Qing Ming dan Cembengan, Ziarah Kubur dalam Suasana Prihatin
›
Qing Ming dan Cembengan,...
Iklan
Qing Ming dan Cembengan, Ziarah Kubur dalam Suasana Prihatin
Di China, tradisi ziarah kubur atau Qing Ming tahun ini dijalani dalam suasana prihatin akibat wabah Covid-19. Demikian pula di Indonesia. Tradisi yang di sini dikenal dengan Cembengan dilakukan di rumah masing-masing.
Oleh
Iwan Santosa
·5 menit baca
Pekan lalu di seluruh China, hari besar Qing Ming atau ziarah kubur dilakukan dalam suasana prihatin akibat wabah Covid-19. Biasanya acara Qing Ming (dalam dialek Hokkian disebut Ceng Beng), membuat ratusan juta orang tumpah ruah ke makam untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal sekaligus membuat keluarga besar yang masih ada berkumpul bersama.
Karena pembatasan jarak, pada acara Qing Ming secara nasional dilakukan upacara simbolis untuk mengenang para korban Covid-19 yang dipusatkan di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, 4 April 2020.
Di daerah lain, termasuk di Asia Tenggara dan Indonesia, keramaian di pemakaman juga dihindari. Keluarga-keluarga berdoa mengenang para leluhur di tempat tinggal masing-masing.
Percampuran budaya (akulturasi) terjadi dalam tradisi Qing Ming yang berkembang di Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yakni menjadi Cembengan dan terkait dengan sejarah industri gula. Tidak heran jika Indonesianis terkenal asal Prancis, Dennis Lombard, menyebut Nusantara sebagai tempat persilangan budaya (carrefour de civilization).
Pelestari budaya Tionghoa peranakan di Tangerang, Udaya Halim, menjelaskan, sejatinya tradisi Qing Ming di Jabodetabek dan pesisir pantura Jawa yang dikenal sebagai Ceng Beng diawali dengan ritual teh coa atau tanah dan kertas.
”Biasanya dua pekan sebelum Ceng Beng, yang tahun ini jatuh pada tanggal 5 April, diadakan tradisi tersebut. Yang menarik, kalender Tionghoa menggunakan perhitungan lunar atau bulan. Khusus untuk penghitungan hari raya Ceng Beng dan Tang Tje—pertengahan musim dingin—justru menggunakan perhitungan solar atau perputaran bumi mengelilingi matahari,” kata Udaya.
Kebiasaan warga Tionghoa di Tangerang, menurut Udaya, adalah pantang pergi ke makam pada siang atau sore hari. Kompleks pemakaman Tionghoa yang besar di sana terdapat di Tanah Gocap dan Tanah Cepek yang berada di dalam kota arah Karawaci.
Untuk mengunjungi makam kerabat yang meninggal kurang dari tiga tahun, para peziarah akan berangkat pagi-pagi benar ke pemakaman. Dahulu, peziarah akan berjalan dengan telanjang kaki sebagai laku prihatin untuk mengenang para leluhur dan kerabat yang sudah lebih dahulu meninggalkan dunia fana.
Seusai bersembahyang, mereka mengadakan makan bersama dengan keluarga besar. ”Biasanya peziarah makan ketupat dan sambal godog. Zaman dulu bentuk ketupatnya disebut tek buh yang berwujud segi enam panjang,” kata Udaya.
Udaya kemudian mengenang masa kecilnya. Di kala itu, perayaan Ceng Beng bertepatan dengan musim main layang-layang, mengingat hari raya jatuh bertepatan dengan pergantian musim tanam dan memasuki musim panas. Angin yang berembus kencang sangat ideal untuk main layang-layang.
Konon, dahulu di China, orang sengaja menerbangkan layang-layang tinggi-tinggi lalu diputus benangnya. Benang yang melambai-lambai menjadi simbol membuang sial.
Di Tangerang, tradisi sesudah ziarah adalah mencuci muka dengan air bunga sebagai simbol tolak bala dan menghindari gangguan makhluk halus. Terutama arwah-arwah yang tidak diziarahi keluarga atau sudah tidak memiliki keturunan hidup.
