Luas Perkebunan di Kalbar Tak Berkorelasi dengan Kemajuan Desa
›
Luas Perkebunan di Kalbar Tak ...
Iklan
Luas Perkebunan di Kalbar Tak Berkorelasi dengan Kemajuan Desa
Luasan perkebunan sawit di Kalimantan Barat ternyata tak berkorelasi langsung dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Masih banyak desa di sana berstatus tertinggal dan hanya sedikit yang masuk kategori desa maju.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Luas perkebunan kelapa sawit tak berkorelasi positif dengan kesejahteraan warga setempat di Kalimantan Barat. Kajian Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan sejumlah desa yang puluhan tahun berelasi dengan perkebunan sawit masih berstatus tertinggal dan hanya sedikit yang masuk kategori desa maju. Bahkan, kontribusi sawit bagi pendapatan asli daerah sangat kecil.
Kondisi ini berkebalikan jika sawit dipotret pada skala makro. Kontribusi devisa sawit mencapai Rp 289 triliun (2018) dengan 4,4 juta tenaga kerja yang terlibat langsung pada 16,3 juta hektar luas perkebunan sawit. Meski demikian, menurut temuan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2016, disebutkan hanya 6 persen pengusaha sawit membayar pajak dan kepatuhannya turun.
Sejumlah desa yang puluhan tahun berelasi dengan perkebunan sawit masih berstatus tertinggal dan hanya sedikit yang masuk kategori desa maju.
Dalam studi kasus di Kabupaten Sintang, Sanggau, Landak, Sekadau, dan Ketapang di Kalimantan Barat, Yayasan Madani Berkelanjutan masih menemukan desa-desa yang masuk kategori sangat tertinggal dan sangat sedikit masuk kategori desa maju dan desa mandiri. Erlangga, peneliti muda Yayasan Madani Berkelanjutan, Rabu (8/4/2020), di Jakarta, menyebutkan persentase desa maju dari kelima kabupaten tersebut sebesar 12,63 persen terdapat di Sanggau. Angka ini terbaik dibandingkan dengan empat kabupaten lain.
Daerah ini sudah lebih dari 20 tahun memiliki perkebunan sawit seluas 299.000 hektar (data Ditjen Perkebunan 2019 dan data Pemkab Sanggau seluas 283.529 hektar) atau terluas kedua setelah Kabupaten Ketapang (399.999 hektar, Ditjen Perkebunan 2019). ”Pekerjaan rumahnya di Sanggau terdapat 40 desa yang masih berstatus desa tertinggal,” katanya.
Ketapang memiliki performa yang cukup baik karena terdapat 18 desa mandiri dan maju dan 44 desa berkembang. Namun, di tempat ini masih terdapat 79 desa tertinggal dan sangat tertinggal.
Kemudian di Landak, sebagian besar desa (57,78 persen) yang beririsan dengan pengelola izin usaha perkebunan berstatus desa sangat tertinggal dan hanya 1 desa tergolong desa mandiri. Di Sekadau, tak satu pun desa yang terdapat izin usaha pertambangan (IUP) berstatus desa mandiri. Di Sintang, sejumlah 7 desa berstatus mandiri dan maju dan 48 desa berkembang dan 68 desa tertinggal dan sangat tertinggal.
Dalam diskusi secara virtual, Bupati Sintang Jarot Winarno mengatakan, terdapat 560.000 hektar perizinan sawit dan baru 174.000 hektar di antaranya yang dilakukan penanaman. Ia mengatakan jumlah ini terlalu banyak dan telah mencabut izin 10 perusahaan yang tidak perform serta sedang meminta perusahaan-perusahaan tersebut untuk mengajukan pengurangan lahan.
Ia menyatakan Sintang telah menetapkan batas maksimal luasan sawit perkebunan korporasi seluas 200.000 hektar. Namun, untuk kepentingan sawit rakyat (petani kecil atau swadaya) belum diatur. Lebih lanjut, kata dia, areal penggunaan lain seluas 892.000 hektar di Sintang, sejumlah 61.000 hektar akan tetap dibiarkan berhutan. Sisa yang sebagian besar tersebut akan digunakan untuk perkebunan komoditas lain, seperti teh, kopi, dan kakao/cokelat.
Jarot Winarno mengatakan, manfaat keberadaan perkebunan-perkebunan skala besar ini adalah terbukanya akses jalan menuju permukiman masyarakat yang terpencil. Namun, dari sisi pendapatan asli daerah, kata dia, ”Nol, jadi kami (Pemkab Sintang) tidak dapat PAD (pendapatan asli daerah) apa-apa dari sawit cuma dapat kalau ada proses pengalihan hak guna usaha (HGU)”.
Ia mengatakan, strategi Pemkab untuk meningkatkan kesejahteraan petani sawit mandiri dan petani sawit plasma adalah keberpihakan pada masyarakat. Ia mencontohkan selama ini kerja sama ataupun pola kemitraan petani dengan perusahaan perkebunan berlaku tidak setara dalam hal pembelian atau valuasi pembelian hasil panen.
Hampir senada, Kepala Dinas Perkebunan Sanggau Syafriansyah menuturkan, upaya untuk memaksimalkan peran perusahaan sawit bagi kesejahteraan warga di antaranya dengan mengarahkan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pada beasiswa bagi anak-anak desa di sekitar perusahaan. Di tempatnya, terdapat 20 pabrik pengolahan minyak sawit (CPO). Di Sanggau yang terdapat 283.000 hektar perkebunan sawit, kata dia, sejak tahun 2016 hingga kini telah menghentikan pemberian izin baru pembukaan kebun sawit.
Bahkan, dari moratorium daerah yang diperkuat moratorium sawit secara nasional (Inpres 8 tahun 2018) tersebut, Pemkab Sanggau mencabut 4 izin sawit seluas 46.000 hektar serta terdapat pengurangan lahan seluas 28.166 hektar dari lima perusahaan sawit setempat.
Sanggau, kata dia, memilih untuk mengintensifkan perkebunan eksiting dengan meningkatkan produktivitas yang kini diklaim mencapai 14 ton tandan buah segar (TBS) per hektar per tahun. ”Kami juga gencar untuk melakukan peremajaan pada tanaman-tanaman tua yang tidak produktif,” ujarnya.
Syafriansyah menambahkan selain perkebunan sawit, Pemkab telah melakukan zonasi wilayah bagi perkebunan lain, seperti karet dan kakao. Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani berkelanjutan mengatakan diversifikasi kebun meningkatkan ketahanan ekonomi daerah dibandingkan mengandalkan satu jenis komoditas.
Di sisi lain, ia mengatakan, agar Indonesia memiliki perhatian ke nilai tambah seperti variasi jenis produk sawit atau, dengan kata lain, tidak hanya mengandalkan ekspor CPO (minyak kelapa sawit mentah). Menurut dia, variasi produk hilir Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia.
Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto menambahkan, krisis ekonomi yang mengancam dunia akibat pandemi Covid-19 ini bisa berimbas bagi petani. Ini karena 80 persen sawit Indonesia diekspor. Pandemi yang membuat industri lesu—termasuk China dan India yang menjadi tujuan utama ekspor sawit Indonesia—turut menurunkan permintaan pasar.
Ia mengingatkan agar kepala daerah ataupun pemerintah tetap mempertahankan lahan-lahan pangan dan tidak mengonversinya ke perkebunan. Keberadaan lahan pangan ini, menurut dia, penting bagi masyarakat atau petani kecil untuk tetap bisa makan saat terjadi krisis yang membuat harga komoditas kebun anjlok.