Segenap upaya dilakukan untuk mencegah penularan Covid-19. Harapannya, wabah ini dapat berakhir dan pembatasan pergerakan orang dicabut sehingga maskapai dapat kembali melintas ke seluruh dunia.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·5 menit baca
Di tengah lesunya industri penerbangan dunia, maskapai melakukan antisipasi penularan pandemi Covid-19. Prosedur pengamanan penerbangan sesuai protokol Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dilakukan, baik untuk angkutan kargo maupun untuk penumpang.
Industri penerbangan dunia terdampak pandemi Covid-19. Karantina hingga larangan masuk dari negara-negara yang terjangkit penyakit itu membuat pergerakan manusia tersendat. Maskapai kehilangan sekitar 70 hingga 80 persen penumpang dalam waktu singkat. Penurunan terjadi karena pemberlakuan karantina dan larangan perjalanan di lebih dari 208 negara di dunia.
Para penumpang transportasi, terutama pesawat, membatalkan penerbangan mereka. Hal ini menimbulkan kerugian besar bagi maskapai. Menurut data yang dihimpun Covid Airline Tracker, secara global maskapai mengurangi frekuensi penerbangan domestik dan internasional antara 15 persen dan 100 persen.
Terdapat pengurangan frekuensi karena jumlah penumpang berkurang.
Terdapat 100 maskapai yang mengandangkan 95 hingga 100 persen armada mereka. Pengurangan penerbangan mulai 90 persen hingga sepenuhnya dilakukan beberapa maskapai yang beroperasi di Eropa, Asia Pasifik, Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Amerika Utara, Oseania, Amerika Selatan, Afrika, Timur Tengah, dan Karibia. Secara global mayoritas maskapai bisa dikatakan dalam kondisi hampir lumpuh.
Di Asia Tenggara, Air Asia menghentikan seluruh rute penerbangan internasional. Emirates, Etihad, Air Arabia, dan Fly Dubai yang adalah maskapai asal Timur Tengah berhenti beroperasi sepenuhnya. Di Indonesia, Garuda Indonesia menunda 23 rute penerbangan domestik ataupun internasional. Terdapat 11 rute domestik yang ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Adapun rute internasional rata-rata ditunda hingga 30 April 2020. Rute internasional GIA yang ditunda antara lain 2 rute di Asia Pasifik, 8 rute Indonesia-China, dan 2 rute penerbangan ke Timur Tengah. Penerbangan selain rute tersebut tetap beroperasi, tetapi terdapat pengurangan frekuensi karena jumlah penumpang berkurang.
Risiko penularan
Berkurangnya pergerakan penerbangan membuat pundi-pundi maskapai global berkurang. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mencatat, maskapai penerbangan sedunia dapat merugi hingga 113 miliar dollar AS, atau setara dengan Rp 1.948 triliun. Temuan serupa juga tergambar dari hasil riset McKinsey yang dipublikasikan pada 5 Maret 2020. Sektor industri penerbangan mengalami rata-rata penurunan harga saham 44 persen.
Majalah Forbes menyebutkan, volume penumpang akan kembali mencapai titik normal dalam waktu relatif lama, antara 3 hingga 5 tahun. Dua hal yang disoroti adalah dampak krisis ekonomi korona dan kekhawatiran penumpang transportasi udara. Salah satu yang harus diwaspadai dari pandemi Covid-19 adalah dampak ekonomi, yakni resesi ekonomi.
Hal ini melemahkan daya beli masyarakat untuk bisa mengakses layanan penerbangan. Penyebab lain adalah kekhawatiran penumpang. Prediksi ini berkaca dari dampak aksi teror 9/11. Faktor kekhawatiran bepergian menggunakan pesawat menjadi penyebabnya. Saat ini kekhawatiran yang muncul adalah risiko penularan di dalam pesawat dan kebijakan larangan perjalanan udara di berbagai negara.
Peristiwa pada masa lalu menunjukkan bahwa penyebaran penyakit salah satunya disebabkan aktivitas mobilitas manusia.
