga legislatif dihentikan terus menguat. Rancangan regulasi sapu jagat itu dinilai kurang mempertimbangkan aspek lingkungan.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
Desakan masyarakat sipil agar Dewan Perwakilan Rakyat menghentikan pembahasan omnibus law Rancangan Undang Undang Cipta Kerja menguat. Alasannya, rancangan regulasi sapu jagat itu dinilai melemahkan pengawasan dan penegakan hukum lingkungan, serta sarat kepentingan korporasi yang meningkatkan kesenjangan pemilik modal dengan masyarakat.
Pelemahan tersebut terkait antara lain pengawasan lingkungan hidup yang ditarik seluruhnya ke pusat serta pengerdilan instrumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) hanya sebagai syarat administrasi. Partisipasi publik dalam persetujuan Amdal juga didegradasi dengan menghilangkan mekanisme pengajuan keberatan masyarakat serta penyempitan cakupan partisipasi publik hanya pada masyarakat terdampak langsung.
Doktor hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, I Gusti Made Agung Wardana, Rabu (8/4/2020) diskusi publik “Deteriorasi Perlindungan Lingkungan Hidup dalam Pusaran Omnibus Law RUU Cipta Kerja” secara virtual, menyatakan bila RUU Cipta Kerja tetap dipaksakan merupakan kemunduran bagi Indonesia.
”Di RUU Cipta Kerja, era pembangunan dikembalikan pada era Washington Consessus, di mana pembangunan hanya dimaknai pembangunan ekonomi dan investasi jadi aktor utama,” ungkapnya.
Tinjauan keilmuan
Pada draf RUU Cipta Kerja yang bisa diunduh pada situs resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Amdal diposisikan sebagai dasar uji kelayakan lingkungan. Itu dinilai sebagai penghilangan proses tinjauan keilmuan (scientific review) dan menempatkan Amdal sebagai proses bureaucratic review (tinjauan birokrasi).
Di RUU Cipta Kerja, era pembangunan dikembalikan pada era Washington Consessus, di mana pembangunan hanya dimaknai pembangunan ekonomi dan investasi jadi aktor utama.
Peninjauan keilmuan dan peninjauan birokrasi merupakan proses berbeda. Kajian ilmiah atau scientific review menggunakan metode keilmuan yang ketat, teknis, dan obyektif. “Sementara bureaucratic review itu non-teknis dan administratif. Itu akan melemahkan Amdal dan dibuat asal-asalan karena tidak ada lagi pendekatan scientific. Amdal hanya jadi persyaratan admnistratif belaka,” tuturnya.
Selain itu muatan dalam Amdal berkaitan dengan saran dan masukan masyarakat dipersempit. Tanggapan warga hanya dibuka pada “masyarakat terdampak langsung” serta masukan tersebut harus “relevan”. Kata "relevan" itu dinilai bias dan membuka multitafsir yang bisa ditafsirkan masukan tersebut harus mendukung proyek.
Adapun penyempitan partisipasi publik pada “masyarakat yang terdampak langsung” ini mengebiri aturan sebelumnya. Pada pasal 26 UU 32 tahun 2009, pelibatan warga itu mengakomodasi masyarakat yang terkena terdampak, pemerhati lingkungan, dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.
Pelemahan lainnya, tambah Wardana, yaitu izin lingkungan – termasuk Amdal – tidak bisa lagi dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Artinya PTUN tidak bisa lagi dijadikan forum untuk menguji validitas izin, padahal PTUN jadi forum yang paling dominan digunakan masyarakat untuk menguji izin,” ucapnya.
Terkait pengawasan, ia pun menunjukkan RUU Cipta Kerja menarik kewenangan seluruh kewenangan pemda ke pemerintah pusat. Ia mengatakan hal ini menciptakan kondisi mustahil yang membuat pengawasan tidak berjalan di lapangan.
Isna Fatimah, Deputi Direktur Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) menyebutkan implementasi second line enforcement (pengambilalihan wewenang) dari pemda ke pemerintah pusat yang selama ini diakomodir dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, selama ini tak optimal. Kewenangan pusat ini baru diterapkan pada kasus kebakaran hutan dan lahan tahun 2015.
“Rasionya sedikit sekali dibanding eviden yang dilaporkan masyarakat. Tapi itupun tidak dilakukan baik oleh pusat. Bagaimana bila semua kewenangan ini ada di pusat,” katanya.
Berbagai temuan lain seperti karut-marut penempatan hukum pidana dan administrasi serta potensi obesitas pada penyusunan aturan pelaksanaan membuat RUU itu tak layak dibahas di DPR. Pembahasan yang berujung pada pengesahan RUU akan menambah kompleksitas masalah dan persoalan hukum di Indonesia.
Terkait kelanjutan pembahasan RUU Cipta Kerja ini, DPR menyatakan menyatakan bergantung pada kesiapan pemerintah yang saat ini disibukkan dengan pandemi Covid-19. Badan Legislasi DPR akan mengadakan rapat kerja dengan pemerintah pada pekan depan (Kompas.id, 8 April 2020).
Boy JE Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia tak melihat urgensi RUU Cipta Kerja bagi kepentingan masyarakat. “Walhi dalam posisi tidak bernegosiasi tapi menuntut hentikan pembahasan RUU Cipta Kerja ini,” ujarnya.
Rancangan UU itu sejak awal penyusunan yang tertutup oleh pemerintah dan dunia usaha, dinilai sarat dengan kepentingan investasi dan pemodal. Ia mengatakan bila RUU dipaksakan akan kiat memperparah penghancuran sosial, budaya, dan lingkungan di Indonesia.