Saat pandemi Covid-19, sebagian besar mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri harus kembali ke rumah masing-masing. Banyak hal yang harus dikorbankan saat pulang ke Indonesia.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU dan JOICE TAURIS SANTI
·6 menit baca
Gara-gara pandemi Covid-19, sebagian mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri, memilih pulang kampung dan kuliah virtual dari Indonesia. Bagaimanapun, tinggal di rumah bersama keluarga lebih menenangkan daripada "terdampar" di negeri orang saat pandemi melanda. "Sayonara" kampus mancanegara untuk sementara.
Salah seorang mahasiswa Indonesia di luar negeri yang memutuskan pulang ke tanah air adalah Muhammad Akmal, mahasiswa tahun terakhir jurusan international business administration di Rotterdam School of Management, Erasmus University Rotterdam, Belanda. Ia merasa lega bisa menginjakkan kaki kembali di Jakarta pada 14 April lalu. Ia dan keluarga sama-sama merasa tenang bisa berkumpul bersama di tengah pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia.
Sebelum Akmal pulang, keluarganya sempat cemas karena negeri Belanda tempat ia bermukim sedang dilanda wabah hebat. Data resmi pada 19 April saja menunjukkan, warga yang positif terinfeksi virus korona baru lebih dari 32.000 orang dengan jumlah penderita yang meninggal lebih dari 3.600 orang.
“Akhir Maret lalu sudah diumumkan perkulihan harus online sampai akhir semester ini pada September nanti. Situasi kayak PSBB di Indonesia juga diberlakukan di saa. Cuma kalau mau belanja makanan dan obat serta kayak olahraga atau jalan-jalan hanya di lingkungan sekitar yang diperbolehkan,” ujar Akmal yang juga Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Rotterdamperiode 2018/2019.
Akmal sebenarnya tidak berencana pulang hingga wisuda pada Oktober nanti. Dia membayangkan pertemuan bahagia dengan orang tua yang menghadiri acara wisudanya di Belanda saat itu. Sudah dua tahun Akmal tidak pulang berjumpa keluarga di Indonesia karena urusan kuliah.
Aku merasa agak cemas juga jika tetap di Belanda. Orangtua juga was-was. Akhirnya diputuskan saja untuk pulang
“Aku merasa agak cemas juga jika tetap di Belanda. Orangtua juga was-was. Akhirnya diputuskan saja untuk pulang. Aku kan sudah tingkat akhir juga. Ada kuliah dan skrispi gitu, kan semuanya sudah bisa online,” ujar Akmal.
Untuk pulang ke Indonesia, Akmal juga berhitung dengan resiko. Beruntung masih ada penerbangan pesawat Garuda yang langsung dari Amsterdam-Jakarta. Dia pun memilih berbagi naik mobil ke bandara Schipol dengan teman sekamarnya yang sama-sama pulang ke Jakarta karena transportasi umum sudah sulit.
“ Bisa sih naik kereta. Tapi yang biasanya 30 menit ke bandara, sekarang bisa dua jam karena perjalanan jadi mutar-mutar demi bisa melayani penumpang,” cerita Akmal.
Sesampai di Bandara Soekarno-Hatta, dia mesti mengisi formulir tentang riwayat perjalanannya. Akmal tidak langsung pulang ke rumahnya di kawasan Jakarta Timur, tapi mampir dulu ke klinik untuk rapid tes Covid-19. “Aku bersyukur hasilnya negatif sih. Tapi aku tetap menjalani karantina mandiri di rumah selama 14 hari,” kata Akmal.
Meskipun berada di Tanah Air, tetap saja Akmal merasa kepikiran dengan nasib kuliahnya. Dia sudah membeli tiket PP ke Belanda pada 1 Juni nanti demi urusan administrasi terkait wisuda nanti dan mengurusi kos-kosannya. “Enggak tahu juga nih wisuda Oktober nanti ada atau enggak. Aku sih berharap lulus tepat waktu dan bisa pakai toga di acara wisuda,” harap Akmal.
Menurut Akmal, informasi dari temannya yang pimpinan PPI, ada sekitar 1.500 mahasiswa Indonesia di Belanda. Yang pulang sementara ke Indonesia karena Covid-19 sekitar 400 orang. “Alasannya sih karena orang tua khawatir. Kuliah juga sudah online sampai akhir semester, jadi yang bisa pulang, memilih pulang,” kata Akmal.
Setyaning Sofi Nawasukma, mahasiswa diploma 3 di Jiangsu Agri Animal Husbandary Vocational College, di Kota Taizhou Provinsi Jiangsu, China, juga memenuhi anjuran keluarga untuk pulang ke Indonesia pada akhir Januari lalu. Gadis yang mendapat beasiswa kuliah dan tinggal di asrama kampus ini sebenarnya tidak berencana pulang ke Tanah Air tahun ini karena saat libur musim panas 2019, dia sudah pulang ke Indonesia.
