Jay Subiyakto Merambah ke Layanan “Streaming”
Film "Banda: The Dark Forgotten Trail yang dirilis pada 2017 sekarang bisa ditonton di Netflix. Bagaimana tanggapan sutradara Jay Subiyakto?
Setelah berkecimpung di dunia penyutradaraan selama puluhan tahun, Jay Subiyakto baru pertama kali menyutradarai film pada 2016. Waktu itu, Jay membuat film dokumenter berjudul Banda: The Dark Forgotten Trail yang dirilis pada 2017.
Setelah tiga tahun, Jay mendapat kabar bahwa film Banda: The Dark Forgotten Trail tayang di layanan streaming Netflix. Film yang diproduksi oleh LifeLike Pictures ini membahas sejarah perdagangan rempah-rempah Nusantara khususnya di Kepulauan Banda, Maluku. Banda adalah tempat bersejarah karena empat bapak pendiri bangsa, yaitu Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Cipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusumasumantri, pernah dibuang ke sana.
Kompas mendapat kesempatan untuk berbincang bersama Jay lewat sambungan telepon di Jakarta, Kamis (9/4/2020). Jay melakukan napak tilas sejenak mengenai film itu serta menjelaskan pandangan mengenai layanan streaming dan kondisi film dokumenter di Indonesia. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana cerita awal bisa terlibat sebagai sutradara Banda: The Dark Forgotten Trail?
Pada akhir 2015, saya ditelepon Sheila Timothy yang menjadi salah satu produser film ini. Saya enggak kenal dia, tetapi dia teman Maya Hassan yang bilang kepada saya dia ingin ketemu. Ya udah kami ketemu.
Anehnya, pada tahun yang sama, sebelumnya saya dan teman-teman sudah pergi ke Banda Neira, Banda karena ingat pesan Bung Hatta, paman saya untuk berkunjung ke sana. Jadi, kami berempat ke sana dan melihat keindahan dan sejarahnya. Makanya pas pulang ditawarkan itu bisa pas banget.
Setelah itu, kami melakukan riset hampir selama satu tahun untuk film ini, kebetulan penulisnya Irfan Ramli berasal dari Ambon. Kami mencari arsip di Indonesia dan Belanda, disana kami mencari peta dan gambar bangunan, seperti benteng dan istana mini. Kami dibantu sejarawan Usman Thalib dan W. Manuhutu untuk belajar sejarah Banda. Kami juga bertemu Pongky Van de Broeke, salah satu penyintas konflik agama tahun 2000-an.
Kami mulai syuting pada akhir 2016, selama tiga minggu. Saya berpikir tidak akan membuat adegan reka ulang dengan aktor karena nanti rancu. Jadi, saya kumpulkan lima sinematografer, antara lain Ipung Rachmat Syaiful, Oscar Motuloh, Dodon Ramadhan, dan Davy Linggar. Kami membahas sejarah Banda dan mereka bebas mengambil gambar.
Setelah kembali ke Jakarta, saya mendapat alur cerita dan merangkai gambarnya sehingga menjadi menarik. Film ini diedit tiga editor muda dan ditambah animasi. Saya suka film ini dibuat anak Indonesia mulai dari awal hingga akhir produksi.
Ada pengalaman berkesan ketika ke Banda?
Sewaktu saya ke Banda Neira bersama teman-teman (sebelum ditawari menjadi sutradara), sedihnya banyak turis domestik yang ke Banda hanya untuk diving. Mereka tidak peduli dengan sejarah dan tidak melihat benteng. Turis domestik ke sana untuk liburan dan senang-senang saja, tetapi tidak mau tahu itu tempat apa.
Malahan ada turis luar, bahkan dari Belanda yang menjajah, yang datang untuk melihat sejarah. Jadi, wisata pengetahuan turis lokal itu gak ada. Ini juga yang saya coba ingin kasih tahu juga (melalui film), bahwa ada peninggalan kolonial.
Menurut saya, Banda harusnya masuk ke dalam World Heritage sebagai kawasan yang perlu dilindungi. Jangan ada bangunan yang mengganggu. Saya bingung pemerintah kita gak tahu bagaimana memajukan pariwisata berbasis ilmu pengetahuan dan sejarah. Jangan berpikir kalau modern itu berarti harus menghancurkan yang lama.
Bagaimana strategi pemasaran dan respon penonton terkait film itu?
