Obligasi Global Bidik Perusahaan Asuransi dan Dana Pensiun
›
Obligasi Global Bidik...
Iklan
Obligasi Global Bidik Perusahaan Asuransi dan Dana Pensiun
Perusahaan asuransi dan dana pensiun global dengan likuiditas besar dan berlebih dinilai tepat jadi sasaran obligasi global. Namun, penerbitan "global bonds" menghadapi tantangan daya pasar yang rendah.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan obligasi global oleh pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan daya serap pasar yang rendah dan ketatnya likuditas global akibat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, target investor yang dibidik harus lebih jelas dan spesifik.
Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Samual berpendapat, di tengah pasar obligasi global yang menantang, pemerintah mesti membidik institusi yang memiliki kesesuaian antara aset (asset) dan kewajibannya (liability) sebagai target investor. Misalnya, perusahaan asuransi dan dana pensiun global yang memiliki likuiditas cukup besar dan berlebih.
“Perusahaan asuransi dan dana pensiun global pasti tertarik dengan obligasi negara-negara berkembang yang utangnya dikelola dengan baik, seperti Indonesia,” kata David yang dihubungi dari Jakarta, Rabu (8/4/2020).
Menurut David, saat ini likuditas global mengetat, terutama dollar AS, akibat pandemi Covid-19. Hal itu yang menyebabkan rentang hasil (spread yield) obligasi yang diterbitkan pemerintah Indonesia melebar dibandingkan awal tahun 2020. Kondisi ini terefleksi dalam tiga seri obligasi global yang diterbitkan Selasa (7/4/2020) lalu.
Pemerintah Indonesia menerbitkan tiga seri obligasi global, yakni RI1030 tenor 10,5 tahun dengan tingkat bunga 3,9 persen senilai 1,65 miliar dollar AS, RI1015 tenor 30,5 tahun dengan bunga 4,25 persen senilai 1,65 miliar dollar AS, dan RI1070 tenor 50 tahun dengan bunga 4,5 tahun senilai 1 miliar dollar AS.
David mengatakan, rendahnya daya serap pasar obligasi global menjadi momentum bagi Indonesia untuk menyeimbangkan porsi pembiayaan. Selama ini dana yang bersumber dari pinjaman bilateral maupun multilateral relatif kecil. Padahal, sejumlah lembaga multilateral membuka akses pinjaman cukup besar.
Pemerintah perlu mengakses sumber dana dari pinjaman multilateral dan bilateral selain dari penerbitan obligasi global. Kenaikan pinjaman akan mengurangi kepemilikan asing di pasar obligasi pemerintah yang mencapai 40 persen. Porsi asing yang relatif besar menyebabkan perekonomian domestik rentan guncangan.
“Yang penting dalam kondisi saat ini adalah sumber pendanaan berimbang,” kata David.
Pada tahun 2020, pemerintah meningkatkan proyeksi pembiayaan untuk defisit APBN dari Rp 307,2 triliun menjadi Rp 852,9 triliun. Sumber pembiayaan dari penerbitan surat berharga negara melonjak dari Rp 351,8 triliun menjadi Rp 1.006 triliun, sementara pinjaman meningkat dari Rp 5,2 triliun menjadi Rp 5,8 triliun. Defisit APBN 2020 diproyesikan melebar menjadi 5,07 persen dari target awal 1,76 persen produk domestik bruto.
Arus modal
Ekonom makroekonomi dan sektor keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky berpendapat, penerbitan obligasi global berdenominasi dollar AS menguntungkan bagi Indonesia karena akan menambah likuiditas valuta asing masuk ke domestik serta meningkatkan cadangan devisa Bank Indonesia.
Pandemi Covid-19 meningkatkan volatilitas dan menurunkan tingkat kepercayaan investor terhadap pasar modal di seluruh negara. Akibatnya, arus modal keluar dari pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Terhitung sejak Februari hingga akhir Maret 2020, total akumulasi portofolio di Indonesia menurun 11,7 miliar dollar AS atau lebih dari 70 persen.
Pergerakan arus modal asing ke luar Indoensia secara besar-besaran ini langsung berdampak terhadap nilai tukar rupiah yang terdepresiasi cukup tajam sebesar 15,4 persen ke level Rp 16.427 dalam satu bulan terakhir, serta penurunan cadangan devisa.
Di sisi lain, kata Riefky, pemerintah tetap mesti berhati-hati dalam menerbitkan surat utang di tengah pandemi Covid-19. Kondisi pasar saat ini relatif sulit akibat lemahnya daya beli untuk menyerap penerbitan surat utang, terlebih jika surat utang dalam denominasi rupiah. Likuditas dollar AS yang kini beredar juga sangat kecil.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah akan mengoptimalkan pembiayaan utang dan non-utang untuk membiayai defisit APBN. Sumber pembiayaan nonutang akan diprioritaskan, yakni dari pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL), dana abadi pemerintah, dan badan layanan umum.
Adapun dalam hal pembiayaan dari utang, pemerintah akan mengutamakan penerbitan surat berharga negara, baik surat utang maupun sukuk, di pasar global dan domestik. Saat ini surat berharga negara berdenominasi valas yang pasti diterbitkan adalah global sukuk, obligasi global berdenominasi dollar AS, euro, dan Yen.
“Pemenuhan pembiayaan bersifat oportunistik. Penambahan akan dilakukan sesuai kondisi pasar keuangan, tetapi diupayakan (tambahan) serendah mungkin,” kata Sri Mulyani.