Sebenarnya, perayaan Tahun Baru Imlek (Sin Cia) di Tangerang dan daerah-daerah lainnya di Jawa lebih semarak dibandingkan dengan perayaan Ceng Beng. Ini berbeda dengan di luar Jawa, seperti di Medan, Pontianak, dan Bangka Belitung, di mana perayaan Ceng Beng lebih meriah karena menjadi penanda bakti pada leluhur dan upaya mendapatkan rezeki.
Di Tangerang, masyarakat mewujudkan penghormatan kepada leluhur dengan memelihara meja abu yang disembahyangi dan dan didoakan setiap tanggal 1 dan tanggal 15 penanggalan Imlek. Di atas meja juga disediakan teh dan lilin yang menyala.
Untuk anggota keluarga yang meninggal sudah lebih dari tiga tahun, ziarah atau perayaan Ceng Beng bisa dilakukan seminggu sebelum atau sesudah Ceng Beng. Walhasil tidak semua orang Tionghoa melakukan ritual Ceng Beng tepat pada hari-H.
Menjadi Cembengan di Jawa
Tradisi Ceng Beng di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam perkembangannya menciptakan akulturasi antara budaya Tionghoa peranakan dan budaya Jawa.
Penulis buku Anak Cino yang bercerita tentang kehidupan peranakan Tionghoa di pedalaman Purwodadi, Jawa Tengah, Handoko Widagdo, menceritakan, di kawasan Purwodadi, acara Ceng Beng dirayakan tanpa tradisi khusus seperti di Tangerang.
”Keluarga tradisional biasanya masih memelihara meja abu di rumah. Selebihnya sembahyangan dilakukan di makam. Anak-anak kecil, pedagang, dan pengurus makam akan menunggu mendapatkan sedekah dari para peziarah,” kata Handoko.
Proses akulturasi dan kedekatan budaya Tionghoa- Jawa ini memang khas. Pembuat film dokumenter tentang wayang potehi di Jawa Timur, Ardian Purwoseputro, menerangkan, dalam banyak kesempatan, di kelenteng pun digelar ritual Kejawen.
”Di Kelenteng Kapasan, Surabaya, acara-acara yang digelar banyak menghadirkan tradisi kejawen,” kata Ardian.
Situasi serupa terjadi di kelenteng-kelenteng di pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur karena masyarakat Tionghoa peranakan berakulturasi dengan kebudayaan Jawa.
Penulis buku Geger Pacinan 1740-1743: Koalisi Jawa-Tionghoa Melawan VOC, Daradjadi Gondodiprodjo, menambahkan, salah satu bentuk akulturasi yang menarik adalah tradisi Ceng Beng diadopsi menjadi Cembengan di Jawa. Tradisi tersebut untuk mengenang KGPAA Mangkunegara IV dan selirnya, Nyai Pulungsih, seorang peranakan Tionghoa asal Semarang.
”Setahu saya tradisi Cembengan ini adalah penghormatan terhadap Mangkunegara IV dan selirnya, Nyai Pulungsih, anak keluarga Majoor Bhee Biauw Tjwan dari Semarang. Mangkunegara IV mendirikan pabrik gula Tjolomadoe (1861) dan Tasikmadoe (1871). Awalnya ada dukungan dari mertuanya, yakni Bhee Biauw Tjwan,” kata Daradjadi.
Penulis berkesempatan mengunjungi makam Nyai Pulungsih yang berada di Desa Malangjiwan, tidak jauh dari Pabrik Gula Tjolomadoe yang kini sudah menjadi museum gula dan tempat pertunjukan. Tidak jauh dari sana juga terdapat monumen dada (bust) Mangkunegara IV yang juga diziarahi warga setiap musim giling tebu yang dirayakan dengan tradisi Cembengan.
Ternyata tradisi Cembengan yang menyandingkan pengantin tebu juga hidup di Yogyakarta. Sejarawan Didi Kwartanada menerangkan, munculnya tradisi Cembengan di Yogya terkait dengan pabrik Gula Madukismo yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta.
Dalam laman Kagama.co tanggal 19 April 2019 disebutkan adanya tradisi Cembengan di PG Madukismo yang berhubungan dengan perayaan Ceng Beng masyarakat Tionghoa di Yogyakarta.
Tradisi kirab Cembengan di Surakarta, Yogyakarta, serta daerah penghasil gula lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dilakukan dengan mengarak kepala kerbau, pengantin tebu, dan berbagai ritual lainnya yang merupakan akulturasi antardua budaya yang berjalan indah dan alamiah.