Menimbang Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Yogyakarta
Saat jumlah kasus Covid-19 terus naik, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum mengajukan permohonan penerapan pembatasan sosial berskala besar. Pemda masih menunggu perkembangan.
Di tengah jumlah kasus Covid-19 yang terus meningkat, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memutuskan belum mengajukan permohonan penetapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pemerintah DIY beralasan, kondisi provinsi itu saat ini belum memenuhi kriteria untuk penerapan PSBB. Namun, benarkah kriteria itu belum terpenuhi?
Keputusan untuk tak mengajukan PSBB itu disampaikan oleh Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono (HB) X, Rabu (8/4/2020) siang, di kompleks kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta. Seusai rapat dengan para bupati/wali kota dan sejumlah pejabat lain, Sultan menyatakan, DIY belum akan mengajukan usulan penetapan PSBB.
”Belum waktunya kita menyampaikan permohonan PSBB karena belum memenuhi syarat,” kata Sultan HB X yang juga merupakan Raja Keraton Yogyakarta.
Baca juga: Belum Usulkan PSBB, Pemkot Yogyakarta Perketat Pengawasan Pendatang
Menurut Sultan, keputusan belum mengajukan permohonan PSBB itu diambil setelah mendengarkan pertimbangan dari pemerintah kabupaten/kota di DIY dan para pejabat terkait. Meski begitu, Pemda DIY tetap akan melakukan persiapan terkait kemungkinan penerapan PSBB.
Persiapan penerapan PSBB akan dilakukan jika terjadi peningkatan jumlah pemudik secara signifikan. ”Saya tetap mempersiapkan kalau ada lonjakan pemudik,” ujarnya.
Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji menuturkan, kondisi di DIY saat ini dinilai belum memenuhi kriteria untuk penerapan PSBB. Oleh karena itu, Pemda DIY memilih belum mengajukan permohonan penetapan PSBB.
”Pada prinsipnya, ada beberapa ketentuan di dalam PSBB itu yang memang belum terpenuhi kondisi sekarang, misalnya tingkat penyebaran dan transmisi lokal,” tutur Kadarmanta.
Ia menambahkan, Pemda DIY akan mengevaluasi kebijakan tersebut jika ada peningkatan kasus positif Covid-19 secara signifikan. Ia juga mengatakan, jika kondisi daerah dinilai belum memenuhi kriteria, permohonan penetapan PSBB pasti akan ditolak pemerintah pusat.
”Nanti kami lihat eskalasinya. Jika eskalasinya memang ada peningkatan, nanti kami akan bertemu lagi. Toh, walaupun kami memaksakan usul PSBB, kalau belum memenuhi persyaratan, Kementerian Kesehatan juga tidak akan memberikan rekomendasi,” ungkap Kadarmanta.
Baca juga: Presiden Jokowi: Indonesia Memilih PSBB
Kebijakan PSBB ditetapkan pemerintah pusat melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 untuk mempercepat penanganan Covid-19. Berdasarkan PP tersebut, PSBB merupakan pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19.
PSBB mencakup sejumlah kebijakan, yakni peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, serta pembatasan kegiatan lain terkait aspek pertahanan dan keamanan.
Sesuai aturan, pemberlakuan PSBB diusulkan oleh gubernur, bupati, atau wali kota kepada menteri kesehatan. Usulan PSBB juga bisa diajukan oleh ketua pelaksana gugus tugas percepatan penanganan Covid-19. Adapun penetapan pemberlakuan PSBB dilakukan oleh menteri kesehatan.
Untuk bisa memberlakukan PSBB, suatu wilayah harus memenuhi sejumlah kriteria. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020, ada tiga kriteria penetapan PSBB, yakni peningkatan jumlah kasus dan/atau kematian secara bermakna dalam kurun waktu tertentu, penyebaran kasus secara cepat di wilayah lain dalam kurun waktu tertentu, dan ada bukti terjadi transmisi lokal.
Kasus di DIY
Akan tetapi, dalam aturan yang dikeluarkan pemerintah, tidak ada parameter kuantitatif yang tegas mengenai peningkatan dan penyebaran jumlah kasus atau kematian yang menjadi kriteria penetapan PSBB.
Ketiadaan parameter kuantitatif yang tegas itu tentu menimbulkan pertanyaan apakah jumlah kasus atau kematian terkait Covid-19 di suatu provinsi atau kabupaten/kota sudah masuk kriteria untuk melaksanakan PSBB atau tidak.
Pertanyaan itu pula yang muncul ketika Pemda DIY memutuskan belum mengajukan permohonan penerapan PSBB. Apakah benar jumlah kasus terkait Covid-19 di DIY belum memenuhi kriteria penerapan PSBB?
Untuk menjawab pertanyaan itu, maka harus dicermati data kasus Covid-19 di DIY sejak pertengahan Maret 2020. Berdasarkan catatan Kompas, Pemda DIY pertama kali merilis data resmi mengenai Covid-19 di provinsi itu pada 13 Maret 2020. Sejak saat itu, Pemda DIY terus memperbarui data kasus Covid-19 secara berkala melalui laman pemda dan media sosial.