Karena itu, Forbes juga memperkirakan pasar penerbangan internasional akan pulih lebih lambat dibandingkan dengan rute domestik. Faktor penyebab kekhawatiran ini dapat ditilik dari catatan sejarah. Peristiwa pada masa lalu menunjukkan bahwa penyebaran penyakit salah satunya disebabkan aktivitas mobilitas manusia.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat menunjukkan munculnya sejarah karantina wilayah merupakan antisipasi terhadap penularan suatu penyakit yang dapat tersebar melalui alat transportasi antarwilayah, yang saat itu didominasi kapal laut.
Karantina dilakukan untuk mencegah penyakit impor, seperti saat terjadi infeksi demam kuning yang virusnya dibawa nyamuk pada tahun 1793. Semua kapal yang tiba di kota-kota pelabuhan AS harus dikarantina sebelum boleh berlabuh. Di Eropa, kapal yang berasal dari kota yang terinfeksi wabah harus membuang sauh di luar pelabuhan selama 40 hari.
Hal ini dilakukan mengingat kapal dapat membawa penyakit yang menginfeksi penumpang atau serangga serta hewan lain yang ada di dalamnya. Kini, kapal laut bukan satu-satunya transportasi antarbenua. Pesawat terbang juga menjadi pilihan masyarakat untuk melalukan perjalanan. Sebanyak 4,23 miliar orang melakukan perjalanan menggunakan pesawat udara pada 2018.
Pesawat terbang memiliki risiko menularkan penyakit. Kondisi kabin pesawat yang sempit berpotensi besar menimbulkan risiko penularan penyakit antarpenumpang atau bahkan awak kabin pesawat.
Antisipasi maskapai
Enam hari setelah mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi, WHO merilis dokumen ”Pertimbangan Operasional untuk Mengelola Wabah Covid-19 dalam Penerbangan”. Dalam dokumen tersebut, WHO menginstruksikan tiga poin yang perlu dilakukan maskapai global. Pertama, menjalankan prosedur penanganan terhadap penumpang yang sakit. Perlu disediakan alat pelindung diri (APD) sesuai ketentuan dalam penanganan Covid-19.
Keamanan awak pesawat dan penumpang menjadi prioritas. Poin kedua, operator pesawat atau maskapai yang menemukan seseorang yang dicurigai mengalami gejala Covid-19 wajib melaporkan kondisi dan melaksanakan pengecekan kesehatan sesuai standar. Ketiga, maskapai wajib menolak penumpang atau menurunkan penumpang yang teridentifikasi mengalami gejala Covid-19.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) juga mengeluarkan prosedur pengamanan penerbangan di tengah pandemi Covid-19, baik untuk angkutan kargo maupun untuk penumpang. Hal ini dilakukan untuk menjamin keselamatan penerbangan dari penularan korona.
Maskapai Indonesia pun melakukan antisipasi pencegahan korona dengan membersihkan dan mendisinfeksi bandara serta pesawat atau kabin pesawat. Garuda Indonesia melakukan disinfeksi armada pesawatnya, khususnya yang melayani rute penerbangan ke negara dengan kasus Covid-19.
Penggantian filter udara high efficiency particulate arresting (HEPA) dilakukan untuk mengoptimalkan pembersihan udara dalam kabin. Garuda Indonesia mewajibkan awak pesawat melakukan pemeriksaan kesehatan di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Bandara saat sebelum dan sesudah bertugas.
Hal serupa dilakukan maskapai negara-negara lain untuk menekan risiko penyebaran wabah Covid-19. Korean Air, Qantas, Lufthansa, United Airlines, dan masih banyak lagi maskapai lainnya secara rutin melakukan disinfeksi kabin pesawat.
Segenap upaya dilakukan untuk mencegah penularan Covid-19. Harapannya, wabah ini dapat berakhir dan pembatasan pergerakan orang dicabut sehingga maskapai dapat kembali melintas ke seluruh dunia. (LITBANG KOMPAS)