Untuk pemasaran, kami merekam narasi dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Inggris. Narasi Bahasa Indonesia dibacakan oleh aktor Reza Rahadian dan Bahasa Inggris oleh Ario Bayu.
Kami memang sengaja karena ingin kirim ke festival film dokumenter di luar negeri. Kami juga sempat membawa film ini tur ke Australia dan bahkan ke Kroasia. Jadi memang perlu buat dua bahasa.
Dulu, kami harus berjuang agar film Banda ini masuk ke bioskop karena pelaku bisnis mikir juga soal film dokumenter. Kami cuma mendapat 10 layar sedikit dan terus berkurang hingga 2-3 layar di hari terakhir. Untungnya, Banda bisa bertahan selama satu bulan dengan jumlah penonton hanya 30.000 orang.
Film Banda akhirnya masuk Netflix. Bagaimana tanggapannya?
Untuk film masuk ke Netflix ini saya kira harus mengajukan, tetapi syaratnya banyak terutama tentang konsep, isi cerita, serta kualitas gambar dan suara.
Saya dikabarkan Sheila Timothy lewat WhatsApp kalau Banda akan tayang mulai tanggal 31 Maret 2020 di Netflix, khususnya Indonesia.
Saya seneng banget karena ini film pertama dan bisa masuk Netflix. Sekarang ini orang lebih banyak menonton Netflix karena praktis dan murah apalagi dengan pembatasan sosial akibat Covid-19 orang jadi banyak di rumah.
Saya tahu, film dokumenter itu membawa penonton sedikit, jadi sekarang bisa banyak orang di rumah menonton film itu. Dengan masuk ke Netflix, saya harap bisa semakin praktis dan bisa go international.
Film yang tayang di Netflix ini versi narasi bahasa Indonesia, tetapi ada subtitle bahasa Inggris. Saya rasa mendingan seperti itu, toh banyak film luar yang tidak di-dubbing, kayak film Korea. Supaya orang luar tahu bahasa Indonesia.
Bagaimana minat terhadap film dokumenter di Indonesia?
Tidak banyak produser yang mau membuat film dokumenter karena pasti gak laku dan biayanya sedikit. Makanya saya salut LifeLike Pictures mau membuat film dokumenter meskipun gak bisa balik modal dan susah cari sponsor.
Saya dapat input dari teman setelah film Banda masuk Netflix. Di Instagram lihat orang yang tidak saya kenal juga mulai merespons, tidak menyangka film dokumenter bisa oke. Saya belum pernah melihat respons seperti ini.
Ternyata banyak tanggapan orang gak dikenal dan mereka mulai sadar mengenai film dokumenter dan sejarah di Indonesia. Banyak anak muda Indonesia saja itu gak tahu apa itu buah pala, sampai sedih kenapa di banyak sekolah di Indonesia jarang membahas sejarah terutama sekolah Internasional. Semoga dengan masuk Netflix mereka yang menonton sadar kita punya bangsa dan Founding Father yang hebat.
Baca juga:
https://jelajah.kompas.id/jalur-rempah/baca/banda-surga-selam-dan-wisata-rempah/
Apa tantangan membuat film dokumenter, khususnya Banda?
Buat saya yang susah itu karena enggak boleh ada yang salah kemudian keterangan harus jelas, apalagi tentang sejarah. Yang paling susah adalah enggak ada arsip gambar orisinal tentang kejadian di masa lalu. Cerita Banda mulai sejak pedagang dunia datang 300 tahun lalu dan itu gak ada gambarnya. Hanya ada saksi bisu, tinggal bangunan dan benteng. Memang ada beberapa orang disana.
Padahal, Banda itu unik. Paman saya, Bung Hatta waktu masih hidup menyuruh saya ke Banda Neira untuk mengerti bagaimana konsep membangun negara kepulauan di sana.
Setelah itu, kami harus menceritakan bagaimana bangsa Eropa mencari pala, kolonialisme, perbudakan, genosida, pembuangan tokoh negara, sampai konflik agama di tempat itu. Saya mau menceritakan Indonesia adalah negara kaya penghasil hasil bumi yang dicari di seluruh dunia, tetapi tidak maju-maju. Jadi konteksnya harus luas.
Saya juga bilang ke produser jangan kasih referensi dalam membuat film dokumenter supaya punya gaya sendiri. Karena itu, film ini pendekatannya bisa luas dan tidak mengacu ke film barat.