Hingga Kamis (9/4/2020), jumlah pasien positif Covid-19 di DIY sebanyak 40 orang. Jika dibandingkan dengan total kasus positif secara nasional yang berjumlah 3.293 orang, jumlah pasien positif Covid-19 di DIY memang tergolong kecil. Namun, untuk mengetahui seberapa besar peningkatan jumlah kasus di DIY, perlu dicermati perjalanan kasus Covid-19 sejak awal di provinsi itu.
Baca juga: Sultan HB X: Tanggap Darurat Bencana Covid-19 di DIY
Berdasarkan data Pemda DIY, kasus pertama positif Covid-19 di DIY diumumkan pada 15 Maret 2020. Hingga 24 Maret 2020 atau hari ke-10 sejak munculnya kasus pertama, jumlah pasien positif Covid-19 di DIY sebanyak enam orang.
Namun, pada 31 Maret 2020 atau hari ke-17 sejak adanya kasus pertama, jumlah pasien positif melonjak menjadi 24 orang. Artinya, dalam waktu tujuh hari, jumlah pasien positif Covid-19 di DIY telah melonjak menjadi empat kali lipat. Ini fakta yang tidak biasa dianggap enteng.
Lihat data berikutnya. Pada 3 April 2020 atau hari ke-20 setelah munculnya kasus pertama, jumlah pasien positif di DIY sebanyak 31 orang. Artinya, pada hari ke-20 itu, jumlah pasien positif Covid-19 di DIY melonjak lebih dari lima kali lipat dibandingkan dengan jumlah pasien pada hari ke-10.
Pada 6 April 2020 atau hari ke-23 sejak munculnya kasus pertama, pasien positif Covid-19 di DIY sebanyak 37 orang. Dengan jumlah itu, total pasien positif di DIY pada hari ke-23 sudah lebih dari enam kali lipat jumlah pasien di hari ke-10. Ini juga bermakna, dalam waktu 13 hari, jumlah kasus positif di DIY telah melonjak menjadi enam kali lipat lebih.
Apakah lonjakan kasus lebih dari 6 kali lipat dalam waktu 13 hari itu tidak bisa diartikan telah terjadi peningkatan jumlah kasus secara cepat dan signifikan? Apakah penambahan kasus semacam itu belum memenuhi kriteria untuk pemberlakuan PSBB? Hendaknya ini dilihat sebagai fenomena serius.
Penyebaran dan transmisi lokal
Selain peningkatan jumlah kasus atau kematian, kriteria lain penetapan PSBB adalah penyebaran kasus secara cepat dan adanya transmisi lokal. Terkait penyebaran kasus, data Pemda DIY menunjukkan, seluruh kabupaten/kota di DIY sudah memiliki kasus positif Covid-19.
Berdasarkan data pada 9 April, dari 40 kasus positif di DIY, sebanyak 20 kasus ada di Kabupaten Sleman, 8 kasus di Kabupaten Bantul, 6 kasus di Kota Yogyakarta, 2 kasus di Kabupaten Gunungkidul, 2 kasus di Kabupaten Kulon Progo, dan 2 kasus merupakan warga luar DIY.
Setiap kabupaten/kota di DIY juga sudah memiliki pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP). Hingga 9 April, Sleman mempunyai 134 PDP dan 990 ODP, Bantul memiliki 115 PDP dan 619 ODP, Yogyakarta mempunyai 52 PDP dan 403 ODP, Gunungkidul memiliki 37 PDP dan 882 ODP, serta Kulon Progo memiliki 22 PDP dan 310 ODP.
Sementara itu, terkait transmisi atau penularan lokal, ada satu kasus yang patut dicermati, yakni adanya seorang aparatur sipil negara (ASN) Pemda DIY yang dinyatakan positif tCovid-19. ASN berinisial T itu merupakan pegawai bagian pendaftaran Rumah Sakit Paru (RSP) Respira, Bantul.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Biwara Yuswantana mengatakan, pada 10-11 Maret 2020, T melayani pendaftaran seorang pasien berinisial S yang melakukan rawat jalan di RSP Respira. Saat melayani pendaftaran itu, T dan para petugas lain sudah memakai masker bedah.
Namun, pada 19 Maret 2020, diperoleh kabar bahwa S ternyata positif Covid-19. ”Saudara T melayani pendaftaran poliklinik rawat jalan terhadap pasien S yang belakangan diketahui positif Covid-19,” kata Biwara dalam konferensi pers, Senin (6/4/2020).
Jumlah PDP yang diperiksa sampelnya itu baru sekitar 0,01 persen dari keseluruhan penduduk DIY.
Pada 27 Maret 2020, T juga dinyatakan positif Covid-19. Ia meninggal pada 6 April 2020. Belakangan, Pemda DIY menyatakan, T telah menjalani dua kali pemeriksaan tambahan dan seluruh hasilnya negatif.
Oleh karena itu, T dinyatakan sebagai pasien yang telah sembuh dari Covid-19. Pemda DIY juga menyebut, penyebab kematian T bukan karena Covid-19, melainkan disebabkan gagal jantung.
