Dampak ekonomi pandemi Covid-19 dialami negara-negara di dunia. Efektivitas kebijakan dan langkah pemerintah menangani Covid-19 jadi kunci.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Akibat pandemi Covid-19, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memproyeksikan indeks volume perdagangan dunia melorot 12,9-31,9 persen pada 2020. Di tengah pelemahan tersebut, nasib perindustrian Indonesia sebagai aktor perdagangan bergantung pada keterbukaan dan transparansi pemerintah dalam menangani Covid-19.
Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia Roberto Azevêdo memaparkan, ekonom WTO memperkirakan penurunan volume perdagangan dunia lebih dalam dibandingkan dengan krisis 2008-2009. ”Krisis kali ini menyangkut kesehatan masyarakat sehingga tiap pemerintah mesti mengambil kebijakan yang berorientasi pada perlindungan nyawa manusia,”ujarnya melalui siaran pers, Rabu (8/4/2020).
Volume perdagangan dunia pada 2020 diperkirakan turun lebih dalam dibandingkan dengan krisis 2008-2009 lantaran tren pelemahan yang terjadi sejak 2019. WTO mencatat, volume perdagangan barang secara global turun 0,1 persen pada 2019 karena tekanan perang dagang dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Pada periode yang sama, nilai ekspor barang dunia turun 3 persen menjadi 18,89 triliun dollar AS.
Penurunan tajam perdagangan dunia yang berdampak pada proses bisnis merupakan dampak tak terelakkan dari pandemi Covid-19. Namun, Roberto menggarisbawahi, prioritas yang mesti ditempuh adalah menangani pandemi Covid-19 serta menekan dampak ekonomi yang ditimbulkan terhadap masyarakat, perusahaan, dan negara.
Dalam proyeksi WTO, perdagangan dunia dapat pulih pada 2021. Akan tetapi, hal ini bergantung durasi pandemi Covid-19 serta efektivitas dan efisiensi kebijakan yang diambil oleh negara.
Menurut Roberto, kebijakan penanganan pandemi Covid-19 beserta dampak ekonomi yang ditimbulkan menentukan pemulihan dan prospek pertumbuhan dunia. ”Kebijakan yang diambil mesti berlandaskan pada orientasi pemulihan yang kuat, berkelanjutan, serta inklusif secara sosial. Menjaga pasar tetap terbuka dan bisa diprediksi dapat mendukung ekosistem bisnis. Agar pemulihan berlangsung signifikan, dibutuhkan kerja sama antarnegara,” tuturnya.
WTO juga memproyeksikan, penurunan perdagangan yang tajam akan dialami sektor-sektor industri yang memiliki rantai nilai dan rantai pasok yang kompleks. Misalnya, industri otomotif dan elektronik.
WTO memperkirakan, negara-negara di Asia ada di posisi kedua mengalami penurunan ekspor terdalam dibandingkan dengan wilayah lain seperti Amerika Selatan, Amerika Utara dan Tengah, dan China. Volume ekspor Asia akan merosot 13,5-36,2 persen pada 2020, sedangkan volume impor merosot 11,9 persen.
Akan tetapi, pada 2021, WTO memproyeksikan Asia mengalami pemulihan ekspor tertinggi dibandingkan dengan tiga kawasan lain. Ekspor Asia pada 2021 akan tumbuh 24,9-36,1 persen, sedangkan impor tumbuh 23,1-25,1 persen.
Indonesia juga memiliki peran strategis sebagai pemain utama di perdagangan barang dunia sepanjang 2019. WTO menempatkan Indonesia di posisi ke-30 importir utama dunia dengan kontribusi 0,9 persen dengan nilai impor 171 miliar dollar AS.
Transparansi penanganan
Menanggapi proyeksi WTO tersebut, peneliti Center of Investment, Trade, and Industry Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho berpendapat, keterbukaan dan transparansi pemerintah dalam penanganan Covid-19, pelaksanaan protokol kesehatan, dan data yang menjadi landasan kebijakan, merupakan kunci bagi perindustrian Indonesia agar segera pulih. Transparansi dan keterbukaan tersebut dapat memberi jaminan penyelesaian pandemi Covid-19 secara domestik yang menjadi sentimen positif bagi pelaku industri dalam menentukan rencana bisnis.
Selain itu, Andry berpendapat, pemerintah perlu memperketat lalu lintas orang di perbatasan. ”Sejumlah negara sudah dapat menanggulangi persoalan Covid-19 di dalam negeri. Kalau Indonesia tidak bisa, industri dalam negeri dapat tertinggal dan tidak bisa menikmati momentum pemulihan (perdagangan) dunia,” tuturnya saat dihubungi, Kamis (9/4/2020).
Saat ini, Andry menilai, Indonesia dapat mengandalkan industri tekstil, makanan-minuman, farmasi, dan kesehatan. Oleh karena itu, realisasi pengurangan biaya utilitas, seperti penggunaan listrik, energi, dan air, menjadi penting bagi industri-industri tersebut.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani berpendapat, proyeksi WTO menjadi peringatan yang menunjukkan pandemi Covid-19 mengganggu perekonomian global dan nasional.
”Semakin lama Indonesia berada dalam kondisi pandemi, krisis global semakin mengancam. Apalagi, perekonomian Indonesia juga bergantung dari kondisi perekonomian global,” katanya.
Shinta memperkirakan, Indonesia dapat terseret krisis dalam beberapa bulan mendatang. Hal ini dapat terjadi jika Indonesia belum bisa menekan penyebaran Covid-19 hingga akhir triwulan II-2020 serta stimulus ekonomi nasional belum berjalan efektif dan efisien untuk mempertahankan eksistensi perindustrian dalam negeri dan menjaga daya beli masyarakat.
Jika Indonesia ingin pulih secara perekonomian, Shinta menilai, efektivitas penanganan pandemi Covid-19 menjadi kunci. Apabila tingkat penyebaran Covid-19 di Indonesia masih tinggi dan pertumbuhannya bersifat eksponensial, kegiatan ekonomi produktif, termasuk perindustrian, terus tertekan kebijakan nasional yang berorientasi pada pencegahan penularan Covid-19.
Perhitungan dan rencana bisnis industri dalam negeri untuk tetap bernapas di tengah pandemi Covid-19 hingga memulihkan diri bergantung pada keterbukaan dan transparansi pemerintah, terutama menyangkut data yang berbasis kebijakan. Dengan demikian, industri nasional dapat menikmati momen pemulihan ekonomi, segera setelah saatnya tiba.