Kementerian Dalam Negeri perlu melarang tegas politisasi bantuan sosial oleh kepala daerah petahana yang ingin maju kembali di Pilkada 2020. Pengawasan pusat teramat penting agar tak terjadi lagi politisasi bantuan.
Oleh
REK/INK/BOW
·3 menit baca
Pemerintah pusat diminta untuk mengawasi penyaluran bantuan sosial yang rentan dikorupsi.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri perlu melarang dengan tegas politisasi bantuan sosial oleh kepala daerah petahana yang ingin maju kembali dalam Pilkada 2020. Pengawasan dari pemerintah pusat teramat diperlukan agar pemberian bansos tidak ditumpangi kepentingan elektoral.
Di tengah ancaman politisasi bantuan sosial, Badan Pengawas Pemilu kesulitan untuk menindak politisasi bansos, mengingat tahapan pencalonan belum dimulai. Bawaslu pun hanya bisa mengimbau.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Ahmad Baidowi mengatakan, pemerintah pusat wajib melarang kepala daerah memanfaatkan bansos untuk kepentingan pilkada. Sebab, tindakan itu bertentangan dengan nurani dan mencederai nilai-nilai demokrasi serta nilai kemanusiaan. PPP melarang kadernya memolitisasi bansos.
Penggunaan bansos untuk kepentingan pilkada sangat tidak etis dan itu memolitisasi bencana.
”Penggunaan bansos untuk kepentingan pilkada sangat tidak etis dan itu memolitisasi bencana,” kata Baidowi, Jumat (1/5/2020), saat dihubungi dari Jakarta.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, politisasi bansos merupakan penyakit laten dalam kontestasi elektoral lokal di Tanah Air. Politisasi tersebut tidak hanya terjadi saat penanganan Covid-19. Sebab, di dalam kondisi normal pun, hal itu rentan terjadi.
Menurut Titi, agar bansos tidak rentan dimanipulasi, sebaiknya pelaksanaan pilkada lanjutan tidak berdekatan dengan momentum penanganan Covid-19, khususnya penyaluran bansos. ”Kalau pilkada dilakukan paling lambat September 2021, kecil terjadi persinggungan momentum pilkada dengan penyaluran bansos yang dilakukan pada 2020. Dengan demikian, bisa meminimalkan potensi politisasi bansos,” katanya.
Kementerian Dalam Negeri, menurut Titi, harus tegas melarang politisasi bansos. Dengan demikian, ada pengawasan nyata dari pemerintah pusat untuk memastikan tidak ada penumpang gelap dalam penyaluran bansos. Penindakan sulit dilakukan oleh Bawaslu karena saat ini tahapan pilkada belum dimulai.
Namun, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar mengatakan, Kemendagri tidak terlibat secara teknis dalam penyaluran bansos. Penyaluran itu dilakukan di bawah koordinasi Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa PDTT, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
”Kemendagri tidak terlibat dalam teknis penyaluran bansos. Hukum pilkada pun sudah jelas, apa yang boleh dan tidak boleh. Penyelenggara pemilu yang memiliki otoritas menegakkan hukum pilkada,” katanya
Anggota Bawaslu, M Afifuddin, mengatakan, pihaknya tak bisa serta-merta menindak karena saat ini belum memulai tahapan pencalonan. Apalagi, Komisi Pemilihan Umum masih menunda tahapan pilkada. ”Kalau sudah ada pencalonan, potensinya bisa kena Pasal 71 Ayat 3 Undang-Undang Pilkada,” katanya.
Pasal tersebut melarang kepala daerah atau wakil kepala daerah menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain, dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan calon sampai penetapan calon terpilih.
Kepala daerah yang melanggar bisa didiskualifikasi sebagai calon oleh KPU setempat. Selain itu, ada pula ancaman pidana paling lama enam bulan penjara dan denda paling banyak Rp 6 juta.
Partai politik
Sejumlah partai politik menyerukan kepada kadernya untuk tidak memolitisasi bansos. Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, bansos merupakan instrumen kemanusiaan untuk membantu sesama yang terkena Covid-19. Ia mengingatkan, yang terpenting, politik alokasi dan distribusi untuk rakyat dilakukan berdasarkan kriteria penerima bansos yang ketat, berbasis data, bukan atas dasar kriteria elektoral.
Saya berpesan kepada mereka, tindakan ini akan menjadi backfire (serangan balik) buat mereka. Sebab, dalam kondisi krisis inilah saatnya publik menguji sejauh mana kepemimpinan orang atau kemampuan dan komitmen pemimpin tersebut dalam membela rakyatnya.
Sebelumnya, ada temuan kasus dugaan politisasi bansos di Klaten, Jawa Tengah. Pada sejumlah bansos, dari pemerintah pusat, ditemui ada label dengan gambar diri Bupati Klaten Sri Mulyani yang merupakan kader PDI-P.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menyayangkan adanya politisi bansos. Tindakan semacam itu tidak hanya memalukan, tetapi juga merugikan petahana.
”Saya berpesan kepada mereka, tindakan ini akan menjadi backfire (serangan balik) buat mereka. Sebab, dalam kondisi krisis inilah saatnya publik menguji sejauh mana kepemimpinan orang atau kemampuan dan komitmen pemimpin tersebut dalam membela rakyatnya,” kata Doli yang juga Ketua Komisi II DPR.