Baca juga: Memutus Mata Rantai Penularan Covid-19
Meski demikian, riwayat kasus pasien berinisial T ini menunjukkan, ada kemungkinan telah terjadi transmisi atau penularan lokal penyakit Covid-19 di DIY. Transmisi lokal merupakan salah satu penyebab penularan yang patut ditelusuri untuk memutus rantai penularan.
Cakupan pemeriksaan minim
Di sisi lain, yang juga perlu mendapat perhatian adalah masih sedikitnya jumlah pasien di DIY yang diperiksa sampelnya untuk memastikan apakah mereka menderita Covid-19 atau tidak. Berdasarkan data Pemda DIY, hingga 9 April 2020, jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) di DIY yang telah diperiksa sampelnya sebanyak 442 orang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, jumlah penduduk DIY pada tahun 2018 sebanyak 3.802.872 orang. Artinya, jumlah PDP yang diperiksa sampelnya itu baru sekitar 0,01 persen dari keseluruhan penduduk DIY.
Anggota Satuan Tugas Covid-19 Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Riris Andono Ahmad, mengatakan, kondisi itu menunjukkan jumlah pasien yang menjalani pemeriksaan di DIY masih sangat sedikit. Sedikitnya jumlah pasien yang diperiksa itu terjadi karena keterbatasan kapasitas laboratorium untuk melakukan pemeriksaan sampel.
”Ya, memang masih sangat sedikit yang dites karena kapasitas diagnosis (pemeriksaan) kita masih sangat terbatas,” kata Riris yang merupakan dokter ahli pengendalian penyakit menular.
Sangat minimnya jumlah pemeriksaan itu sebenarnya tak hanya dialami DIY, tetapi juga Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan data laman Worldometers.info, hingga 9 April 2020, jumlah warga yang diperiksa di Indonesia baru 52 orang per 1 juta penduduk.
Jumlah itu jauh tertinggal dibandingkan dengan sejumlah negara, misalnya India yang telah melakukan tes pada 121 orang per 1 juta penduduk, Brasil 258 orang per 1 juta penduduk, Thailand 1.030 orang per 1 juta penduduk, Vietnam 1.131 orang per 1 juta penduduk, Malaysia 1.958 orang per 1 juta penduduk, Korea Selatan 9.310 orang per 1 juta penduduk, dan Singapura 11.110 orang per 1 juta penduduk.
Riris memaparkan, dengan sedikitnya jumlah pasien yang diperiksa itu, maka laporan jumlah pasien positif Covid-19 yang saat ini ada bisa jadi lebih sedikit daripada jumlah kasus riilnya. Indikasi dari kondisi tersebut juga tampak dari banyaknya jumlah PDP yang meninggal sebelum hasil pemeriksaan laboratorium keluar.
Di DIY, jumlah PDP yang meninggal sebelum hasil pemeriksaan laboratorium keluar memang cukup banyak. Berdasarkan data Pemda DIY, hingga 9 April, jumlah PDP yang meninggal sebelum hasil pemeriksaan laboratoriumnya keluar sebanyak 14 orang.
”Yang dilakukan diagnosis itu adalah kasus-kasus yang sudah parah karena alat diagnosisnya terbatas sehingga harus ada prioritas. Makanya kemudian banyak PDP yang meninggal sebelum didiagnosis. Tingginya angka kematian PDP bisa jadi mengindikasikan data yang ada lebih rendah ketimbang yang sebenarnya," ungkap Riris.
Implementasi
Dengan kondisi semacam itu, apakah DIY perlu mengajukan permohonan untuk penerapan PSBB?
Riris menuturkan, kebijakan PSBB yang diatur pemerintah sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan kebijakan pembatasan sosial yang sudah diterapkan di sejumlah daerah, termasuk DIY. Sejumlah aturan terkait PSBB juga sudah diterapkan saat ini, misalnya meliburkan sekolah, membatasi kegiatan di tempat umum, dan membatasi kegiatan keagamaan.
Perbedaan PSBB dengan kebijakan pembatasan sosial ada pada tindakan penegakan hukum yang bisa diambil saat penerapan PSBB. ”Dalam PSBB, ada dasar hukum untuk melakukan tindakan law enforcement (penegakan hukum). Tetapi, ini kembali lagi praktiknya nanti seperti apa, apakah diimplementasikan dengan benar atau tidak,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Riris, terlepas adanya status PSBB atau tidak, yang terpenting adalah implementasi aturan pembatasan sosial secara konsisten. Sebab, dengan penerapan pembatasan sosial secara konsisten, jumlah kasus Covid-19 bisa ditekan. ”Dengan PSBB atau tidak, social distancing (pembatasan sosial) harus dilakukan,” katanya.
Pertanyaannya kemudian, apakah saat ini aturan pembatasan sosial sudah berjalan dengan baik dan konsisten di DIY? Apakah seluruh warga DIY sudah mematuhi ketentuan untuk mengurangi aktivitas di luar rumah, selalu menjaga jarak aman dengan orang lain, dan memakai masker saat beraktivitas di luar rumah? Jika belum, akankah Pemda DIY memilih opsi untuk menerapkan PSBB? Jangan tunggu semuanya terlambat.