“Awalnya saya enggak mau pulang ke Indonesia karena khawatir jadi pembawa virus. Soalnya di China kan pertama penyebarannya. Tapi keluarga yang tahu kondisi saya yang tidak bisa bebas keluar-masuk asrama, terus merasa khawatir. Orangtua jadi sering nelpon nanya kabar. Akhirnya, di tengah situasi yang tidak menentu, beberapa teman memilih pulang dulu ke Indonesia,” kisah alumni SMK Kelautan dan Perikanan Puger di Jember, yang akrab disapa Sukma.
Mahasiswa lokal China sudah keluar dari asrama untuk libur musim dingin dan menyambut Imlek. Adapun mahasiswa internasional tetap diperbolehkan bertahan di asrama kampus, namun dengan syarat untuk keluar-masuk asrama harus ada surat izin dari dosen wali. Situasi di kota sudah sepi karena libur dan toko-toko tutup, ditambah lagi ada wabah corona. Para mahasiswa yang beratahan di asrama bisa bertahan karena ada kiriman bahan makanan mentah dari kampus.
Di bandara enggak berani pegang ini-itu. Pokoknya rajin cuci tangan supaya pas ketemu keluarga enggak membawa virus
Saat melakukan perjalanan pulang, Sukma terus merasa was-was, khawatir tertular Covid. Kereta dari kotanya ke bandara penuh, karena banyak orang lokal yang juga pulang kampung. “Di bandara enggak berani pegang ini-itu. Pokoknya rajin cuci tangan supaya pas ketemu keluarga enggak membawa virus,” ujar Sukma.
Sesampainya di Bogor, Sukma benar-benar mengkarantina dirinya di dalam kamar selama 14 hari. “Aku gak pernah buka masker selama 14 hari tiap keluar kamar. Dengan keluarga sangan membatasi berinteraksi. Aku lebih milih diam di kamar dulu supaya semua aman,” ujar Sukma yang saat ini berada di Batam, di rumah saudaranya sejak Maret lalu.
Kuliah daring
Sukma menjalani kuliah online sejak 17 Februari. Namun, dirinya merasa terkendala jika tidak memahami perkuliahan dalam bahasa Mandarin. “Kalau kuliah tatap muka, kita bisa langsung bertanya jika ada yang tidak mengerti. Saya mau cepat kuliah biasa. Tapi ini masih menunggu kabar dari dosen,” ujar Sukma.
Menurut Sukma, untuk mahasiswa lokal sudah ada kabar bulan depan masuk kuliah tatap muka. Namun, untuk mahasiswa internasional belum dipastikan. “Dosen bilang jangan beli tiket dulu, tetap aja di negara masing-masing, sampai ada informasi terbaru lagi,” ujar Sukma.
Meskipun berada di Indonesia, pikiran Sukma seringkali melayang ke aktivitas di kampus. Dia membayangkan magang yang semestinya dijalani tahun ini serta praktikum yang membuat dia semakin mahir, tidak bisa dilakukan seperti biasanya.
“Aku juga kehilangan menikmati salju yang turun. Biasanya awal Februari sudah turun. Semoga virus corona ini cepat berlalu supaya kehidupan bisa normal kembali,” harap Sukma.
Mahasiswa Indonesia di China lainnya, Muhammad Yusuf Bhirowo, sudah dua bulan ini tinggal di rumahnya di Jakarta.Yusuf merupakan mahasiswa semester pertama di Yellow River Convervacy Technology Institute, Kaifeng, Provinsi Henan.
Yusuf pulang beberapa hari setelah wabah merebak di kota Wuhan, di provinsi Hubei. Jarak antara Kaifeng dan Wuhan sekitar 5 jam 30 menit jika ditempuh dengan mobil. Padahal, jika tidak ada wabah, Yusuf merencanakan tinggal saja di asrama untuk memperlancar pelajaran bahasanya. Ada 10 mahasiswa Indonesia yang kuliah di kampus tersebut.
Padahal, Yusuf sedang fokus memperlancar bahasa Mandarin. Menurut Yusuf, dia lebih cepat menangkap pelajaran bahasa Mandarin ketika bertatap muka dengan pengajarnya. Selain itu, situasi di asrama juga memaksa dia untuk bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin sehingga Yusuf dapat berpraktik bahasa langsung.
Namun, belajar bahasa Mandarin tetap dilakoni Yusuf supaya bisa lancer menjalani kuliah di jurusan pariwista. Sebenarnya, Yusuf merencanakan akan ikut ujian Hanyu Shuping Kaoshi, ujian bahasa Mandarin untuk penutur asing. Tetapi dengan situasi pelajaran seperti ini, dia tidak yakin akan mengambil ujian itu Desember mendatang. “Tetapi saya tetap berusaha,” ujarnya optimistis. (JOE)